- Music
- Tidbits
Warning Magz Tetap Bernyawa
Di tengah arus informasi kencang yang membungkus berbagai macam kegiatan di industri musik, ada satu pertanyaan yang selalu membayangi; Masih pentingkah keberadaan media sebagai salah satu pihak yang memiliki peran dan kepentingan bagi industri musik itu sendiri?
Keberadaan Warning Magz, sebuah media yang banyak menulis tentang musik dan berbasis di Jogjakarta, sedikit banyak memberikan konfirmasi. Jalan mereka seret, terhambat berbagai macam faktor yang mempengaruhi. Tapi, masih bernapas dan hidup.
Di dalam spektrum lokal kota, proses berkesenian, terutama musik, yang terjadi, tetap menjadi sesuatu yang punya nilai untuk ditulis. Ia mempengaruhi politik redaksi Warning Magz yang masih terus menyambung cerita.
“Sebenarnya tidak hanya musiknya saja, tapi secara keseluruhan lingkungan berkesenian di Jogjakarta mempengaruhi politik redaksi di Warning Magz,” terang Soni Triantoro, yang bersama dengan Tomi Wibisono mendirikan media ini beberapa tahun yang lalu, ketika mereka masih duduk di bangku kuliah.
Pergeseran terjadi. Tiga-empat tahun belakangan, Warning Magz berubah menjadi lebih politis. Yang mereka terbitkan, lebih banyak menghubungkan karya musik dengan konteks sosial politik.
“Ini terlihat misalnya, dalam hal pemilihan list album terbaik tahun 2018 lalu. Kami lebih memilih Pangalo daripada Krowbar karena ia lebih politis dengan orientasi yang jelas. Musik di Jogjakarta kan juga dekat dengan referensi dan literatur sosial politik,” tambah Soni.
Karena keadaan, Warning Magz juga mengubah arah. Kali ini, mereka lebih fokus pada penulisan musik, bukan jurnalisme musik. “Jurnalisme musik orientasinya menggunakan prinsip jurnalistik, ada metode jurnalistik, perlu ada klarifikasi, kalau interview ya ada 5W + 1H. Kalau penulisan musik lebih fleksibel, analisa dan subyekstifitasnya lebih punya ruang. Jurnalisme yang berkualitas, ya yang memenuhi prinsip jurnalistik. Benar-benar melakukan wawancara ke banyak sumber yang berimbang, nggak cuma satu sisi. Kami sendiri belakangan makin menjadi media penulisan musik. Sifatnya essai, opini, lebih suka referensi yang berasal dari buku,” terangnya panjang lebar.
Sekedar kilas balik, Warning Magz dulu dirancang untuk menjadi sebuah media cetak dengan niat untuk membuat sebuah publikasi yang rutin dan fokus pada musik sebagai bahasannya.
Seperti sudah disinggung, ketika memulai dulu, status para penggiatnya masih duduk di bangku kuliah. Pemikirannya hanya berkarya saja. Tapi ketika lulus, timbul tantangan baru untuk mulai menghidupi diri sendiri. Persoalannya klise. Sementar situ, ada gesekan prinsip, media yang mereka rancang sifatnya non-profit.
Masing-masing orang di dalamnya mulai pergi, sibuk mencari penghidupannya masing-masing. Plus, isu global tentang surutnya minat pada media cetak juga menghampiri mereka. “Waktu itu, kita ada di level ketika ada orang yang bikin media musik baru langsung dapat pertanyaan, ‘Hmmm… tahan berapa lama ya mereka?’. Karena kita tahu tantangan yang akan dihadapi. Balik ke realita hidup bernama modal ekonomi,” papar Soni.
Tomi menambahkan, berkaitan dengan idealisme ingin menjadi majalah yang memakai asas jurnalisme musik tapi berbenturan dengan perubahan zaman yang terjadi, “Tanggung jawabnya besar. Sementara pembacanya sedikit.”
Yang menghidupi Warning Magz sampai hari ini adalah keinginan untuk terus ada. Sambil tertawa Tomi bilang, “Bertahan saja sudah tidak masuk akal untuk media musik independen di hari ini.” Soni mengamininya. “Kecuali format zine yang tanpa aturan, mungkin bisa. Tapi menjadi media yang konsisten itu susah,” imbuh Tomi.
Sampai saat ini Warning Magz masih menjadi sasaran kiriman informasi dari sejumlah kota. Banyak yang terabaikan, tapi ada fakta baik yang perlu direkam; Bahwa makin banyak orang yang merilis karya mereka untuk publik. Kuantitas karya juga dengan sendirinya membuat kreativitas promosi berkembang dan kesadaran untuk menginformasikan sesuatu tumbuh. “Saat ini, buat kami semuanya sudah mulai tertata dan jelas. Sudah ada kesadaran untuk mengirim press release dengan baik,” komentar Tomi.
Soni menimpali, “Banyak teman yang merasa butuh media, sadar untuk berpromosi. Tapi malah medianya yang kembang kempis. Menurutku, ada tiga unsur penting dalam sebuah skena musik; organisator, media dan audiens. Nah, saat ini malah kunci yang hilang itu media. Mungkin butuh orang nekat terutama mereka yang masih kuliah untuk membuat ruang baru bagi tumbuhnya media.”
Mungkin, persoalan jadi makin rumit dengan fakta bahwa masing-masing pelaku seni bisa menjadi media untuk dirinya sendiri.
“Dulu saya percaya bahwa media mengamplifikasi selera pasar. Tapi sekarang nggak sih, karena aku melihat bahwa band sudah bisa menjadi media untuk diri mereka sendiri,” ungkap Tomi lagi.
Ada beberapa contoh band yang sudah digemari pasar tapi telat terendus media. Salah satu yang fenomenal adalah NDX AKA yang menulis sendiri cerita mereka dengan langsung berhubungan dengan pasar yang ada dan menjalani protokol tradisional yang membuat nama mereka bergulir dari mulut ke mulut berdasarkan penampilan live di panggung.
“Mereka sudah biasa main di acara besar sebelum masuk ke media. Massa mereka sudah besar duluan,” terang Tomi.
Selain NDX AKA, nama Fiersa Besari atau Rebellion Rose juga punya jejak yang kurang lebih sama.
“Tapi media punya fungsi untuk melegitimasi yang perannya masih dipegang. Ini tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh media sosial,” timpal Soni. “Buat saya, bisa jadi fungsi media sebagai ajang pengenalan sudah kalah duluan dibanding bandnya, tapi di sini yang nggak bisa diingkari adalah media masih berperan sebagai legitimasi musik sebuah band apakah itu bagus atau jelek.” tambahnya.
Tentu saja, ini isu yang masih akan berkembang. Menurut Soni, media masih akan memiliki perannya sendiri dan tidak akan terkebiri fungsinya. Tapi, memang ada celah bagi seniman untuk melangkahi salah satu fungsi yang dimiliki media, yaitu menjadi corong untuk orang banyak. Seniman masih bisa bertahan tanpa media, dengan hanya mengandalkan sumber daya manusia, media sosial dan fan base mereka.
“Tapi juga diingat bahwa selain sebagai legitimasi itu media juga berfungsi sebagai branding, citra. Fungsi pengenalan dari media masih bisa efektif untuk band yang masih belum punya nama,” imbuhnya.
Tulisan tentang musik, terkadang mampu mengubah cara sebuah produk diterima oleh pasar. Keberadaan media masih bisa menjadi jembatan bagi pembacanya untuk mendapatkan insight yang segar yang lebih meyakinkan bahwa album tersebut layak konsumsi atau tidak. Juga di kepanjangan tangannya, tulisan tentang musik bisa membantu pelabelan, membentuk persepsi terhadap karya yang dihasilkan.
“Misalnya Melancholic Bitch atau Efek Rumah Kaca yang telah sampai pada titik di mana apapun yang mereka buat pasti bagus. Menurutku, itu juga dibantu oleh rekonstruksi dari penulis musik dan media. Mereka kemudian dikenal sebagai band yang punya intelektualitas. Liriknya bagus, musiknya bernas. Itu, menurutku, karena ada tulisan di media massa sih,” ujarnya memaparkan argumen.
Dengan sendirinya, kemudian Warning Magz pun masih punya alasan untuk tetap ada dan bernyawa. “Warning Magz, awalnya, dibuat untuk memfasilitasi diri kita sendiri. Kenapa masih perlu dijalankan lagi? Ya, karena kami masih membutuhkan ruang untuk memfasilitasi kami dan para penulis musik,” jelasnya. “Terakhir, ya karena kami percaya dengan tulisan kami dan ingin orang-orang membaca tulisan kami,” tutup Soni.
Warning Magz bisa dikunjungi di situs dank anal Youtube yang masih dijalankan hingga hari ini. (*)
Teks & Foto: Indra Menus
Sisi Organik Scaller Dalam "Noises & Clarity"

Kabar baik datang dari Scaller yang baru saja merilis live session (8/7/23) yang kemudian diberi tajuk “Noises & Clarity”. Dalam video ini, grup musik asal Jakarta tersebut tampil membawakan 5...
Keep ReadingSingle Ketiga Eleanor Whisper Menggunakan Bahasa Prancis

Grup Eleanor Whisper asal kota Medan yang telah hijrah ke Jakarta sejak 2019 ini resmi merilis single ke-3 yang diberi tajuk “Pour Moi”. Trio Ferri (Vocal/ Guitar), Dennisa (Vocals) &...
Keep ReadingSajian Spektakuler KIG Live!

Umumkan kehadirannya sebagai pemain baru pada industri konser musik Indonesia, KIG LIVE yang merupakan bagian dari One Hundred Percent (OHP) Group menggelar acara peluncuran resmi yang juga menampilkan diskusi menarik...
Keep ReadingCrushing Grief Gandeng Dochi Sadega Dalam Single Terbaru

Unit pop-punk dari Manado, Crushing Grief, menggandeng Dochi Sadega dari Pee Wee Gaskins, dalam single terbaru mereka yang diberi tajuk “Hard Rain“. Single ini merupakan salah satu lagu yang diambil dari EP...
Keep Reading