Titik Demi Titik dari Perjalanan Berkarya KEN TERROR

Ilustrasi, keberadaannya dari dulu hingga sekarang sangat lekat dengan beragam aspek kehidupan manusia. Entah apa pun itu, pasti akan menggunakan sebuah ilustrasi untuk melancarkan kepentingannya. Terlebih bila ilustrasi yang ditampilkan sangat memanjakan mata. Indonesia sendiri dikenal sebagai pencetak illustrator handal, mereka juga berdiri sejajar dengan sesamanya dari belahan dunia mana pun. Beragam teknik pun turut dikuasai oleh mereka, pointilis, hatching, cross hatching, spray hampir semua menguasainya. Kolektifnya pun tumpah ruah dengan beragam aktivitasnya.

Salah satu gaya yang banyak digunakan dalam membuat sebuah ilustrasi adalah pointilis. Akar dari hadirnya gaya gambar ini bisa dilihat dari zaman perkembangan lukisan impresionisme menjelang akhir abad ke-19 di Eropa. Di mana Georges Seurat hadir dengan ilustrasi yang diberi judul A Sunday Afternoon on the Island of La Grande Jatte pada tahun 1884. Lukisan ini menggambarkan taman yang dipenuhi oleh orang-orang yang sedang bersantai di bawah naungan pepohonan. Ada berbagai uku­ran titik yang sering dipakai untuk membentuk sebuah unsur piktorial. Hingga kini, ilustrasi pointilisme sering kali menggunakan titik hitam pada permukaan putih. Salah satu seniman yang menganut gaya ini adalah Ivan Nugraha atau yang akrab dikenal dengan pseudonim Ken Terror.

Dirinya dikenal orang banyak sebagai seorang seniman sekaligus musisi. Keahliannya dalam ranah ilustrasi didapatkan dari bakat yang diasah secara otodidak. Dan dia telah aktif membuat berbagai ilustrasi sejak dekade 1990-an akhir. Ciri dari ilustrasinya cukup mudah untuk dikenali, hitam putih, tengkorak, dikerjakan dengan gaya pointilis, dan sarat akan pesan sosial. Karya-karyanya banyak ditemui di berbagai sampul depan album, cinderamata hingga poster-poster. Tahun kemarin, arsip karyanya dikumpulkan menjadi satu dan dibuatkan ke dalam bentuk sebuah buku berjudul Ken oleh sebuah media bernama Consumed Magazine. Buku arsip karya ilustrasi ini memiliki tebal 360 halaman (HVS 100gr, bookpaper90gr dan art Paper 150gr, Sisipan booklet/zine: HVS 100gr), dan dikemas dengan sampul hardcover, linen cetak dua warna dan sablon.

Rasa penasaran akan sepak terjangnya di dua dunia memacu kami untuk melakukan sebuah sesi wawancara. Bahasannya banyak, seputar ide, sosok inspirasi, hingga harapan. Semoga obrolan di bawah bisa menjawab berbagai pertanyaan yang ingin kalian sampaikan kepada sosok Ken Terror. Silahkan disimak.

karya ken terror

Halo, apa kabar? Saat ini lagi sibuk mengerjakan ilustrasi untuk siapa?

Halo, kabar baik. Sedang mengerjakan ilustrasi untuk beberapa band dan project lainnya; juga sedang menggarap merchandise Mayhem Studio Vol. 3.

Boleh beri gambaran bagaimana awal mula semua ini berjalan? Baik itu dunia ilustrasi ataupun dunia musik.

Ada satu waktu yang menjadi titik pangkal, tapi jauh sebelum itu saya sudah sering mengerjakan ilustrasi sampul mixtape koleksi pribadi sejak masa SMA pertengahan tahun 90-an. Lalu berlanjut mengerjakan ilustrasi band-band lama saya, sampai akhirnya di satu titik ini ketika Domestik Doktrin berlatih di studio dan merekamnya dengan sebuah tape recorder kecil kira-kira tahun 2001-2002. Selepas berlatih dan mendengar akan menyebarnya sebagai demo tape, saya bergegas meminjam pulpen milik studio dan mulai menggambar di sampul kaset kosong tersebut. Kemudian kami menggandakan kaset tadi beserta sampulnya dengan memfotokopinya dan menyebarnya ke beberapa teman kami yang berdomisili di beberapa kota dan Negara lain. Setelah itu baru banyak menerima komisi untuk mengerjakan ilustrasi untuk teman-teman dalam maupun luar kota dan bahkan dari luar negeri. Setelah interview Domestik Doktrin oleh Equalizing Distort asal Kanada di era yang sama, tak lama setelah itu saya menerima email berupa interview untuk Attack Webzine dari Swedia yang juga menampilkan ilustrasi saya di halaman muka situs itu untuk beberapa waktu. Selepas itu komisi datang dari label rekaman hardcore punk independent asal Belgia bernama Still Holding On Records yang kemudian menjadi langganan ilustrasi saya untuk sampul rilisan dan poster band-band label tersebut: Hit Me Back, Cinder, I Object!, Sunpower, Bones Brigade, dll (Sang pemilik label, Xavier, juga pernah membuatkan situs dengan konten ilustrasi-ilustrasi saya circa 2004-2010, kurang lebih sampai domainnya akhirnya menghilang).

Setelah melalui sekian fase bertahun-tahun lamanya, seiring waktu dan terhentinya kontrak kerja, aktifitas membuat ilustrasi ini lambat laun menjadi profesi yang dulu sama sekali tidak pernah saya pikirkan tentu saja, mengingat saya tidak pernah mengenyam pendidikan seni dan anggapan masyarakat tentang profesi ideal itu sendiri.

Begitu pun di dunia musik, berawal dari sekira tahun 93-94 dengan bermodalkan tekad menjadi drummer (padahal sama sekali belum pernah memainkan instrumen ini sebelumnya) band kelas. Bermula dari meng-cover lagu-lagu bergenre alternative yang hits pada saat itu, sebut saja Creep – Radiohead, Zombie – The Cranberries, New Age Girl – Deadeye Dick, dll. Semangat bermusik kemudian menjadi lebih intens di penghujung masa kelas 1 SMA setelah mengenal The Offspring lewat album Smash dan Green Day dengan Dookie-nya. Perkenalan dengan permukaan kultur populer punk rock MTV anak muda pada masanya itu dan festival musik underground mingguan di kota Bandung menggiring saya pada band-band yang lebih “hardcore” dan jauh lebih lama seperti G.B.H, The Exploited, Peter and the Test Tube Babies, Total Chaos, Chaos UK, Descendents, Project X, Gorilla Biscuits, Youth Of Today, dll. Hal ini menjadi mengakar dalam bermusik di kemudian hari. Awal tahun 2000-an dengan thrashcore/powerviolence-nya dan kemudian lebih jatuh cinta pada crust punk tahun 2002-an sampai sekarang dengan berbagai variannya.

karya ken terror

Semua orang tentu punya sosok panutan yang menjadi inspirasi. Bagi Ken Terror sendiri, siapa sosok yang memegang peran penting itu?

Sosok ini tidak jauh dalam kehidupan saya. Pertama ayah saya sendiri yg pertama kali memberikan saya buku gambar dan pulpen pada awal tahun 80-an, yang sekali-sekali mengajarkan saya menggambar binatang dan pemandangan. Selain itu, paman juga cukup memberi semangat dalam mendalami hobi karena beliau adalah seorang pelukis cat minyak. Lalu kakak saya yang juga suka menggambar dan mengenalkan saya pada musik 80’s heavy metal lewat koleksi kasetnya, yang sampulnya membuat saya lebih tertarik untuk menggambar tema-tema serupa dengan keterbatasan alat, pengetahuan, maupun skill. Juga mendiang ibu saya; sosok heroik, penyabar, dan perkerja keras, sangat menginspirasi saya dalam menjalani hidup secara general. *(RIP, the four of them).

Tentang pointilisme. Ada alasan khusus kenapa memilih teknik ini di dalam menghasilkan karya?

Hal ini bermula dari proses eksperimentasi menggambar dengan media baru. Saya pernah menggambar  menggunakan pinsil, cat air, pulpen; yang dengan ketiganya bisa menghasilkan gradasi. Sampai ketika saya mulai menikmati proses menggambar menggunakan marker (spidol) yang mana adalah media yang tegas yang tidak bisa menghasilkan efek gradasi. Saat itulah saya mulai berpikir bagaimana menghasilkan efek itu. Pernah menggunakan metode hatching tapi secara pribadi kurang memberi kepuasan. Akhirnya setelah mencoba, pointillism/stipple inilah yang kemudian paling bisa merepresentasikan gagasan membentuk gradasi dengan tingkat kepuasan palling pas. Dari tahun 2001 sampai sekarang menjadi style yang paling membuat saya nyaman dalam mengerjakannya dan memberi kepuasan saat karya selesai dikerjakan.

Sejauh ini, karya Ken Terror selalu memvisualkan tengkorak. Premis seperti apa yang ingin disampaikan dari visual tersebut?

Ada beberapa alasan, diantaranya karena saya takut gambar muka yang saya buat secara tidak sengaja mirip dengan muka orang lain. Juga karena menggambar muka itu sangatlah susah. Ketiga karena saya secara pribadi menganggap tengkorak ini adalah wajah asli manusia (dan mahluk hidup pada umumnya), sesuatu yang sangat jujur dan apa adanya tanpa kelas sosial, tanpa standar kecantikan tertentu. Tapi ada saat dimana saya merasa tertantang untuk menggambar muka dan akhirnya mencobanya juga.

Brian Schroeder atau yang akrab dikenal dengan nama Pushead. Pandangan  tentang sosoknya di dunia musik dan juga ilustrasi seperti apa dan kenapa?

Pushead adalah inspirasi paling krusial dalam perjalanan karir ilustrasi saya. Banyak memberi inspirasi dan semangat besar untuk belajar teknik stipple dari karya-karyanya, estetika bentuk dan detail tengkorak khas goresan tangannya membuat saya takjub ketika pertama kali melihatnya yang kemudian saya transformasikan lewat skill saya yang terbatas yang akhirnya menjadi karakter khas saya dalam berkarya. Begitupun sosoknya sebagai musisi memberi energi lebih dalam bermusik ketika saya bermain drums dengan band thrashcore saya dulu, juga semangat Do It Yourself-nya cukup memberi pengaruh dalam menjalani hidup dengan beragam kapasitas/porsinya.

Korelasi besar antara musik dan ilustrasi dengan proses pengkaryaan seperti bagaimana? 

Sangat lekat, karena saya memulai keduanya di era bersamaan. Skena musik, komisi dari band-band berbagai genre membentuk mood dan karakter karya saya.

Bisa ceritakan kerja sama yang terjadi dengan Consumed Magazine hingga bisa merilis buku KEN?

Berawal saat pembuatan video interview untuk Maternal Disaster pada sebuah malam tahun 2013. Saat itu Vidi tiba-tiba menyampaikan gagasan untuk membukukan gambar-gambar saya. Tidak pernah bermimpi akan merilis buku, namun tentu saja saya mengiyakannya dengan semangat. Tidak pernah mengira juga bahwa ini akan melewati proses yang sangat panjang. Seperti proses pencarian karya yang tercecer, compiling, dan scanning. Senang akhirnya bisa rilis juga. Senang karena apresiasi dari Vidi sang penggagas, Herry Sutresna yang ahli dalam layout mengkontribusikan kemampuannya lewat layout dan tulisan yang cukup representatif, Mufti Amenk Priyanka lewat interview santai dan tulisannya yang ciamik, dan kawan-kawan semua tentu saja. Bersyukur sekali dikelilingi oleh orang-orang baik sehingga semua ini bisa terwujud.

Keseluruhan buku ini adalah arsip atas karya yang pernah dibuat oleh seorang Ken Terror. Dari semua karya, apakah ada yang sampai saat ini memiliki nilai sejarah/kenangan yang sangat melekat?

Sayangnya, banyak juga karya awal tahun 2000-an yang tidak memungkinkan untuk dimuat di buku ini karena fisik gambar asli atau filenya entah kemana. Ada beberapa karya yang memiliki arti penting bagi saya, di antaranya ilustrasi untuk sampul split CD Disgust/Meinhof (2008) yang mengenalkan ilustrasi saya pada Paul Hoddy yang waktu itu masih bersama Broken Bones dan berujung komisi dari band tersebut. Broken Bones adalah salah satu band favorit saya, menjadi satu kehormatan ketika saya berkesempatan diminta untuk mendesain ulang logo mereka dan membuat ilustrasi untuk sampul  LP mereka tahun 2010. Lalu ada satu karya lagi, yaitu gesain ulang logo Discharge (band ini sangat penting dalam kehidupan bermusik saya) dari ilustrasi sampul EP/Single The Price Of Silence/Born To Die In The Gutter (3 Skulls iconic logo) karya Martin H. Kemudan beberapa tahun lalu ada dua karya yang sangat berkesan, yaitu fanart ilustrasi sampul album Slowdive – Souvlaki dan potret Rachel Goswell karena berkat kedua gambar tadi, kami, saya dan Rachel sering berkorespondensi, saling bertukar gift, dan berteman baik sampai sekarang. Sebagai seorang penggemar Slowdive sejak lama tentu saja ini menjadi hal yang sangat istimewa bagi saya.

Apa yang membedakan begitu banyak seniman dengan teknik yang sama? Seperti pointilis contohnya.

Banyak, di antaranya: garis atau goresan tangan, taste, interpretasi bentuk, imagery, layout, mood, dll.

Sejauh ini setiap ide yang datang, kebanyakan asalnya dari mana? Buku, musik, atau lingkungan? Bisa ceritakan?

Tiga faktor pada pertanyaan di atas cukup menstimulasi dalam mendapatkan/mengolah ide. Tapi ada kalanya (dan mungkin lebih sering) datang lewat cara, waktu, dan tempat yang tidak terduga. Ketika saya tidak memikirkan atau memfantasikannya. Kerap kali muncul ketika saya sedang dalam perjalanan di dalam sebuah angkutan kota, saat rebahan santai sebelum tidur, ketika menonton film, atau bahkan ketika menikmati sebatang rokok sambil jongkok di atas WC. True story! Haha. Atau kadang hanya membiarkan tangan saya menari di atas kertas.

Sering kali melihat di Instagram mendengarkan musik melalui turntable. Apakah aktivitas seperti itu bisa turut mendorong sebuah ide muncul?

Sebagai penikmat musik, saya pengagum bunyi-bunyian instrumen dan vokal dengan rangkaian nada dan iramanya. Saya sangat menikmati waktu sehabis bekerja dengan mendengarkan musik sebagai relaksasi, quality time. Mendengarkan musik bergenre tertentu dengan perlengkapan analog merupakan pengalaman transendental. Saat kepala dan hati rileks, semakin tenang untuk berpikir dan mengkhayalkan apa yang selanjutnya ingin saya gambarkan.

Tanggapan soal situasi yang sedang melanda seluruh Dunia ini seperti apa?

Sulit untuk dibayangkan bagi saya dan bagi sekian banyak orang, ketika ruang gerak menjadi sangat terbatas dan bertolak belakang dengan kebutuhan yang tidak bisa menunggu. Saya bersyukur mempunyai pekerjaan tetap yang tidak begitu terdampak, begitupun dengan kegiatan berilustrasi dalam konteks komersil masih bisa berlangsung. Jujur, saya iba melihat saudara-saudara lainnya yang entah harus bagaimana menghadapi hari esok dengan kondisi seperti ini. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik, semoga diberi kesehatan, kesabaran ekstra, dan selalu dilimpahkan rejekinya juga bagi kita semua. Dan semoga pandemi ini cepat berakhir.

Lalu, bagaimana seorang seniman harus menyiasati kondisi yang tak kunjung sehat ini?

Tetaplah berkarya, oleh atau tanpa komisi, agar tetap waras, berpikir jernih dan positif. Cari hiburan ringan tapi bermakna. Dan cari cara untuk tetap bertahan hidup lewat jalan yang baik.

Kontrasosial, apa proyek selanjutnya?

Selain main di sebuah festival hardcore punk di negara tetangga yang juga dibatalkan (ditunda?), berencana membuat rilisan baru berupa EP berisi lagu-lagu cover version dan album baru. Semoga setelah semua ini berakhir bisa secepatnya terealisasi. 

Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membalas. Terakhir, adakah pesan untuk semua teman seniman di luar sana yang sedang berjuang menghadapi situasi saat ini?

Sama-sama dan dengan senang hati. Bersabar dan tetap semangat, kawan-kawan! Selalu jalani pola hidup sehat. Akan ada saatnya semua ini berakhir dan keadaan menjadi lebih baik, semoga. Hang in there! Big Love!

Teks: Adjust Purwatama
Visual: Arsip dari Ken Terror/Consumed Magazine/M Muklis Aditya

Karya Seni Thom Yorke dan Stanley Donwood Segera Dipamerkan

Siapa yang tahu, ternyata ikatan pertemanan bisa membawa kita ke suatu hal yang sangat jauh. Dengan teman, seseorang bisa dengan mudah untuk berkolaborasi, bersama teman pula kita  kerap bertukar ide...

Keep Reading

Nada Siasat: Bermimpi di Ujung Maret

Memasuki bulan Maret, pertunjukan musik secara langsung kini sudah diberi lampu hijau oleh para pemangku kebijakan. Gelaran musik dari yang skala kecil sampai skala besar kini sudah mulai muncul ke...

Keep Reading

Galeri Lorong Langsungkan Pameran Seni Bernama IN BETWEEN

Berbagai momentum di masa lalu memang kerap menjadi ingatan yang tak bisa dilupakan. Apalagi jika irisannya dengan beragam budaya yang tumbuh dengan proses pendewasaan diri. Baru-baru ini Galeri Lorong, Yogyakarta...

Keep Reading

Refleksikan Sejarah Lewat Seni, Pameran "Daulat dan Ikhtiar" Resmi Digelar

Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mengadakan sebuah pameran temporer bertajuk “Daulat dan Ikhtiar: Memaknai Serangan Umum 1 Maret 1949 Melalui Seni”. Pameran ini sendiri akan mengambil waktu satu bulan pelaksanaan, yakni...

Keep Reading