- Tidbits
The Painted Bird; Film yang Tak Boleh Ditonton Mental Lemah
Ketika ‘The Painted Bird’ pertama kali ditayangkan di beberapa festival film musim gugur tahun lalu, dilaporkan di Venesia dan Toronto banyak penonton yang enggan lanjut melihat film hingga durasi usai, mereka keluar bioskop sebagai bentuk protes karena merasa bergidik dengan beberapa adegan yang digambarkan dalam film itu. Wajar. Gambar hidup berlayar hitam-putih yang berkisah peristiwa Holocaust ini memang menampilkan kengerian tak umum. Tapi, bukankah drama ini diadopsi dari The Painted Bird, novel dari penulis Amerika-Polandia Jerzy Kosi?ski yang wajib dibaca sebab masuk dalam daftar 100 novel berbahasa Inggris terbaik dari tahun 1923 versi majalah Time?
Penulis sendiri – dan bagi Anda yang sudah membaca – barangkali hampir tidak dapat menghilangkan ingatan tentang seorang pemuda yang dikisahkan dalam buku itu, anak laki-laki Yahudi yang mengembara dari desa ke desa di bagian Eropa Timur selama masa Perang Dunia II yang tidak disebutkan namanya itu dikubur hidup-hidup sampai leher oleh dokter wanita, dan membiarkannya di luar sampai kepala si pemuda dipatuki beberapa gagak hingga berdarah-darah. Mengerikan bukan? Betul, tapi sekaligus mengharukan. Berdurasi hampir tak kurang tiga jam lamanya, dan diceritakan dengan baik dan sangat mirip versi bukunya, berpindah dari fragmen keji ke fragmen keji lainnya, ‘The Painted Bird’ termasuk film yang harus ditonton tapi bukan untuk orang yang bermental lemah.
Film ini menceritakan kisah Joska (Petr Kotlar), yang namanya hanya akan bisa kita ketahui di akhir durasi, ketika ia tinggal bersama lagi dengan sang ayah. Sebelumnya Joska dititipkan kedua orangtuanya pada seorang wanita tua (Nina Shunevych). Tapi kebersamaanya dengan sang wanita tua itu hanya berlangsung sebentar. Pada suatu ketika Joska mendapati wanita tua itu tergeletak tak bernafas, dan kematian itu membawa larut Joska dalam kepanikan yang terlalu sehingga tak sadar bila dirinya sudah menciptakan kobaran api sampai-sampai rumah sekaligus tubuh sang wanita tua itu ikut terbakar hangus.
Dalam teater bersutradakan Václav Marhoul itu Joska dinarasikan tak pernah bertemu orang yang betul-betul baik kecuali seorang prajurit Nazi (Stellan Skarsgard). Sebelum Joska lari ke pelukan sang ayah kembali, ia sempat diadopsi seorang pastor Katolik (Harvey Keitel). Sang pastor malah memperlakukan Joska sebagai budak, dan tak lama kemudian ia dijual ke seorang pembuat dan penjual minuman beralkohol ilegal (Julian Sands). Julian Sands menyiksanya, memperlakukannya dengan cara yang sama. Usai melewati beberapa kejadian tak mengenakkan, Joska dipungut penembak jitu Tentara Merah (Barry Pepper). Di sana ia diajari dan terinspirasi bagaimana cara membalas dendam sekeji dan sekejam perlakuan yang selama ini kerap ia terima.
Salah satu adegan lagi yang akan membuat ngilu dan barangkali tak akan bisa dijumpai dalam film lain ialah ketika penganiayaan yang dialami Joska bukan hanya fisik, tapi psikologis. Ia kerap menerima pelecehan seksual. Akhirnya, trauma membuat ia menjadi bisu. Kebisuan Joksa jangan dikira karena sebagian besar film ini memang berjalan tanpa dialog yang sebelumnya tak akan kita sadari, tapi ia betul-betul merasakan saraf-saraf di mulutnya tak berfungsi dengan baik. Kekejian lain dalam film peraih ‘Czech Lion Award’ berkategori Best Screenplay dan ‘Golden Lion’ di Festival Film Venice ini adalah saat di mana ada tantara yang membabi-buta menembaki orang Yahudi yang akhirnya berhasil juga melarikan diri dengan lompat dari kereta yang tengah melaju kencang.
Adapun judul film berbiaya USD 7,5 juta itu diambil dari kisah pada waktu Joska bersama dengan seorang penangkap burung (Lech Dyblik). Bersama nama terakhir Joska kerap diperlihatkan tingkah laku ‘unik’, jika tak ingin dibilang aneh. Hanya karena ingin menghibur diri, Lech Dyblik tak jarang sengaja melukis sayap seeokor burung agar dirinya dapat menonton langsung burung itu dikejar dan dicabik-cabik karena sekawanannya tak lagi dapat mengenalinya.
Berlatar kisah pinggiran yang sering diabaikan dalam sejarah perang dunia, tapi dengan gaya surealisnya film ini berhasil mengecoh kita hingga sulit menyadari bahwa film ini ternyata masuk dalam genre dokumenter. Terlepas kontroversi yang dihadirkan, film ini secara ‘telanjang’ berani mengungkap bagaimana perang dapat membawa pergi nilai-nilai kemanusian, baik bagi para pelaku dan korbannya, dan memberi tahu kita bila cerita penggiran dalam sejarah perang apapun sama mengerikannya dengan kisah utama. Jadi, mau pada nonton gak? Lumayan untuk mengisi waktu kalian yang banyak kosong.
Teks: Emha Asror
Visual: Arsip Indiewire.com
Suguhan Yang Lebih Dari Lineup

Kota Makassar tengah dipenuhi gegap gempita ledakan festival musik nyaris setiap akhir pekan. Sebagai salah satu yang berjalan paling lama, Rock In Celebes menjadi nama yang paling dinanti oleh pecinta...
Keep ReadingMenyajikan Lebih Dari Musik!

Familiaxshow telah sampai pada seri ke-7 yang akan digelar pada 18 September 2022. Gig 3 bulanan sekali ini pertama kali digulir 6 Maret 2020 dengan fokus memberikan ruang bagi lineup...
Keep ReadingSTUC Merepresentasi Mood Yang Acak Dalam 'Spin'

Kuartet math-rock dari Bandung yang mantap digawangi Dida (Drum), Wisnu (Gitar), Ades (Gitar), dan Ojan (Bass) merilis single kedua bersama Humané Records pada tanggal 26 Agustus 2022 dengan tajuk ‘Spin’....
Keep ReadingGeliat Kreatif Dari Sulawesi Tengah Dalam Festival Titik Temu

Terombang-ambing dalam kebimbangan akan keadaan telah kita lalui bersama di 2 tahun kemarin, akibat adanya pandemi yang menerpa seluruh dunia. Hampir semua bentuk yang beririsan dengan industri kreatif merasakan dampak...
Keep Reading