Studio Musik yang Terus Bertahan di Tengah Amuk Wabah

Wangi pengharum bercampur pendingin ruangan dibumbui bau kayu dari gitar yang memuai dilengkapi aroma dari sisa-sisa keringat di kaus kaki yang sudah seminggu tidak diganti, mungkin kesatuan itu yang Anda ingat saat memabahas studio musik, lebih lagi kalau Anda pernah menjadi remaja dengan poster The Beatles, Blink-182, hinnga AC/DC di dinding kamar dan cita-cita naif menjadi rockstar di angan (yang beberapa tentu berakhir di bank).

Dengan baunya yang khas itu, studio musik punya peran penting dalam perkembangan musik Indonesia. Gitar elektrik lengkap dengan pedal dan amplifier juga drum tentunya merupakan barang mewah yang tidak bisa dimiliki semua orang. Studio musik pun hadir sebagai solusi karena membuat alat-alat tersebut bisa dinikmati kalangan yang lebih luas.

Masalahnya, masa pagebluk ini membawa apes segala usaha orang, terlebih lagi yang bersangkutan dengan musik. Industri ini hanya menyumbang 0,48 persen produk domestik bruto (PDB) negara (pada 2016), kesembilan terkecil di antara 16 subsektor ekonomi kreatif lainnya, melansir Kata Data. Dengan angka segitu, wajar saja kalau negara seakan menganaktirikan industri ini. Karena berkaitan dengan para musisi yang memang sedang miskin, studio musik pun menjadi salah satu usaha yang terkena imbasnya.

“Tentunya semua usaha selama pandemi mengalami penurunan yang signifikan, kecuali usaha tes swab,” tutur Bingkas, pengelola Escape Studio, salah satu studio musik di Bandung.

Escape merupakan salah studio musik yang cukup memenuhi standar di Bandung. Selain dipakai latihan, perlengkapan rekaman Escape lumayan mumpuni. Karena itu, beberapa band jadi menjadikan studio ini sebagai salah satu pilihan untuk melanggengkan aktivitas bermusik mereka. The Titans mungkin tercatat menjadi salah satu pelanggan Escape.

Pernyataan Bingkas tersebut juga didukung oleh Jaka, pemilik studio bernama Reborn yang terletak di kawasan Jatinangor, Kabupaten Sumedang.

“Selama pandemi drastis turun. Apalagi pas awal-awal pandemi paling parah selama dua bulan pernah sampe enggak ada income. Dari situ, sampai sekarang kalau perbandingan jumlah selama pandemi 10% sampe 30% lah kira-kira dibanding sebelum pandemi,” ujar Jaka. “Masih ramai atau enggaknya sih jelas enggak ramai. Industri musik kayaknya yang paling kena dampak selama pandemi.”

Jatinangor mungkin menyumbang banyak nama di kancah musik independen khususnya dekade lalu, dan Reborn (dulunya Laguna) jadi salah satu andalan nama-nama itu karena punya alat yang cukup nyaman dipakai. Namun, sebagai wilayah pendidikan, semua usaha di Jatinangor memang ditentukan oleh mahasiswa. Hingga tulisan ini dibuat, kegiatan di kampus memang belum berjalan. Jadi, wajar jika Jaka merasakan kesulitan dalam usahanya.

Biarpun keadaan musisi tidak stabil di masa seperti ini, Bingkas merasa pelanggan utama studionya masih dari kalangan tersebut. Bingkas berpendapat bahwa ada kemungkinan beberapa musisi menggungakan kesempatan sepi panggung sebagai waktu yang tepat untuk membuat karya baru.

“Yang masuk rata-rata musisi, karena mungkin job off air tidak ada, musisi banyak latihan untuk bikin lagu baru, mungkin,” kata Bingkas.

Hal ini juga terbukti dari sisi musisi. Pradana “Dana” Samara yang merupakan pentolan dari The Sailors mengatakan bahwa ia sedang mempersiapkan album pendek yang direncanakan rilis awal tahun depan.

Keadaan studio musik saat ini membawa dampak baik dan buruk sekaligus bagi dana. Baiknya, The Sailors merupakan proyek pribadinya, jadi tanggung jawabnya untuk membayar studio lantas gugur. Buruknya, biarpun begitu, ia tetap harus merapikan bagian-bagian yang ia buat bersama rekan-rekan additional yang menurutnya “tidak tergantikan” dan sudah seperti personel bagi The Sailors.

“Biasanya aku bikin guide gitar, aku nulis lirik (atau) pakai tulisan yang pernah ditulis di buku atau tulisan yang pernah dikasih temen. Kemudian, aku rekamin itu vokal dan gitar dan nanti aku isi filler-filler seadanya dulu. Misal kayak aku isi hammond, lap steel, sama terompet seadanya pake midi. Kemudian, aku kirim ke anak-anak yang di mana anak-anak enggak ada yang mau bantu (tertawa). Akhirnya, aku nge-fix-in semua sendiri dan aku kirim ke anak-anak hasil akhir (termasuk pola filler dan pola drum and bas). Nanti, anak-anak mengisi dari rumah masing-masing kecuali drum itu nanti tetep di studio (mereka sudah ada guide line, jadi dia tinggal menyempurnakan dummy yang tak bikin),” katanya tentang proses pembuatan lagu.

Dana mengakui tetap harus melancarkan semua di studio. Permasalahannya adalah keadaan studio di kotanya saat ini.

“Tapi nanti eksekusinya tetap ada latihan di studio, walaupun cuma sekali. Karena studio pun banyak yang tutup gara-gara pandemi. Kalau enggak tutup ya di Yogya ini, harga shift studio naik,” tambahnya.

Semua permasalahan itu tidak menghentikannya untuk berkarya. Bahkan, dua nomor dari album mininya mendatang, “Alien” dan “No Escape”, sudah ia rilis di Youtube dengan format live.

Selain itu, unit rock & roll asal Bandung, Erratic Moody, juga menolak ketidakproduktifan selama pandemi. Mereka telah merilis album penuh perdana mereka, Safari Semi, tahun ini. Akan tetapi, seakan tidak puas membuat karya, mereka sudah mempersiapkan bahan yang direncanakan untuk rilis tahun depan.

“Lagu baru setelah yang kemaren rekaman album sih sudah ada tujuh buat nyiapin ke EP tahun depan deh kayaknya,” kata Muhammad Reyhan Gyanie Fath atau akrab disapa Gebew, sang gitaris. Ia juga mengakui bahwa kebanyakan dari ketujuh bahan bakar tersebut dibuat selama pandemi. “Biar tetap produktif juga,” tambahnya.

Untuk masalah studio sendiri, ia mengatakan bahwa Erratic Moody mendapat kesulitan untuk latihan di sana selama pandemi. Sebelumnya, ia mengaku bahwa anggaran latihan bisa ditanggung oleh band sedangkan sekarang kadang para personel harus merogoh kocek sendiri untuk keperluan itu.

“Sekarang sih lebih sering di rumah pakai alat seadanya sekalian hemat budget latihan,” aku Gebew.

Selain musisi yang makin terberatkan untuk latihan di studio, para pengelola studio pun masih punya tanggung jawab untuk menjaga agar alat-alat mereka selalu siap pakai. Jaka mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hal terberat dalam usaha studio musik. Bingkas pun mendukung hal tersebut dengan mengatakan, “Kualitas alat pasti berkurang karena harus di suhu dingin sedangkan studio sepi, AC lebih jarang digunakan.”

Biarpun merangkak-rangkak, Escape dan Reborn masih tetap berjalan selama hampir dua tahun pandemi. Sebenarnya, studio musik bisa dijadikan sebagai wahana hiburan melepas penat kesibukan sehari-hari, layaknya tempat karaoke dan bioskop. Ini menjadi keuntungan sendiri bagi Jaka. Ia tetap kedatangan beberapa musisi yang masih latihan di tempatnya, namun ia juga terbantu oleh beberapa kalangan lain yang punya kebutuhan untuk membuat konten musik atau hanya sekadar bersenang-senang.

“Dari band masih ada yang cuma sekedar briefing atau ngulik-ngulik. Ada juga kegiatan gereja-gereja, kampus. Kebanyakan buat hiburan aja,” tuturnya.

Selain itu, maraknya acara virtual juga menjadi salah satu pembuka harapan bagi Jaka dan Bingkas. “Dari acara komunitas sama kegiatan kampus, konten-konten pribadi juga ada” kalau dari sisi Jaka. Di Escape sendiri, Bingkas pernah menerima acara virtual dari kampus.

Teks: Abyan Nabilio
Visual: Abil Anugrah

Sisi Organik Scaller Dalam "Noises & Clarity"

Kabar baik datang dari Scaller yang baru saja merilis live session (8/7/23) yang kemudian diberi tajuk “Noises & Clarity”. Dalam video ini, grup musik asal Jakarta tersebut tampil membawakan 5...

Keep Reading

Single Ketiga Eleanor Whisper Menggunakan Bahasa Prancis

Grup Eleanor Whisper asal kota Medan yang telah hijrah ke Jakarta sejak 2019 ini resmi merilis single ke-3 yang diberi tajuk “Pour Moi”. Trio Ferri (Vocal/ Guitar), Dennisa (Vocals) &...

Keep Reading

Sajian Spektakuler KIG Live!

Umumkan kehadirannya sebagai pemain baru pada industri konser musik Indonesia, KIG LIVE yang merupakan bagian dari One Hundred Percent (OHP) Group menggelar acara peluncuran resmi yang juga menampilkan diskusi menarik...

Keep Reading

Crushing Grief Gandeng Dochi Sadega Dalam Single Terbaru

Unit pop-punk dari Manado, Crushing Grief, menggandeng Dochi Sadega dari Pee Wee Gaskins, dalam single terbaru mereka yang diberi tajuk “Hard Rain“. Single ini merupakan salah satu lagu yang diambil dari EP...

Keep Reading