- Music
Rifan Kalbuadi: Menulis Lagu adalah Terapi
Rifan Kalbuadi, seorang musisi yang bermukim di Jakarta ini terus produktif dalam menciptakan karya. Di tengah kesibukannya menempuh pendidikan, namun hal tersebut tak membuat ia berhenti untuk menulis lagu.
Musisi muda kelahiran 1995 ini mengawali karirnya di dunia musik dengan meng-cover lagu-lagu idolanya. Video yang ia buat telah banyak ditonton oleh banyak orang. Tak terjebak dalam karya sang idola, sebetulnya Rifan sejak bergelut di dunia musik sudah menulis lagunya sendiri namun belum sempat merilisnya. Belakangan diketahui, setidaknya di tahun 2017 lalu Rifan telah merilis EP bertajuk ‘Statis’ yang berisi empat trek lagu, diikuti dengan perilisan single di tahun-tahun berikutnya, diantaranya ‘Temporary Hours’ dan yang terakhir single yang baru saja ia rilis bertajuk ‘5207’.
Yang menarik dari lagu yang ia tulis adalah kesederhanaanya dalam mengolah segala pengalaman pribadi. Semisal dalam lagu ‘5207’ ia menuangkan segala perasaannya ketika sang nenek meninggal. Apa yang ia tuangkan dalam karyanya selalu syarat dengan emosi, meangkum kesedihan dengan balutan musik minimalis yang terkadang membuat siapapun yang mendengarkannya akan melamun sejenak.
Setelah merilis karya ‘5207’ pada bulan Desember ini, saya berkesempatan untuk mewawancarai Rifan Kalbuadi. Membicarakan proses kreatif, aktivitas di masa pandemi, sampai bagaimana cara ia mengolah segala perasaannya hingga akhirnya bisa menjadi sebuah karya musik. Selengkapnya silahkan simak di bawah ini.
Hallo Rifan Kalbuadi. Apa Kabar?
Alhamdullilah baik-baik.
Di tengah situasi pandemi, aktivitas apa saja kamu lakukan?
Di pandemi ini saya lagi cukup sibuk menyelesaikan studi S2 saya. Kebetulan saya sedang menempuh program pascasarjana Hubungan Internasional di UI dan sudah memasuki semester 4, jadi lagi sibuk-sibuknya mempersiapkan tesis. Di samping itu saya juga terus produktif dengan musik; menulis dan memproduksi lagu-lagu. Di pandemi ini saya berusaha semaksimal mungkin untuk tetap produktif dan aktif walupun di rumah saja. Saya juga lagi seneng menanam dan ternak lele. Hehe.
Sebagai musisi yang bermula dari meng-cover lagu musisi lain, hal apa yang membuat seorang Rifan tergerak untuk menciptakan karya sendiri?
Sebenarnya saya sudah menulis lagu dan menciptakan karya sejak awal bermusik. Karena memang tujuan saya bermusik adalah dapat membawakan lagu sendiri. Hanya saja di awal-awal itu saya belum mendapatkan kesempatan untuk merilisnya. Dan seperti musisi pemula pada umumnya, tentu belajarnya dari meng-cover lagu musisi lain. Itu jadi semacam proses pembelajaran saya.
Sedikit kembali ke belakang. Di 2017 kamu merilis debut EP bertajuk ‘Statis’. Bagaimana respon orang-orang dengan karya perdana tersebut?
EP Statis bisa dibilang adalah proyek yang “nekat”. Namun, Alhamdullilah, mendapatkan respon yang lebih dari ekspektasi saya. Sampai sekarang pun apresiasi karya-karya di EP Statis tetap hadir.
Secara keseluruhan, karya-karya yang dibuat banyak membicarakan tentang selingkar pengalaman pribadi. Bisa diceritakan bagaimana kamu mengolah segala pengalaman sampai bisa menjadi suatu karya?
Saya nggak bisa nulis lagu selain dengan menceritakan pengalaman sendiri. Ego saya cukup besar dalam songwriting Hahaha
Bagi saya menulis lagu adalah semacam terapi dan lagu-lagu itu merupakan refleksi diri dalam perjalanan hidup saya yang setiap saatnya terus berkembang. Saya yakin orang-orang mempunyai cara sendiri dalam menceritakan hidupnya; melukis, menulis buku, membuat film, dan lain lain. Kalo saya, kebetulan caranya adalah dengan bermusik, menulis lagu.
Awal tahun ini kamu juga merilis single ‘Temporary Hours’. Bisa diceritakan proses dibaliknya?
‘Temporary Hours’ adalah satu dari banyak lagu yang akan saya masukkan ke dalam Album. Proses ‘Temporary Hours’ bisa dibilang cukup singkat. Penulisan lagu Temporary Hours memakan waktu kurang lebih 3 jam dari menulis sampai produksi. Cepat, karena memang saya sudah ngebet untuk nulis lagu ini sejak saya mengunjungi adik saya yang wisuda di Amerika Serikat. Singkat cerita, ide lagu itu dipicu omongan adik saya setelah wisudanya beres. Dia waktu itu kira-kira bilang,“Sedih juga ya, gue gak bakal tau apakah gue akan ketemu temen-temen gue lagi”. Hal itu memicu saya untuk menulis lagu tentang waktu. Liriknya menceritakan pemahaman saya bahwa semua yang kita alami ini hanya sementara. Sepulang dari sana, saya workshop sendiri dan menghasilkan Temporary Hours.
Secara musikalitas, jika dibandingkan dengan karya sebelumnya, ‘Temporary Hours’ memiliki nuansa baru. Di lagu itu saya merasakan ada loncatan kreativitas dalam mengolah musik. Selang 3 tahun dari EP, apakah ada pengalaman baru yang mendorong kamu untuk menciptakan musik semacam itu?
Tentu saja. Dalam 3 tahun selang EP Statis, saya benar-benar mempelajari diri saya dan benar-benar memaknai arti musik. Saya lebih berani dalam menulis lagu-lagu yang benar-benar raw dengan genre-genre musik yang saya sukai. I think I’ve reached a point di mana jika karya-karya yang saya hasilkan itu bisa menggerakkan hati ketika saya mainkan dan nyanyikan, that means I know I’m on the right track. Saya percaya pengalaman dalam bermusik akan terus berkembang, berevolusi seiring dengan majunya jaman. Tidak akan menutup kemungkinan saya akan mengeksporasi genre dan approach baru dalam bermusik di tahun-tahun yang mendatang.
Adakah formula khusus ketika kamu menciptakan musik?
Jujur, tidak. I just know that sincere and honest music will always find its way to people.
Siapa yang mempengaruhi kamu dalam bermusik?
Sosok pertama yang mendorong saya untuk bermusik adalah dari mendengarkan karya-karya Alm. Chrisye. Di era kontemporer sekarang cukup banyak ya, tapi mungkin sosok idola saya dalam bermusik adalah Bon Iver. Khususnya Justin Vernon dari Bon Iver. Saya juga suka proyek-proyek yang dihasilkan dari personil-personil Bon Iver, seperti Big Red Machine, Volcano Choir, Deyarmond Edison dan S. Carey.
Hal apa yang menurutmu paling menyenangkan dalam bermusik?
Selain songwriting dan produksi musik itu sendiri, menurut saya manggung itu benar-benar menyenangkan. Energi yang saya dapat ketika bermusik di panggung dengan teman-teman musisi di depan orang-orang itu sungguh membahagiakan.
Baru-baru ini kamu juga merilis karya teranyar berjudul 5207. Bisa diceritakan bagaimana prosesnya?
5207 adalah salah satu lagu saya yang sebenarnya sudah tulis dari tahun 2018 pasca-wafatnya Nenek saya. Proses songwriting 5207 cukup singkat karena pada saat itu momentum yang saya alami dan angkat dalam lagu 5207 cukup mengubah hidup saya, so I knew at that time, while my emotions were still high, I HAD to write. Produksi dan rekaman vokal 5207 juga sebenarnya sudah kelar dari pertengahan 2019.
Kenapa di judul lagu menggunakan angka ‘5207’. Ada cerita atau rahasia apa dibaliknya?
Mei 2018, Nenek saya meninggal dunia setelah melawan kankernya selama kurang lebih 3 bulan. Selama 3 bulan itu beliau dirawat di kamar bernomor 5207. Bisa dibilang, kamar 5207 itu adalah saksi bisu perjuangan nenek saya dalam melawan penyakitnya. Di kamar itu juga saya merasakan bahwa kami sekeluarga benar-benar bersatu dan saling menguatkan satu sama lain selama masa sulit itu.
Secara garis besar lirik dalam lagu ‘5207’ bercerita tentang nenek anda. Tentu banyak perasaan yang tertuang di lagu tersebut. Bagaiaman anda memaknai sebuah kehilangan?
It was tough. Itu adalah pengalaman pertama saya dalam melihat kematian secara langsung. Melalui perjalanan panjangm menemani, menguatkan nenek saya, dan pada akhirnya beliau meninggal dunia. Kehilangan menurut saya adalah sesuatu yang mau tidak mau harus kita persiapkan kelak. Kehilangan nenek saya pada saat itu menghasilkan banyak sekali pelajaran, terutama pelajaran untuk lebih memaknai dan mengapresiasi waktu. Because time is something you cannot take back.
Projek apa yang selanjutnya akan dikerjakan?
Tentu saja banyak lagu dan musik baru yang insyaAllah akan di-release di waktu yang akan datang.
Teks: Dicki Lukmana
Visual: Arsip dari Rifan Kalbuadi
SKJ'94 Kembali Menghentak Lantai Dansa

Penamaan genre musik rasanya sudah menjadi hal umum sekarang ini. Sama seperti grup musik yang pernah mewarnai hiruk pikuk industri musik Indonesia era 2000 awal yang mengkategorikan musiknya sendiri ke...
Keep ReadingInterpretasi Pendewasaan Bagi Prince Of Mercy

Terbentuk sejak 2011 silam di kota Palu, Prince Of Mercy lahir dengan membawa warna Pop Punk. Digawangi oleh Agri Sentanu (Bass), Abdul Kadir (Drum), Taufik Wahyudi (Gitar), dan Sadam Lilulembah...
Keep ReadingKembali Dengan Single Experimental Setelah Setahun Beristirahat

Setelah dilanda pandemi covid-19, tahun 2023 sudah semestinya menjadi momentum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berpesta dan bersuka ria. Di sinilah momen ketika Alien Child kembali hadir dan menjadi yang...
Keep ReadingLuapan Emosi Cito Gakso Dalam "Punk Galore"

Setelah sukses dengan MS. MONDAINE dan BETTER DAYZ yang makin memantapkan karakter Cito Gakso sebagai seorang rapper, belum lama ini ia kembali merilis single terbarunya yang berjudul PUNK GALORE yang single ke-3...
Keep Reading