- Tidbits
Menjenguk “Tilik” dari Dekat
Ada cara-cara naratif dan non-naratif ketika seseorang melihat sebuah peristiwa kehidupan atau saat menonton sebuah karya seni, termasuk film. Sayang, biasanya keinginan untuk memaksakan metode naratif begitu kuat. Akhirnya, naratiflah yang menang telak. Sementara proses naratif seseorang kerap kali melibatkan simplifikasi pemahaman, pretensius dan pengalaman negatif pribadi. Di saat bersamaan, seperti kata filusuf sekaligus kritikus seni Walter Benjamin, penilaian naratif siapapun saat melihat karya seni apapun – lukisan, film, foto, dan semacamnya – tidak sedikit dipengaruhi pandangan orang lain, budaya, pendidikan, dan sejenisnya. Begitu pula dalam memahami kemudian menilai “buruk” film pendek bertahun 2018 garapan Wahyu Agung Prasetyo, “Tilik”. Maka tak aneh, banyak orang melihat cara bernarasi sang sutradara dalam menggarap “Tilik” memberi kesan seolah ia sedang melanggengkan stereotip terhadap wanita. Dan saya kira pandangan ini keliru.
Tapi, sebelum mengulas lebih dalam dan di titik mana “Tilik” dipandang “film bermasalah”, alangkah baiknya kita tahu terlebih dahulu drama apa yang dihadirkan film penerima Official Selection World Cinema Amsterdam di 2019 itu. Berawal dari segerombolan perempuan penduduk desa yang tengah dalam perjalanan naik truk menuju rumah sakit di kota dalam rangka menjenguk bu lurah yang kondisinya sedang tak sehat. Di sepanjang perjalanan beberapa warga berbantahan perihal pria mana yang akan ditambat hati Dian (Lully Syahkisrani). Dian seorang kembang desa. Banyak lelaki berusaha mengambil hatinya. Bahkan, berjibun yang tak segan-segan ingin mempersuntingnya.
Perdebatan sampai melebar kemana-mana. Berbekal informasi yang berlalu-lalang di media sosial, kepada ibu-ibu di sekitarnya bu Tejo (Siti Fauziah) mengutarakan kecurigaannya perihal kemewahan yang didapat Dian. “Ada yang bilang kalau kerjaannya keluar-masuk hotel gitu, lho. Terus ke mall sama cowok segala. Kerjaan apa, ya?” ujar bu Tejo memprovokasi. Yu Ning (Brilliana Desy) membalas. Ia mengatakan: “Tapi semuanya belum tentu bener lho, Bu Tejo. Berita dari internet itu harus dicek dulu, nggak cuma ditelan mentah-mentah.” Cuilan dialog ini kiranya bisa memberi pengantar pesan apa sebenarnya yang ingin dibawa “Tilik”.
Satu lagi, betapa kerasnya usaha Fauziah dan Desy dalam memanggungkan peran protagonis bu Tejo dan antagonis yu Ning layak diberi kredit. Intermezo buat penonton awam, soal protagonis dan antagonis, sepertinya harus saya garis bawahi. Dalam dunia sinema, entah layar TV atau bioskop, fungsi yang disebut pertama sejatinya tak harus bersifat “baik”, tapi bisa juga “jahat”. Protagonis adalah tokoh utama, dan itulah bu Tejo. Di sini, ia lebih berkarakter “tak baik”. Bisa dilihat, misalnya, bagaimana bu Tejo berupaya maksimal meyakinkan rekan sejawatnya selama perjalanan di truk bahwa segala informasi bersumber dari internet pasti benar: tak perlu dicek ulang. Padahal, kita tahu, bahwa dalam realitasnya kabar dari media sosial tak selalu benar. Adapun antagonis yang sebenarnya ialah tokoh yang selalu bertugas sebagai oposisi, bisa “baik” dan “jahat” juga. Itulah yu Ning, mucul sebagai tokoh yang “tak jahat”, yang diperankan Desy.
Ia selalu menghalang-halangi atau beroposisi terhadap opini bu Tejo, menentangnya. Dua pemaknaan ini, terlebih buat yang awam, kerap salah. Saya yakin, salah pemaknaan ini akibat pengaruh sinetron Indonesia. Sinetron Indonesia kerap menonjolkan sisi “baik” pada protagonis, dan sifat sebaliknya untuk antagonis. Alhasil, kemudian kita tahu, fungsi serta makna protagonis dan antagonis saat ini telah bergeser dalam pemahaman kita.
Sementara itu, dari sudut sinematografi, secara teknik Agung – demikian pria kelahiran Jakarta 27 tahun silam itu akrab dipanggil – berhasil mengarahkan kameramennya untuk memperoleh angle yang dapat mendukung cerita. Contoh sederhana, penggunaan extreme long shot yang ditata Agung ketika scene di mana bu Tejo sudah kebelet buang air kecil, dan Gotrek (Tri Sudarsono) malah menghentikan truknya di tempat terbuka di tengah jalan yang hanya di kelilingi padang sesawahan. Dengan pengambilan jarak jauh macam modus extreme long shot, penonton jadi sadar, siapa juga yang mau buang air kecil di tempat terbuka, tak ada penghalang di sana-sini? Demikian halnya dengan penolakan bu Tejo: “Gimana sih Gotrek nih! Aku disuruh pipis di tengah sawah apa gimana?! Nggak mau!”.
Kemahiran Agung dalam mengatur penataan kamera yang sangat mendukung cerita tak terbilang baru. Di film pendeknya yang lain, “Anak Lanang”, misalnya, ia sama sekali tak menggunakan teknik cutting. Di film bertahun 2017 ini, bagi yang sudah menonton, pasti akan dibawa masuk dalam cerita itu: ikut merasakan dialog yang dihadirkan dalam perjalanan becak yang tengah mengangkut empat anak SD dari sekolah menuju rumahnya masing-masing. Selain itu, tanpa cutting, penonton seolah hanya melihat sisi single shot saja, seakan tanpa ada proses editing. Lewat metode tanpa cutting, sang sutradara padahal juga punya resiko lebih tinggi: ia akan terus mengulang-ulang scene dari awal lagi bila para cast atau yang di belakang layar tak mengikuti arahannya.
Tentu, ini sangat melelahkan baik untuk para cast ataupun orang-orang yang berada di balik layar seperti kameramen maupun bagi sutradaranya sendiri. Tapi, Agung berani mengambil teknik tanpa cutting itu, dan, sekali lagi, ia berhasil. Tak heran, film pendeknya yang satu ini diganjar tiga penghargaan. Di antaranya, sebagai Winner Indonesian Film Festival Australia pada 2019 kemarin. Jika tak berlebihan, teknik nir-cuttingnya Agung ini mengingatkan sekilas mirip yang dilakukan sutradara kawakan asal Meksiko Alejandro Gonzales Inarritu di film panjang “Birdman”-nya. “Birdman” kemudian meraih Piala Oscar untuk kategori sinematografi di 2014 lalu.
Adapun Agung memang sengaja mendudukkan perempuan di panggung utama film “Tilik” yang berdurasi 32 menit itu. Kenapa semuanya harus perempuan? Salah? Maaf, sama sekali tidak. Alasannya? Begini: di desa-desa kebiasaan menjenguk orang sakit (Jawa: tilik) dengan alat transportasi seperti mobil pickup terbuka atau truk memang sering dilakukan oleh kaum perempuan saja. Malah, hal ini sudah menjadi adat-istiadat. Begitu pula di desa saya Pekalongan. Jika ada lelaki yang ikut dalam rombongan, itupun paling seorang anak kecil atau sang sopir. Dan, ini pula yang dilakukan oleh Agung dengan hanya menghadirkan sosok lelaki seorang, Gotrek. Pengkombinasian antara adat dan alur cerita saya kira tak ada yang salah alias sudak tepat.

Soal stereotip pada wanita Indonesia: gunjing-menggunjing. “Tilik” dianggap sebagian kalangan menghadirkan yang demikian ini. Untuk menilai “Tilik” adalah “film bermasalah” karena memberi kesan melanggengkan stigma “negatif” ini, saya kira harus ditelaah lebih jauh. Mengutip kritikus film fenomenal Jorg Schweinitz, dalam bukunya Film and Stereotype: A Challenge for Cinema and Theory: “Film yang menggambarkan stereotip tertentu biasanya hanya memunculkan karakter tunggal”. Di “Tilik” perempuan punya sifat beragam, tidak tunggal: Dian dengan kemandiriannya yang tak kenal lelah bekerja dan tidak mengandalkan harta orang tuanya; bu Tejo yang tak hanya pandai berbicara saja, tapi juga bisa “solutif”; yu Ning yang selalu memberi “ceramah”; bu lurah, perempuan yang berhasil menjadi pemimpin di kampungnya; serta karakter lainnya. Gunjing-menggunjing juga tidak menjadi kebiasaan perempuan di “Tilik”.
Lihatlah Gotrek yang sukanya menguping obrolan ibu-ibu di belakang truknya. Bukankah menguping juga bagian dari menggunjing meski itu bersifat pasif? Dan itu dilakukan laki-laki. Soal Dian yang di akhir cerita ternyata berpasangan dengan mantan suami bu lurah, saya kira sah-sah saja. Toh, Dian tidak menjadi wanita ketiga atau selingkuhan. Ia memang lebih suka memiliki pasangan lelaki yang sebetulnya lebih pantas menjadi ayahnya. Wajar, sedari kecil Dian sudah ditinggal ayahnya. Sosok pria yang ke-bapak-bapak-an menjadi obsesi Dian dalam mengarungi kehidupan berkeluarga. Wajar bukan?
Tapi, mohon maaf sebelumnya, ada yang saya kritisi sedikit soal “Tilik”. Dalam satu kesempatan saat saya mewakili Siasat Partikelir mewawancarai langsung Agung soal “Tilik”, saya kutip sedikit: “Ingin menyampaikan pesan bila informasi hoaks itu jangan ditelan mentah-mentah, harus disaring, harus diverifikasi. Intinya, sih, itu. Kalaupun ada yang lain itu ‘bumbu’ saja”. Dengan lain kata, Agung ingin memberi kesan – dan barangkali “petuah” kepada kita, penonton – bahwa kabar tentang “Dian yang pernah jalan berduaan bersama om-om di sebuah mall” yang diperoleh bu Tejo dari media sosial itu hoaks, tak benar dan harus diverifikasi. Nyatanya? Di ending film kita menemukan bila Dian memanglah berpasangan dengan pria yang lebih layak dipanggil bapak olehnya – dan kemungkinan besar “om-om” yang dimaksud bu Tejo itu tadi –, ayah Fikri (Hardiansyah Yoga Pratama), mantan suami bu lurah.
Artinya, Agung sendirilah yang membenarkan berita hoaks yang didapat bu Tejo itu bukanlah berita palsu, tapi benar adanya. Sekali lagi mohon maaf, jika saya boleh memberi saran, sesuai pesan film “Tilik” yang disampaikan Agung, sebaiknya kita mendapati Dian berpasangan dengan pak Tejo, suami bu Tejo. Ini akan jadi ending yang plot twist, di samping sejalan dengan pesan “Tilik”: berita hoaks harus difilter.
Teks: Emha Asror
Visual: Arsip Ravacana Films
Suguhan Yang Lebih Dari Lineup

Kota Makassar tengah dipenuhi gegap gempita ledakan festival musik nyaris setiap akhir pekan. Sebagai salah satu yang berjalan paling lama, Rock In Celebes menjadi nama yang paling dinanti oleh pecinta...
Keep ReadingMenyajikan Lebih Dari Musik!

Familiaxshow telah sampai pada seri ke-7 yang akan digelar pada 18 September 2022. Gig 3 bulanan sekali ini pertama kali digulir 6 Maret 2020 dengan fokus memberikan ruang bagi lineup...
Keep ReadingSTUC Merepresentasi Mood Yang Acak Dalam 'Spin'

Kuartet math-rock dari Bandung yang mantap digawangi Dida (Drum), Wisnu (Gitar), Ades (Gitar), dan Ojan (Bass) merilis single kedua bersama Humané Records pada tanggal 26 Agustus 2022 dengan tajuk ‘Spin’....
Keep ReadingGeliat Kreatif Dari Sulawesi Tengah Dalam Festival Titik Temu

Terombang-ambing dalam kebimbangan akan keadaan telah kita lalui bersama di 2 tahun kemarin, akibat adanya pandemi yang menerpa seluruh dunia. Hampir semua bentuk yang beririsan dengan industri kreatif merasakan dampak...
Keep Reading