- Music
Rap, dari Amerika ke Daratan Barat Papua
Ada hamburger dan KFC, cerita sukses dua produk ekspor dari Negeri Paman Sam. Demikian pula hip hop. Lahir di gurun Afrika, komoditas satu ini malah berkembang deras di belantara beton gedung-gedung yang menjulang di Amerika. Seperti kata-kata seorang guru besar linguistik, Mary Bucholtz, di risalahnya Youth and Cultural Practice: “Hip hop ialah bentuk budaya yang paling sering diekspor Amerika ke penjuru negara.” Mirip kasus Korea Selatan dengan K-Popnya. Di Manokwari, di ibu kota provinsi bagian barat Papua ini, muda dan mudi berantusias betul dengan hip hop. Bukan rap, hip hop dinamai ‘lagu karpet dans’ di Manokwari.
Tak tahu persis alasan penamaan itu. Tapi dalam satu riwayat di Hip Hop in Manokwari: Pleasures, Contestations and the Changing Face of Papuanness, tulisan Sarah Richards dalam buku kompilasi From ‘Stone-Age’ to ‘Real-Time’, menyebutkan: “Mereka breakdance di atas sepetak alas. Jarang perempuan, umumnya yang menari tarian itu lelaki. Tersebab itulah hip hop mendapat sebutan itu di Manokwari.” Seringkali di petang hari di depan pertokoan, tak lelah mereka lenggak-lenggok jumpalitan di permukaan alas bersegi tadi. Hingga jam 9 malam biasanya. Itu pun setelah disuruh pergi empunya toko, atau sesudah diusir pulang polisi.
Konon, hip hop sudah masuk ke Papua di 1970’an, dan band funk Black Brothers merupakan artefaknya. Tapi mungkin catatan itu harus dicek ulang, benarkah mereka membawa hip hop yang dimaksud. Lepas dari itu, hip hop kian digemari di daratan berpenduduk kira-kira 106.672 jiwa itu sejak masuk internet dan televisi. “Urusan uang penduduk Manokwari membaik ketika ia jadi ibu kota di 2003. Yang punya perangkat digital bertambah, imbasnya. Hasilnya, konsumsi hip hop Amerika lewat platform baru itu makin tinggi di sana,” ulas Sarah dalam buku bertiti mangsa 2015 itu. Tetapi sebagaimana genre musik lain, ‘lagu karpet dans’ ditanggapi terbelah di Papua, di Manokwari apalagi. Banyak yang suka, tak sedikit yang benci. Penerimaan ini bergantung pengalaman rumit masa lalu per kelompok, terikat dengan tak menentu sebuah kondisi sosial dan politik, juga tertambat pada situasi tekanan agama dan etik budaya yang turun-naik.

Yang senang, ‘lagu karpet dansa’ dirasa hadir sebagai estetika kulit hitam, sama dengan yang berlangsung di belahan lain dunia. Di antara anak muda, rap dipercaya mampu mengangkat harga diri etnik kepapuaannya. Identitas dan nasionalisme kepapuaan, bagi penyuka, melekat erat dan bisa terwakili di ‘lagu karpet dans’. Masih dalam ulasannya itu, Sarah menambahkan: “Lagi pun, masyarakat Papua mengasumsikan dirinya sendiri ialah manusia atraktif, stylish, berbakat, juga suka kemewahan. Kultur rap dipandang seirama dengan anggapan pribadi mereka ini.” Bagi pembenci, rap ialah ‘non-Papua’. Bukan budaya leluhur, kata mereka. Ia dapat merusak tata nilai kekristenan, pun berpotensi menghasut pelajar enggan sekadar duduk bergurau di bangku sekolahan. “Bermasa depan susah,” kata penolak hip hop mencemooh, seperti dikutip Sarah.
Dahulu, persis di pertengahan 2000’an itu, pasar-pasar jadi suargaloka untuk pecinta genre musik yang mekar di 1970’an itu. Di tempat biasa orang bertukar barang dan jasa dengan uang itu, CD rap murah mudah mereka dapati. Usai dibeli, tak segan mereka copy, dibagikan kemudian ke teman-teman sehati. Perburuan dan persebaran hip hop bertambah sewaktu mereka kenal telepon genggam. ‘Lagu karpet dans’ mereka unduh, dan tak lupa mereka bagi-bagikan kembali. Musik rap selalu terdengar di mana-mana. Di sekitar pertokoan, di bus-bus, juga di bisingnya tempat karaoke. Kebencian terhadap rap di sekeliling tak mengendurkan tekad memutar musik itu.

Di buku dengan ditulis bersama kawan-kawan sepenelitiannya itu, Sarah menguraikan: “Musik digolongkan ke tiga ruang di Manokwari.” Lagu gereja, lagu daerah, dan ada lagu dunia. ‘Lagu karpet dans’, atau sederhanaya ‘musik dansa karpet’ barangkali, termasuk dalam kategori terakhir. Church music maupun traditional region songs terbilang jenis musik ‘baik’. Dua musik ini adalah warisan sejarah. Asal-usul mereka terletak di sini. Juga kuasa mengingatkan perintah agama, kata sebagian orang Manokwari. Sementara lagu dunia, secular music, di mana ‘musik dansa karpet’ ada di jenis ini, diyakini mengikis moral orang Papua. Itulah menurut sebagian yang lain.
Terlepas dari keberadaan pembenci, yang khawatir jika sampai anak-anaknya terbawa pergaulan ‘amoral’ lantaran kedatangan hip hop di Kota Injil ini, yang harus jadi catatan penting ialah betapa ‘musik dansa karpet’ adalah gerakan budaya. Ia jadi identitas kepapuan, papuanness identity, sebagaiman disinggung di atas tadi. Nasionalisme kepapuaan memang bukan barang baru. Perasaan mandarah daging sebagai orang Papua sudah lahir sedari pra kolonial malah. Identitas kepapuaan mengeras paska keruntuhan Keluarga Cendana di 1998. Bila dahulu papuanness identity ialah gerakan pembaruan lewat melepas peluru dari senapan, kini ia menjelma dalam gerakan kebudayaan melalui ‘lagu karpet dans’.
Teks: Emha Asror
Visual: Arsip dari Berbagai Sumber
SKJ'94 Kembali Menghentak Lantai Dansa

Penamaan genre musik rasanya sudah menjadi hal umum sekarang ini. Sama seperti grup musik yang pernah mewarnai hiruk pikuk industri musik Indonesia era 2000 awal yang mengkategorikan musiknya sendiri ke...
Keep ReadingInterpretasi Pendewasaan Bagi Prince Of Mercy

Terbentuk sejak 2011 silam di kota Palu, Prince Of Mercy lahir dengan membawa warna Pop Punk. Digawangi oleh Agri Sentanu (Bass), Abdul Kadir (Drum), Taufik Wahyudi (Gitar), dan Sadam Lilulembah...
Keep ReadingKembali Dengan Single Experimental Setelah Setahun Beristirahat

Setelah dilanda pandemi covid-19, tahun 2023 sudah semestinya menjadi momentum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berpesta dan bersuka ria. Di sinilah momen ketika Alien Child kembali hadir dan menjadi yang...
Keep ReadingLuapan Emosi Cito Gakso Dalam "Punk Galore"

Setelah sukses dengan MS. MONDAINE dan BETTER DAYZ yang makin memantapkan karakter Cito Gakso sebagai seorang rapper, belum lama ini ia kembali merilis single terbarunya yang berjudul PUNK GALORE yang single ke-3...
Keep Reading