- Tidbits
Pehagangster; Tur Dalam Negeri
Para sineas dalam negeri mungkin percaya bahwa bikin film itu atu hal sedangkan isinya adalah hal lain. Bukan perkara film bagus atau jelek, karena masing-masing memiliki ukurannya sendiri. Melainkan proses yang barangkali telah memampas banyak ketidakmungkinan dan keniscayaan.
Jika melihat pada sisi yang lain, produk kebudayaan itu digelantar dalam realita kekinian yang diperkecil. Di Yogyakarta sendiri, beberapa festival muncul dengan melibatkan strategi dalam masyarakat; memberdayakan beragam relasi yang kemudian menjelma menjadi sesuatu yang menakutkan.
Ada 3 festival besar di Yogya. JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Fest), FFD (Festival Film Dokumenter), dan FFPJ (Festival Film Pelajar Jogja). Ketiganya belum termasuk kegiatan-kegiatan screening di kelompok kecil kampus atau luar kampus. Jika dilihati kembali, ada ratusan film yang disubmit ke acara bergengsi itu tetapi berapa ribu film yang tidak lolos? Bahkan ada filmmaker membuat film berdasarkan anabel (analisa gembel) atas sebuah festival entah melalui copy genre atau cara lainnya. Ada beberapa pertanyaan yang sering masuk, bagaimana caranya lolos ke festival itu sampai bagaimana caranya lolos pitching pendanaan film. Belum lagi, bagaimana agar ada keberlanjutan dalam program pemutaran yang sudah kami mulai.
“Padahal yang perlu mereka lakukan hanyalah bikin film atau program bagus untuk film pendek (komunitas). Enggak mau kan film kalian yang tidak “laku” di festival tapi dibuat dengan energi dan ide yang bagus hanya tergeletak di memori pembuatnya saja atau hardisk saja? Mari kenalan dengan program terbaru kami, Pehagengster; Tur Dalam Negeri,” ajak Rifqi Mansur Maya, oyabun Pehagengsi.
Senada dengan produser film dokumenter “YK48” yang membeberkan lebih jauh tentang program terbaru Pehagengsi. Program itu, lanjutnya, didasari oleh semangat komunitas. Tujuannya jelas, momen untuk belajar bersama sekaligus menanamkan tentang omnipresent pada banyak sineas atau calon sineas. Pehagengsi mengajak teman-teman untuk sama-sama belajar mandiri dengan bekerjasama untuk keberlanjutan sinema.
Setiap kelompok putar wajib memutar satu film pendek komunitas setempat dan dua film pendek kami dengan metode saweran paska pemutaran untuk kemudian dibagi dengan presentase 40% (Pehagengsi) dan 60% (Pemutar). 60% bagian dari pemutar itu akan dibagi dua secara adil dengan calon pemutar selanjutnya yang ditunjuk oleh pemutar sebelumnya.
“Diharapkan metode ini bisa diujicobakan untuk mengurai soal antara modal sosial dan kapital guna keberlanjutan aktifitas sinema yang paling dasar, komunitas. Link karya film-film Pehagengsi di sini “https://bit.ly/3TYuC4U,” sambung pria yang akrab dipanggil Kikiretake itu.
Editor : Brandon Hilton
Visual : Arsip Dari Pehagengsi
SKJ'94 Kembali Menghentak Lantai Dansa

Penamaan genre musik rasanya sudah menjadi hal umum sekarang ini. Sama seperti grup musik yang pernah mewarnai hiruk pikuk industri musik Indonesia era 2000 awal yang mengkategorikan musiknya sendiri ke...
Keep ReadingInterpretasi Pendewasaan Bagi Prince Of Mercy

Terbentuk sejak 2011 silam di kota Palu, Prince Of Mercy lahir dengan membawa warna Pop Punk. Digawangi oleh Agri Sentanu (Bass), Abdul Kadir (Drum), Taufik Wahyudi (Gitar), dan Sadam Lilulembah...
Keep ReadingKembali Dengan Single Experimental Setelah Setahun Beristirahat

Setelah dilanda pandemi covid-19, tahun 2023 sudah semestinya menjadi momentum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berpesta dan bersuka ria. Di sinilah momen ketika Alien Child kembali hadir dan menjadi yang...
Keep ReadingLuapan Emosi Cito Gakso Dalam "Punk Galore"

Setelah sukses dengan MS. MONDAINE dan BETTER DAYZ yang makin memantapkan karakter Cito Gakso sebagai seorang rapper, belum lama ini ia kembali merilis single terbarunya yang berjudul PUNK GALORE yang single ke-3...
Keep Reading