Musik dan Sepakbola: Mulai dari Inggris sampai Italia

Dari irama bersahut suara yang keluar dari mulut para pendukung klub-klub di stadion, hingga anthem Piala Dunia, musik memiliki ikatan batin yang kuat dengan segala hal beraroma sepak bola. Pakar dan penggemar sejati Premier League pasti tahu dan pernah mendengar kumandang “You’re Never Walk Alone”-nya Liverpool ketika mereka main di Anfield, gaung “Blue Moon”-nya Manchester City, juga deru “Local Hero”-nya Newcastle United. Saat The Beatles jadi ‘ikon’ rock dunia di 1960’an, Liverpudlian yang berada di The Kop – tribun penonton paling tinggi dan curam di Anfield – haram tak bernyanyi “She Loves You” di pertandingan kandang. 

Sepakbola dan musik bisa diibaratkan seperti teman serumah yang keduanya akan saling melengkapi demi menunjang sebuah perjalanan dan kecintaan disela-sela kejenuhan. Dan lagi, keduanya pun tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sebagai olahraga yang sangat populer di seluruh dunia, sepak bola bisa dinikmati dan dimainkan oleh siapa saja. Dari anak kecil hingga orang tua, semua cinta akan sepak bola. Hal itu bisa dibuktikan bila gelaran Piala Dunia sedang digelar. Riuhnya tak hanya di negara penyelenggara saja, seluruh dunia pun juga turut merayakan. Segala atribut dan gelaran nonton bareng pun selalu bertebaran di mana pun.

Manchester United, rival sengit The Reds, ikon mereka di era itu adalah George Best. Ia seorang winger, ia juga berposisi attacking midfielder. Tampil di 361 pertandingan dan mengemas 137 gol untuk MU, karir bersepak bolanya hampir dihabiskan di klub yang bermarkas di Old Trafford itu. Uniknya, penampilan rambut pria berdarah Irlandia Utara itu mirip The Beatles, band yang identik dengan Liverpool yang abadi jadi seteru klub yang ia bela itu. Seakan menjadi bagian grup musik yang berjumlah empat personel itu, fans Si Setan Merah menjulukinya “the Fifth Beatle”, “Sang Beatle Kelima”. George pun sadar betul bila hair stylenya memang serupa. Di Blessed – The Autobiography, buku bertarikh 2001 yang dikarangnya sendiri, George menulis: “Ada suara melengking menyerupai jeritan burung dari arah kerumunan penonton saat bola saya giring. Saya merasa seolah sedang berada di tengah-tengah konser the Beatles.”

Adapun Noel dan Liam Gallagher, mantan anggota band Inggris, Oasis, adalah pendukung antusias Manchester City. Dua orang itu acap kali terlihat hadir di tiap pertandingan kandang Manchester City. Noel Gallagher bahkan sempat jadi model utama  jersey City untuk musim 2012-2013. Saat itu, di hari peluncuran itu, sambil mengenakan kostum biru muda yang masih berapparel Umbro, ia berpose foto bersama kapten City, Vincent Kompany. Noel juga berteman baik dengan pesepakbola berstatus center back itu hingga kini. Sebelumnya, Vincent Kompany juga pernah jadi pembuka menyampaikan seremoni untuk konser solo Noel di Belgia. 

Tapi yang dialami Liam Gallagher sedikit berbeda. Lima bulan lalu, tepatnya di 23 Mei 2020 itu, di Twitter Liam dengan sarkas mencela kostum ketiga terbaru City untuk musim 2020-2021. “Siapapun yang bertanggung jawab atas kostum baru Man. City itu harus terbang ke Wuhan!,” tulis Liam dalam tweetnya yang tak berselang lama itu ia hapus. Jersey ketiga milik klub yang sedang terus berkhayal mencicipi manisnya juara Champions League itu menampilkan pola paisley dengan kombinasi warna putih whisper dan biru peacoat. Pihak City mengatakan, dibuatnya kostum yang habis dihina Liam itu sejatinya terilhami dari semangat musik indie di Manchester. Penggemar musik scene pasti tahu, nama kota metropolit berpenduduk multi etnis itu membesar tak cuma lantaran sepak bolanya. Tapi ia bisa setenar sekarang juga karena musik indie, di 1960’an hingga 1990’an apalagi. “Musisi indie Manchester hampir selalu punya pengaruh di manapun,” rilis pihak klub di situs resmi City. 

Begitu pula gelaran terakbar sepak bola Piala Dunia. Kompetisi empat tahunan ini boleh jadi sinonim dengan musik. Sejak Los Ramblers, band Chili beraliran rock and roll, menulis lagu “El Rock del Mundial” untuk menyemangati negaranya yang jadi tuan rumah di edisi 1962, Piala Dunia memiliki lagu resmi di tahun-tahun berikutnya. “We Are The Champions” milik Queen di 1994, juga “Cup of Life”-nya Ricky Martin di empat tahun kemudian, misalnya. 1990, BBC menggunakan “Nessun Dorma”, lagu klasiknya seorang tenor Italia, Luciano Pavarotti, sebagai anthem untuk tayangan Piala Dunia di Italia. 2002, saat Piala Dunia diadakan di dua negara Asia, Korea Selatan dan Jepang, bersama “Boom!”-nya solois Amerika, Anastacia, lagu “Work of Heaven” kepunyaan band Indonesia, Padi, juga diputar di sana. 

Di samping klub-klub di atas dan Piala Dunia, Celtic, Burnley juga Bolton adalah di antara klub-klub yang mengadopsi lagu “Just Can’t Get Enough” dari Depeche Mode, kelompok musik elektronik Inggris, untuk anthem saat mereka menggelar pertandingan di rumah sendiri. Demikian halnya dengan Arsenal. Klub Meriam London itu tak ingin lepas dari “Village People”-nya Go West, duo pop yang berdiri di 1982 di Inggris. 

Musik memang bisa jadi penyemangat bersepak bola. Yang dirasakan Giovanni Trapattoni faktanya. 2008, dalam wawancara dengan surat kabar Jerman Frankfurter Allgemeine Sonntagszeitung, ia mengatakan bahwa mendengar musik klasik pra pertandingan dapat meningkatkan spirit ketika bermain sepak bola. “Dengarkan Mozart dan kalian bisa menjadi pesepakbola yang lebih baik,” kata mantan pemain AC Milan dan pelatih kondang berpaspor Italia itu. “Kalian akan belajar banyak tentang ketegangan, tempo, ritme, dan struktur. Hasilnya, kalian kalian mampu membaca permainan. Itu adalah pengalaman yang luar biasa bagi saya. Saya percaya bahwa saya tumbuh sebagai pemain dan manusia melalui musik.”

Teks: Emha Asror
Visual: Arsip dari berbagai sumber

Sisi Organik Scaller Dalam "Noises & Clarity"

Kabar baik datang dari Scaller yang baru saja merilis live session (8/7/23) yang kemudian diberi tajuk “Noises & Clarity”. Dalam video ini, grup musik asal Jakarta tersebut tampil membawakan 5...

Keep Reading

Single Ketiga Eleanor Whisper Menggunakan Bahasa Prancis

Grup Eleanor Whisper asal kota Medan yang telah hijrah ke Jakarta sejak 2019 ini resmi merilis single ke-3 yang diberi tajuk “Pour Moi”. Trio Ferri (Vocal/ Guitar), Dennisa (Vocals) &...

Keep Reading

Sajian Spektakuler KIG Live!

Umumkan kehadirannya sebagai pemain baru pada industri konser musik Indonesia, KIG LIVE yang merupakan bagian dari One Hundred Percent (OHP) Group menggelar acara peluncuran resmi yang juga menampilkan diskusi menarik...

Keep Reading

Crushing Grief Gandeng Dochi Sadega Dalam Single Terbaru

Unit pop-punk dari Manado, Crushing Grief, menggandeng Dochi Sadega dari Pee Wee Gaskins, dalam single terbaru mereka yang diberi tajuk “Hard Rain“. Single ini merupakan salah satu lagu yang diambil dari EP...

Keep Reading