Musik dan Kemacetan: Semakin Tua di Jalan, Industri Musik Semakin Cuan

Di tengah hari yang cukup terik dalam sebuah city car, saya sedang mendengarkan lagu yang diputar secara acak sesuai selera bapak driver melalui ponselnya. Motor bersliweran di kiri dan kanan tapi saya tetap nyaman karena air conditioner dan blower menyala dengan giatnya. Tak terasa sudah dua jam saya terjebak kemacetan, lagu masih berputar, pengamen sudah silih berganti, saya masih hidup nyaman. Musik sepertinya memang satu-satunya hal yang akan menolong kita semua dalam kemacetan, bahkan saya pun kadang suka lupa kelas sosial ketika turun dari mobil dan baru ingat ternyata itu bukan mobil saya.

Musik dan kemacetan memiliki hubungan yang lebih dari erat. Seperti jodoh, keduanya mendukung satu sama lain tanpa upaya apapun. Di titik ini, selain musik yang mengobati emosi saudara-saudari sekalian di tengah kemacetan, saya percaya bahwa kemacetanlah yang menyelamatkan rejeki mereka yang hidup dari musik agar tidak macet juga.

Mengapa saya berkata demikian? Berikut adalah beberapa alasan terbaik yang bisa saya berikan.

Pertama, tentang macet dan pengamen.

Walaupun Indonesia katanya sudah bukan lagi negara berkembang, masih banyak mereka yang kurang beruntung dan mengadu nasib ke kota besar untuk menjadi pengamen. Kemacetan memungkinkan kelahiran talenta-talenta baru di industri musik yang tidak terciduk radar selama ini. Silakan hitung sendiri, tidak sedikit musisi papan atas yang mulai meniti karirnya lewat aktivitas ngamen ini. Bisa di terminal, lampu merah, atau di atas angkutan umum, kemacetan menjadi sumber penghasilan dari musik.

Selain itu, ketika kita bicara soal pengamen, tentunya banyak juga pengamen yang menggunakan alat musik seperti gitar dan cajon. Hal ini secara langsung berdampak pada meningkatnya kebutuhan untuk alat musik. Pengrajin alat musik lokal bisa turut hidup dari kemacetan meski mungkin mereka tinggal di desa dan tidak pernah merasakan apa itu kemacetan.

Kedua, tentang macet dan radio.

Radio adalah salah satu media penyebaran musik paling oke sejak zaman dahulu kala. Sayangnya, sebagaimana kita ketahui, radio kehilangan popularitasnya semenjak kedatangan televisi. Lebih sedihnya lagi, internet datang saat radio belum sempat menghimpun kekuatan. Namun, ternyata internet dapat melahirkan sebuah peremajaan dari konsep radio konvensional menjadi net radio atau radio tanpa gelombang. Pada akhirnya, radio konvensional pun dapat bangkit meskipun banyak pula yang gugur.

Lalu apa hubungannya dengan macet?

Sabar dulu saudara-saudariku, saya akan bertanya kapan terakhir kali kalian mendengarkan radio? Di mana? Mungkin jawabannya akan serupa, di dalam mobil. Radio menawarkan hal berbeda dengan yang ditawarkan oleh digital streaming platform. Radio terasa lebih organik karena lagu dan musik diputarkan oleh announcer, dengan kata lain manusia. Mendengarkan lagu lewat radio terdengar seperti romansa, apalagi ketika di perjalanan. Saya juga tidak begitu paham mengapa perjalanan, kemacetan, radio, dan musik dapat memiliki hubungan yang romantis ini. Namun, ketika kita tarik kembali pada kesimpulan bahwa musik dan audio itu memengaruhi emosi, maka perjalanan bersifat sangat emosional.

Terakhir, macet dan stream.

Semakin tua di jalan, industri musik semakin cuan. Itu adalah tulisan yang saya taruh sebagai judul. Mengapa saya berpikir demikian? Di alasan pertama dan kedua saya sudah menjelaskan bahwa musik dan kemacetan melahirkan pemain baru dunia musik, dan menghidupkan kembali media untuk promosi musik. Nah, yang terakhir adalah hubungan antara kemacetan dan stream lagu dari berbagai platform.

Semakin lama di jalan, maka akan semakin lama kamu memutar lagu di kendaraan kamu. Memang benar hal ini bukanlah sebuah paksaan akan tetapi menurut saya macet dan musik memang berjodoh hingga dapat melakukan hal ini. Jika jalanan tidak macet, mungkin untuk pergi ke suatu tempat kalian hanya membutuhkan waktu dengan durasi 3-4 lagu. Saat macet, mungkin kalian membutuhkan waktu dengan durasi 11-12 lagu. Hal ini sangat sering saya alami, tanpa saya sadari tentunya.

Namun, setelah saya sadar, tidak ada perubahan apapun juga sebenarnya. 

Seluruh pernyataan saya di atas tidak berarti bahwa saya sangat menikmati kemacetan dan ingin hidup di tengah kemacetan selamanya. Bagi kamu yang bilang bahwa kemacetan hanya ada di kota besar, saya bisa pastikan hal itu tidak lagi relevan. Mungkin benar kemacetan sangat terpusat di Pulau Jawa karena sebagian besar penduduk ada di pulau tersebut. 

Ya, serupa dengan musik, kan? Meskipun ada musisi dari luar Pulau Jawa, mayoritas nama besar tetap terpusat di Pulau Jawa dan ini memang selalu menjadi PR kita semua untuk membangun ekosistem yang lebih luas dan mampu mewadahi semua teman-teman. Isu desentralisasi ini juga baru-baru ini dicolek oleh Senyawa yang merilis albumnya melalui banyak label dan memberikan kebebasan bagi label untuk menentukan artwork dan merespon lagu-lagunya. Akhir kata, selamat bermacet ria!

Sisi Organik Scaller Dalam "Noises & Clarity"

Kabar baik datang dari Scaller yang baru saja merilis live session (8/7/23) yang kemudian diberi tajuk “Noises & Clarity”. Dalam video ini, grup musik asal Jakarta tersebut tampil membawakan 5...

Keep Reading

Single Ketiga Eleanor Whisper Menggunakan Bahasa Prancis

Grup Eleanor Whisper asal kota Medan yang telah hijrah ke Jakarta sejak 2019 ini resmi merilis single ke-3 yang diberi tajuk “Pour Moi”. Trio Ferri (Vocal/ Guitar), Dennisa (Vocals) &...

Keep Reading

Sajian Spektakuler KIG Live!

Umumkan kehadirannya sebagai pemain baru pada industri konser musik Indonesia, KIG LIVE yang merupakan bagian dari One Hundred Percent (OHP) Group menggelar acara peluncuran resmi yang juga menampilkan diskusi menarik...

Keep Reading

Crushing Grief Gandeng Dochi Sadega Dalam Single Terbaru

Unit pop-punk dari Manado, Crushing Grief, menggandeng Dochi Sadega dari Pee Wee Gaskins, dalam single terbaru mereka yang diberi tajuk “Hard Rain“. Single ini merupakan salah satu lagu yang diambil dari EP...

Keep Reading