Merayakan Sosok Penulis Seni: Sanento Yuliman

Setelah sebelumnya, di akhir tahun, tanggal 11 Desember 2019 dilaksanakan peluncuran buku sekaligus pembukaan pameran Mengingat-ingat Sanento Yuliman (1941-1992): Pameran Karya dan Arsip di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, perhelatan yang sama dapat dikunjungi publik di kota Bandung pada bulan Februari 2020 lalu.

Bertempat di Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung, sosok penulis seni, Sanento Yuliman, dihadirkan kembali melalui pameran bertajuk Mengingat-ingat Sanento Yuliman (1941-1992). Bukan mainnya, pameran tersebut juga mencakup peluncuran buku sekaligus pameran arsip dan karya-karya Sanento Yuliman yang berlangsung selama kurang lebih 10 hari, 10-20 Februari 2020. Kedua pameran, baik di Jakarta maupun di Bandung terselenggara atas inisiasi Dewan Kesenian Jakarta.

(Pameran Mengingat-ingat Sanento Yuliman di Bandung, dok: penulis)

Sanento Yuliman merupakan sosok penulis (seringkali diberi gelar kritikus) yang perannya sangat signifikan dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Bernama lengkap Sanento Yuliman Hadiwardoyo, sang penulis lahir di Jatilawang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah pada 14 Juli 1941. Sanento menjalani studi seni rupanya di studio seni lukis Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada tahun 1960 dan diangkat menjadi pengajar pada tahun 1968, tidak lama setelah ia lulus dengan skripsi berjudul Beberapa Masalah dalam Kritik Seni Lukis di Indonesia. Skripsinya tersebut mendapatkan penghargaan Anugerah Hamid Bouchouareb dari Seni Rupa ITB sebagai skripsi terbaik.

Semasa kuliah, bersama rekannya Haryadi Suadi dan T. Sutanto, ketiganya aktif membuat kartun dengan tema politik. Karya ketiganya sempat dipamerkan dalam pameran Menegakkan Moral Pancasila pada tahun 1966. Sanento, Haryadi, dan T. Sutanto kemudian diangkat menjadi kartunis untuk mingguan Mahasiswa Indonesia (1966) dan Mimbar Demokrasi (1967). Tidak hanya aktif menulis seni dan menjadi kartunis, Sanento juga menulis puisi. Salah satu puisinya berjudul Laut, mendapat penghargaan dari majalah sastra Horison pada tahun 1968. di tahun yang sama, esainya bertajuk Dalam Bayangan Sang Pahlawan juga dianugerahi penghargaan dari Horison.

(Dokumentasi sosok Sanento dalam pameran di Galeri Soemardja ITB, dok: penulis)

Sepak terjang Sanento di medan seni rupa mencakup aktivitasnya sebagai seniman sekaligus penulis. Sebagai seniman, Sanento sempat terlibat dalam pameran-pameran seperti Pameran Seni Rupa Bandung di Gedung Lembaga Indonesia-Amerika, Surabaya (1969) dan pameran GRUP 18 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (1971). Sanento merupakan bagian dari Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) yang dibentuk pada tahun 1975 sebagai sebuah respons terhadap perhelatan Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (1974).

GSRBI merupakan gabungan seniman muda asal Bandung dan Yogyakarta yang, pada perhelatan Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (yang kemudian dikenal dengan nama Jakarta Biennale) tahun 1974, melakukan protes terhadap keputusan juri. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Desember Hitam, ketika sekelompok seniman muda tersebut membuat surat pernyataan terkait ‘Lukisan yang Baik’ dan meletakkan karangan bunga yang menyatakan bela sungkawa atas matinya seni lukis Indonesia.

Pada tahun 1976, Sanento dikirim ke Perancis oleh kampusnya. Awalnya ia direncanakan untuk melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Montpellier. Namun, Ia kemudian pindah ke Paris dikarenakan kampus yang ia tuju tidak memiliki jurusan seni rupa. Pada tahun 1979, Sanento mendapatkan rekomendasi dari Henri Chambert-Loir untuk menyelesaikan studinya di Ecole des Hautes en Sciences Sociales (EHESS) di Paris.

Ia menyelesaikan disertasinya bertajuk Asal Mula Seni Lukis Kontemporer Indonesia: Peran S. Sudjojono (Genese De La Peinture Indonesienne Contemporaine: Le Role De S. Sudjojono) pada tahun 1981. Sanento menggagas Kelompok Penelitian Komunikasi Gambar (KPKG) bersama Haryadi Suadi, T. Sutanto, dan Priyanto Sunarto pada tahun 1982 dan kemudian ia rutin menulis untuk Majalah TEMPO sejak tahun 1984. Sanento sempat memperoleh penghargaan Anugerah Adam Malik dari Yayasan Adam Malik sebagai kritikus seni rupa terbaik. Pada tahun 1990, ia terlibat dalam pengembangan Yayasan Seni Rupa Indonesia (YASRI) dan bersama Jim Supangkat, ia ditunjuk sebagai komisioner bagi wilayah kerja Indonesia untuk Asia-Pacific Triennal I (APT I) yang akan diadakan di Queensland Art Museum.

Sayangnya, Sanento Yuliman menghembuskan nafas terakhirnya sebelum proyek tersebut tuntas, tepatnya pada 14 Mei 1992 akibat pendarahan otak.

(Linimasa hidup Sanento Yuliman yang ditampilkan dalam perhelatan di Galeri Soemardja ITB, dok: penulis)

Pembukaan pameran Mengingat-ingat Sanento Yuliman (1941-1992) dilaksanakan sekitar pukul 19.00 WIB di Galeri Soemardja ITB. Dimulai dengan sambutan beberapa pihak termasuk kurator Danuh Tyas Pradipta (yang juga merupakan putra dari Sanento Yuliman) dan Hendro Wiyanto, sesi pembukaan juga diisi oleh pembacaan puisi Laut Sanento Yuliman oleh Keni Soeriaatmadja. Pameran arsip dan karya ini menampilkan ragam representasi dan pembacaan yang mencakup linimasa kehidupan Sanento Yuliman, karya-karya visualnya, memorabilia penghargaan dan artikel-artikel, hingga artefak skripsi, disertasi, catatan harian, dan buku-buku yang menjadi referensi utama Sanento dalam menulis.

Perhelatan di Galeri Soemardja ITB tidak hanya menampilkan ragam artefak dalam format pameran, tetapi juga peluncuran trilogi buku sekaligus diskusi pada 11 Februari 2020. Buku-buku yang dibagikan secara cuma-cuma (melalui pemesanan dengan batas maksimal 50 orang), metode yang juga dilakukan dalam peluncuran di Jakarta, antara lain buku kumpulan tulisan Sanento Yuliman bertajuk Estetika yang Merabunkan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-1992), buku Dari Pembantu Seni Lukis Kita: Bunga Rampai Tulisan Oei Sian Yok (1956-1961), dan buku kumpulan tulisan Bambang Budjono berjudul Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa 1969-2019.

Sementara itu, diskusi buku Estetika yang Merabunkan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-1992) melibatkan pembicara-pembicara seperti Agung Hujatnikajennong, Jim Supangkat, Yacobus Ari Respati dengan moderator Hendro Wiyanto.

(Suasana pembukaan pameran Mengingat-ingat Sanento Yuliman, dok: penulis)

Diskusi dibuka dengan moderator sekaligus kurator pameran, Hendro Wiyanto, yang memaparkan proses riset yang berjalan sejak tahun 2013 hingga terselenggaranya pameran di Jakarta dan bandung beserta penerbitan trilogi buku. Hendro menyampaikan bahwa proses riset awalnya dilakukan secara mandiri oleh pihak keluarga Sanento, dalam hal ini putra beliau: Danuh Tyas Pradipta dan Puja Anindita. Memasuki tahun 2019, Dewan Kesenian Jakarta kemudian terlibat dalam pembiayaan proses produksi pameran dan buku (yang diterbitkan secara terbatas, 500 eksemplar untuk buku Sanento Yuliman, dan 1000 eksemplar untuk masing-masing buku Oei Sian Yok dan Bambang Bujono). Yacobus Ari Respati, seorang kurator muda, mendapatkan kesempatan pertama untuk menyampaikan paparannya terkait pembacaan terhadap tulisan Sanento yang memicu pertanyaan mengenai semangat generasi muda. Yacobus secara spesifik membahas tulisan Sanento berjudul Seni Rupa dalam Pancaroba: Ke Mana Semangat Muda?.

(Suasana diskusi yang melibatkan beberapa pembicara, dok: penulis)

Pembicara berikutnya, Agung Hujatnikajennong mengangkat pemikiran dan tulisan Sanento terkait gagasan ‘dua seni rupa’ dan ‘boom seni lukis.’ Dua Seni Rupa merupakan artikel Sanento yang ditulis pada tahun 1984 (kemudian dijadikan tajuk untuk buku kumpulan tulisan Sanento Yuliman yang disunting oleh Asikin Hasan dan diterbitkan pada tahun 2001). Agung mengungkapkan bagaimana pemikiran-pemikiran Sanento sebenarnya menunjukkan tendensi Sanento sebagai seorang sosiolog, peran yang seringkali tidak terbaca dikarenakan terlalu melekatnya nama Sanento dengan gelar kritikus seni rupa. Sementara itu, Jim Supangkat, sebagai pembicara ketiga, memaparkan sosok Sanento secara lebih personal (Jim adalah junior sekaligus sahabat dekat Sanento).

Melalui dua perhelatan di Jakarta dan Bandung, kurator Danuh Tyas Pradipta dan Hendro Wiyanto mengungkapkan masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan ketika membahas sosok Sanento Yuliman. Hal tersebut juga berkaitan dengan agenda peluncuran buku berikutnya yang berisi beberapa tulisan Sanento yang belum sempat dipublikasikan. Perhelatan semacam ini mampu membuka ragam pembacaan serta informasi terkait sosok-sosok yang dianggap penting dalam perjalanan kesenian, atau secara umum kebudayaan, Indonesia. Semoga akan lebih banyak lagi upaya-upaya peneliti, seniman, kurator, hingga institusi-institusi seperti halnya Dewan Kesenian Jakarta, yang menginisiasi proyek-proyek serupa demi terbukanya informasi terkait perkembangan kebudayaan tanah air.

Teks: Bob Edrian
Visual: Bob Edrian

Karya Seni Thom Yorke dan Stanley Donwood Segera Dipamerkan

Siapa yang tahu, ternyata ikatan pertemanan bisa membawa kita ke suatu hal yang sangat jauh. Dengan teman, seseorang bisa dengan mudah untuk berkolaborasi, bersama teman pula kita  kerap bertukar ide...

Keep Reading

Galeri Lorong Langsungkan Pameran Seni Bernama IN BETWEEN

Berbagai momentum di masa lalu memang kerap menjadi ingatan yang tak bisa dilupakan. Apalagi jika irisannya dengan beragam budaya yang tumbuh dengan proses pendewasaan diri. Baru-baru ini Galeri Lorong, Yogyakarta...

Keep Reading

Refleksikan Sejarah Lewat Seni, Pameran "Daulat dan Ikhtiar" Resmi Digelar

Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mengadakan sebuah pameran temporer bertajuk “Daulat dan Ikhtiar: Memaknai Serangan Umum 1 Maret 1949 Melalui Seni”. Pameran ini sendiri akan mengambil waktu satu bulan pelaksanaan, yakni...

Keep Reading

Ramaikan Fraksi Epos, Kolektif Seni YaPs Gelar Pameran Neodalan: Tilem Kesange

Seni tetap menjadi salah satu jawaban untuk menghidupkan dan menghangatkan kembali keadaan di masa pandemi. Untuk itu dengan gerakan gotong royong dalam ruang seni baur Fraksi Epos mengajak kolektif seni...

Keep Reading