- Music
Menguliti Alter Ego Bernama Drab Majesty
Aturan pertama yang diberlakukan Drab Majesty untuk para jurnalis adalah jangan mengambil gambar ketika personilnya, Andrew Clinco dan Alex Nicolau, sedang ‘telanjang’ mengenakan busana kasual. Atau dalam pengertian lain, ketika mereka sedang menjadi manusia. Hal tersebut langsung diutarakan oleh keduanya kepada fotografer saya yang meminta izin untuk memotret sebelum sesi wawancara ini bergulir. Mencoba sopan, Andrew melarangnya dengan hati-hati, mencari kata-kata yang diterjemahkan sebagai usaha untuk menjaga alter ego mereka tetap murni, semacam “produk material penampakan publik” katanya: “Kami naik panggung, kami tidak bicara denganmu seperti orang normal. Ini adalah performance art. Lalu orang-orang bisa mengerjakan pekerjaan rumah mereka untuk mencari tahu siapa nama kami yang sebenarnya. Itu sangat mudah dilakukan hari ini, kita berada di era informasi.”
Mereka menjalani dunia dalam dua alam yang berbeda. Di atas panggung tidak ada lagi dua anak L.A. – Los Angeles Ed. – yang antusias dan metropolis, melainkan sepasang non-genital dengan gitar dan synthesizer yang tepat diundang bermain melayani pesta pemakaman. Minta mereka berdandan lebih pucat dari jenazah yang dilayat dan biarkan tumpah air mata anak-anak goth. Saya bertanya darimana pengaruh karakter jadi-jadiannya berasal, dia menyebut nama Genesis P-Orridge, sosok trans gender pemimpin dua band, Throbbing Gristle dan Psychic TV.
Ketika sekat kelamin telah dibuyarkan, identitas seseorang tidak lagi bisa digolongkan berspesies manusia. Seperti itulah Deb Demure dan Mona D dari Drab Majesty, mereka fluid, makhluk tragis yang menulis lagu-lagu rapuh selayaknya Robert Smith dari masa depan.
Dua jam sebelum jadwal konsernya, Alex aka Mona D, mengajak kami beranjak ke lantai terbuka di atap Hotel Monopoli, tempatnya menikmati gejolak melankolik yang timbul akibat disuguhi cantiknya langit senja kota Jakarta. Sayangnya The Moon – nama tempat tersebut – sedang melangsungkan pesta resepsi pernikahan malam itu sehingga kami terpaksa harus turun lagi dan terdampar akhirnya di pojok yang terang oleh lampu-lampu kekuningan lobi sebuah hotel butik kawasan selatan ibukota.
Duduk berhadapan dengan Alex yang mengenakan kupluk gelap dan kaus putih bersimbol amalgam band punk Crass, sementara Andrew bersandar pada lengan sofa – tubuhnya menjulang setinggi pemain terpendek di NBA dengan kacamata lensa coklat dan rambut cepak a la kopral desersi.
Alex, bisa ceritakan lagi perasaan mellow yang tadi kamu katakan tentang Jakarta?
Alex Nicolaou (AN): Ya, akibat sering tur, kami jadi sering minum. Mungkin karena alkohol mampu meredakan ketegangan ketika pergi ke tempat-tempat baru – atau mungkin karena kami memang alkoholik. Jadi kami coba mengimbangi kebiasaan itu dengan melakukan peregangan. Saya berenang di lantai atas sana pagi tadi dan sekejap merasa lembut, sangat indah. Sorenya saya duduk-duduk di pinggir kolam menatap ke arah kota, melihat awan yang bersih dan langit yang biru. Sinematik sekali. Terutama ketika berada di tengah perjalanan tur yang brutal menyiksa badan dan pikiran.
Ini baru saja kota pertama dalam tur dan kamu sudah merasa seperti orang lelah.
AN: Masalahnya adalah kami harus menempuh penerbangan selama 20 jam untuk sampai ke sini. Sebelas jam dari L.A. ke Tokyo, lalu 8 jam ke Jakarta dan 45 menit naik mobil dari bandara ke hotel ini.
Wow, 45 menit dari bandara adalah waktu yang langka untuk Jakarta.
Andrew Clinco (AC): Ya bisa jadi, karena keesokannya sewaktu kami pergi jalan-jalan untuk makan siang, ternyata kacau. Saya tidak punya gambaran bahwa kota ini sebegitu kacaunya. Itulah kenapa kami merasakan kedamaian di lantai atas sana sore tadi, sungguh manis. Tempat itu memberi kami energi.
Ngomong-ngomong kenapa pertunjukan kalian di Hongkong ditunda?
AN: Manajer kami khawatir dengan penyebaran virus Corona, dan awalnya kami tetap ingin pergi ke sana karena kami sudah lama ingin bermain di Hongkong, tapi kali ini bukan waktu yang tepat, risikonya lebih besar dibanding keuntungannya. Sebenarnya saya tidak khawatir secara pribadi, karena tidak menganggapnya sebagai wabah yang mengerikan tapi ternyata sudah banyak kesaksian yang membuat kami harus berpikir tentang keamanan. Bahkan promotornya pun menyarankan kami untuk membatalkan konser.
Yang aneh di Indonesia belum ada laporan tentang satu pun orang yang terjangkit virus tersebut. Saya curiga apakah itu sebuah kebohongan atau ..*
AC: Saya tidak tahu. Tapi di Amerika 30.000 orang meninggal akibat flu setiap tahunnya. Kami juga punya isu yang sama besarnya tentang virus, jadi ya ini hal yang biasa terjadi.
AN: Kami sempat beradu argumen dengan manajer kami, tapi kalau promotor di Hongkong saja sudah menyarankan agar membatalkan pertunjukan, tidak ada lagi yang bisa dilakukan.
Tur Drab Majesty kali ini, selain mengunjungi tiga kota di Asia juga meliputi daratan Australia dan Selandia Baru di sepanjang bulan Februari. Mereka melakukannya dalam rangka merayakan Modern Mirror, album penuh ketiga yang terbit pada pertengahan tahun 2019 silam di mana semua hal berkembang menjadi lebih serius dan mendetail, terutama bagi Andrew sebagai penulis lagunya.
Dia telah menghilang selama dua bulan ketika akhirnya Alex bertemu dengannya di sebuah kamar flat di kota Athena, Yunani, yang peruntukkannya telah disulap menjadi sebuah studio amatir. Tempat keduanya tidur sekaligus menggodok materi seminggu ke depan. Alex masih mengingat jelas momen tersebut – itu terjadi sehari setelah malam tahun baru 2018 – dan menceritakannya secara romantik. “Saya mendarat di Moskow dalam cuaca salju Eropa. Untuk transit beberapa jam sebelum terbang rendah menuju Athena. Di bandara seorang supir menjemput dan kami berkendara selama satu jam ke tengah kota, sampai tiba-tiba Acropolis telah muncul begitu saja dalam pandangan malam. Di sanalah Andrew menunggu, dia datang sambil berlari kecil di atas apal berbatu untuk memberikan saya sebuah pelukan. Kemudian kami bereuni di kamar flatnya, dan ternyata dia sudah punya semacam rutinitas setiap harinya. Semua terasa sangat keren. Seketika itu juga saya mendapat inspirasi. Saya merasa ‘jazz’.”
Kenapa Athena?
AC: Sebelumnya kami sudah pernah beberapa kali mengunjunginya dan jatuh cinta dengan kota itu. Saya merasa terbangkitkan oleh arsitektur dan kultur di sana. Saya tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata, tapi saya tahu telah berada di tempat yang tepat. Secara geografi Athena punya kesamaan dengan L.A. Kami sering tur keliling Eropa, tapi hanya di Athena kami merasa seperti di rumah.
AN: Saya tidak tahu, tapi ada sesuatu tentang kota itu yang tak lekang oleh zaman. Tentu saja, di luar fakta kalau semua arsitekturnya telah berdiri sejak tahun 500-an, dan saya merasa sureal menatap bangunan-bangunan itu. Karena kamu tahulah, L.A. sangat modern. Di Athena, setiap sub-kultur dari masing-masing periode waktu seperti tersaji dalam cara yang aneh. Orang-orang berkumpul di jalan, menikmati hidup mereka, makan malam selama 2 jam lalu minum-minum, nongkrong setiap malam sampai subuh. Malam pertama saya di Athena itu berakhir di sebuah klab bernama The Temple. Sangat menyenangkan.
AC: Sebenarnya saya sedang mencoba untuk menulis lagu dengan pikiran yang jernih. Kamu tahu, terkadang kita baru bisa begitu terinspirasi ketika sedang di tengah tur. Ada banyak stimulasi dari pengalaman yang baru. Di dalam van, memainkan kibor. Atau ketika harus bicara dengan keterbatasan bahasa dan hanya punya sedikit teman. Terkadang rumah atau zona nyaman malah membuat kita stagnan. Kita tidak bisa benar-benar fokus, dan sulit untuk bisa merasa fokus di Los Angeles. Terlalu banyak gangguan.
Maksud kamu terlalu metropolitan?
AC: Selalu saja ada yang terjadi setiap malam di L.A. Udaranya panas dan banyak sekali tempat yang berisik. Jadi saya lebih baik pergi dengan ide-ide yang akan ditemukan di jalan dan kemudian menjadikannya sebuah lagu.
AN: Ya. Di L.A. semua orang menyetir kendaraan, tidak ada yang jalan kaki. Dan kamu tahu, semua bar tutup jam 2 pagi. Jadi kalau kamu masih ingin nongkrong setelahnya, kami akan lanjut ke rumah teman, dan biasanya tidak bisa ramai-ramai, hanya orang-orang yang dikenal saja yang ikut. Maksud saya, di Athena ada banyak sekali bar yang masih buka sampai pukul 6 pagi.
Terhadap lagu-lagu baru yang digarap Andrew selama pengembaraannya di Athena, diakui Alex merupakan potongan-potongan yang sebelumnya sudah pernah diakrabinya. Entah itu nada dari sesi latihan atau riff percontohan sewaktu soundcheck. Saya sendiri, secara jujur berani mengakui langsung kepada Andrew dan Alex kalau Modern Mirror adalah album yang bagus. Sebelum melakukan wawancara, saya mendengarkan album itu untuk terakhir kali. Dan sampai saat itu pun saya masih tetap tidak kuasa menahan senyum pahit yang keluar setiap kali “The Other Side” mencapai titik terendahnya di ujung interlude terakhir yang panjang ketika petikan gitarnya menetas keluar seperti gelembung udara di dalam air. “Bagian itu berhasil membangkitkan rasa gelisah,” kata saya. “Album kalian,” saya melanjutkan, “tidak memiliki gravitasi, musiknya berkelap-kelip seperti lampu pesawat ulang alik yang menderita kesunyian di 3 juta kilometer dari Bumi. Akan jadi mengagumkan jika dipakai mengiringi sebuah adegan putus asa para astronot yang kehilangan kontak dengan pangkalan. Tidak ada yang bisa mereka lakukan agar bisa pulang selain berharap pada kesedihan.”
Andrew tersenyum mendengar hiperbola barusan, seorang musisi yang tengah menikmati bagaimana musiknya sedang coba diterjemahkan. Saya kembali menabur kekaguman dengan menyebut istilah dark-synth-pop demi memudahkan, plus mengganti kata torniket dan Dave Gahan dengan hipnotik dan stoik. Karena sesuai temperamennya yang kelabu, estetika Drab Majesty yang terbentuk pada 2011 terdengar mirip dengan produk androgini yang sudah pernah kita dengar sebelumnya, padahal belum. Sekaligus menguatkan pandangan bahwa, hanya karena kita tidak berada di tahun 1980-an lagi bukan berarti musik new wave tidak bisa berkembang lebih jauh setelahnya.
Setelah puas melontar sekian panjang pujian, kesempatan berikutnya saya putuskan untuk menguji seberapa lihai kemampuan Andrew dan Alex sebagai musisi dalam berkelit menangani serangan kritik seorang pengulas musik.
Saya sempat membaca sebuah artikel yang menyebutkan “Modern Mirror” bisa dianggap album hebat kalau saja kita belum mendengar dua album awal kalian sebelumnya. Saya tidak setuju, kalian bagaimana?
AC: Pendapat menarik. Bagi saya, ketika saya menyukai sebuah band, saya bisa memulainya dari fase yang mana saja. Lalu kemudian baru bergerak ke depan atau ke belakang. Setiap album memiliki pola pikir yang berbeda. Begitu pun kami, mungkin sekarang saya bisa memainkan insrumen atau menulis lagu secara lebih baik dari album sebelumnya, tidak tahu tapi untuk Modern Mirror, saya merasa lagu-lagunya punya nuansa yang lebih dinamis dan ringkas dibanding The Demonstration (2017) yang secara sadar merupakan album percobaan pertama kami dalam menulis lagu pop.
AN: Saya juga berpikir sama seperti itu. Menyukai sebuah band karena mendengarkan album pertama mereka adalah hal yang menarik – karena seringnya kita menyukai sebuah band via album kedua atau ketiga. Lalu ada orang-orang bilang, ‘ah seharusnya kamu mendengarkan album pertama mereka terlebih dahulu, sebab itu lebih bagus.’ Jadi ada dua tipe pendengar musik, mereka yang akhirnya menyukai sebuah band lewat album yang mana saja dan mereka yang menyukai sebuah band karena, apa itu istilahnya
AC: First record purist.
AN: Ya. Seringnya album pertama dari sebuah band adalah album yang paling terhubung dengan kita, sesuatu yang tersimpan di kepala – identitas asli artisnya, hingga akhirnya tidak ada lagi karya-karya selanjutnya yang dinilai bisa mengimbangi pencapaian album pertama tersebut.
AC: Devo misalnya, album Oh No! It’s Devo. Itu selalu menjadi album favorit saya sepanjang masa. Kebanyakan orang menyukai album Devo yang pertama, tapi menurut saya sound terbaik band itu ada di album kelimanya karena puluhan lagu punk yang mereka tulis pada akhir 1970-an terdengat mirip seperti banyak band lain, dan walaupun album-album awal tersebut tetap tergolong bagus, tapi tidak menggerakkan apa-apa. Contoh bagus lainnya adalah Wire.
AN: Intinya adalah cobalah untuk memahami lebih jauh proses evolusi yang dialami seorang musisi atau sebuah band. Seperti yang saya rasakan terhadap Spacemen 3. Semua orang menyukai era awal mereka yang mentah dan psikedelik pada album Sound of Confusion, tapi album mereka yang pertama kali sampai ke telinga saya adalah Playing With Fire dan Recurring. Dua album itu punya nuansa lebih eksperimental, terdapat unsur musik gospel dan bahkan elemen acid house. Hal-hal yang memberi kesan dreamy kepada Spacemen 3 di mana sisi lain mereka akhirnya kelihatan. Tapi tentu saja masalah semacam ini merupakan sesuatu yang subjektif.
Tentu saja, musik adalah tentang selera subjektif. Tidak bisa digugat lagi.
Satu tambahan lain kenapa Modern Mirror semakin mengeluarkan kesan menggoda ada pada tema narsistiknya yang gelap. Andrew melahirkannya langsung dari kisah mitologi Yunani tentang Narcissus, seorang anak dewa yang berparas sangat tampan hingga dia dikutuk jatuh cinta dengan bayangan cerminnya sendiri. Sesuatu yang rasanya sekarang begitu relevan: budaya manusia memamerkan kekagumannya terhadap diri sendiri.
Andrew tengah memvalidasi era paling suram dari hobi narsis peradaban manusia. Menyambungkan analogi antara teknologi kontemporer dengan peringatan mitos. Sudahkah dunia melihat pose terbaik kita, wahai bintang-bintang digital karbitan? Butuh berapa banyak lagi sampai kita benar-benar bisa diterima? Tunggu tiba saatnya nanti manusia kehilangan sentuhan alamiahnya, perlahan terasing ditelan haus identitas, candu perhatian, candu sosial media.
Sebuah eufemisme. Dan itu berkaitan pula dengan bagaimana cara Drab Majesty mempresentasikan diri mereka secara utuh di hadapan publik.
Mengenai tema Narcissus, apa kamu hendak mengelaborasi kutukan yang dialaminya dengan kultur narsistik manusia hari ini?
AC: Ya, secara abstrak, tanpa bermaksud untuk menghakimi siapa pun. Tetapi lebih mengenai observasi terhadap hilangnya koneksi humanistik di mana lebih penting sekarang menciptakan identitas plastik di dunia digital daripada melakukan suatu hal yang nyata di kehidupan asli. Orang-orang kehilangan pandangan dan sentuhan mereka dalam rangka mempraktikkan hubungan positif sesama manusia. Ketampanan Narcissus telah membuang cinta dan getaran yang bisa didapatkan dari seorang perempuan. Ini adalah isu sederhana dengan volume besar.
Tadi kalian sempat menolak fotografer saya untuk mengambil gambar, kenapa?
AC: Kami melakukan sebagai bagian dari usaha merawat karakter identitas Drab Majesty sebagai seniman maupun musisi. Paling tidak untuk khalayak publik.
AN: Kami memang menginginkan imej seperti itu, ada semacam seragam yang mesti dikenakan. Sehingga memberikan kesan mistik. Yang mana sebenarnya cukup sulit dilakukan. Maksud saya, bayangkan kalau instrumenku tiba-tiba bermasalah ketika sedang tampil, rasanya tidak lucu bagi ‘sang karakter hebat’ ini memanggil-manggil teknisi suara, “hey bisa tolong naikkan volume vokalnya?”. Dalam semenit semua hal tentang aksi seni atau mantera-mantera yang menghipnotis itu terlihat jadi seperti omong kosong. Kami tidak ingin melakukan kekonyolan kayak begitu. Jadi selama kondisinya memungkinkan bagi kami untuk menjaga agar karakter itu ‘tidak terganggu’, di atas maupun di bawah panggung, kami akan menjaganya. Karena kami juga tidak ingin muluk-muluk.
Jadi Andrew, kapan tepatnya si Deb Demure ini lahir?
AC: Saya tidak pernah berpikir ini akan menjadi serius. Ketika lagu pertama yang saya tulis untuk band ini akan dibuatkan video, di saat itulah baru terasa kalau sebuah identitas ternyata dibutuhkan guna mendukung karakter di belakangnya. Dan secara bersamaan juga saya sedang bosan menjadi band yang tampil mengenakan pakaian kasual saja. Kemudian dari tahun ke tahun karakter ini menjadi semakin tajam sampai saya mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang magikal, kalau saya bisa berbicara banyak melalui dia. Karakter ini bisa berbicara lebih lepas dibanding saya sendiri. Dan saya begitu menikmati ketika orang-orang mulai bertanya, apakah dia seorang laki-laki atau perempuan atau alien . . .
Mengalir dengan begitu saja ya
AC: Ya. Setiap kali saya menjadi Deb Demure rasanya seperti melakukan sebuah ritual magis yang menjalar, entah itu lewat kostumnya atau riasan wajah. Benar-benar bisa berkomunikasi sendiri, antara kami dan penonton. Ini serius, kamu akan melihatnya nanti.
Dari mana kamu mendapatkan inspirasi tata rias pucat ini?
AC: Dari lagu pertama yang saya tulis itu tadi, judulnya “Pole Position”.
Bukankah itu istilah slang untuk kegiatan menghirup kokain?
AC: (terkekeh).
Saya tahu istilah itu setelah membaca artikel wawancara kamu di internet. Di situ kamu juga mengatakan kalau kokain memiliki efek besar terhadap karya-karyamu.
AC: Ketika itu. Dan itu sudah terjadi jauh-jauh hari sebelum The Demonstration dirilis. Kokain memberi saya banyak inspirasi, juga memberi banyak masalah. Di L.A. barang itu mudah sekali didapat, kamu tahu, ada di mana-mana. Semua orang teler kokain di sana. Aku tidak tahu kalau di Jakarta.
Kokain dan amfetamin. Apa kamu menyukainya?
AN: Itu kesenangan sesaat. Buat saya kokain itu lebih tenang, cepat turun dan jauh lebih mahal. Mungkin kokain diperuntukkan bagi para pemakai narkotika yang lebih santai. Tapi jika kamu tidak ingin tidur untuk jangka waktu lama, pilihannya adalah speed. Buat saya speed sedikit berlebihan efeknya. Susah sekali untuk dibawa tidur.
Beri saya referensi beberapa album musik yang pantas untuk disimak.
AC: Saya sedang mendengarkan album dari seorang musisi country bernama Ray Price berjudul Night Life. Saya menyukai album itu karena ada Buddy Emmons bermain di sana, pemain gitar pedal steel era 1960-an yang ikut mengiringi musisi-musisi seperti Everly Brothers, Gram Parsons dan lain-lain.
AN: Saya sedang sering mendengarkan musik psikedelia dari Jepang. Genrenya bernama Kankyo Ongaku, artinya environment music, dan semua orang-orang itu terinspirasi oleh Brian Eno dan menulis lagu-lagu ambient yang khusus dimainkan di ruang publik. Musik itu tidak diproyeksikan bagi pendengar mainstream. Mereka jadi kedengaran karena rekaman-rekaman musik kontemporer sedang laku di cari di mana-mana. Saya adalah vacuum cleaner musik. Saya mendengarkan musik apa saja, dan selalu tertarik untuk mengerti tentang sejarah musik. Tidak terbatas oleh genre.
AC: Genre hanya berguna bagi klasifikasi rak di toko rekaman.
*Ketika wawancara dilakukan, Indonesia belum mencatatkan kasus terkonfirmasi CoViD-19
Teks: Rio Tantomo
Visual: Hashfi Radifan
Sisi Organik Scaller Dalam "Noises & Clarity"

Kabar baik datang dari Scaller yang baru saja merilis live session (8/7/23) yang kemudian diberi tajuk “Noises & Clarity”. Dalam video ini, grup musik asal Jakarta tersebut tampil membawakan 5...
Keep ReadingSingle Ketiga Eleanor Whisper Menggunakan Bahasa Prancis

Grup Eleanor Whisper asal kota Medan yang telah hijrah ke Jakarta sejak 2019 ini resmi merilis single ke-3 yang diberi tajuk “Pour Moi”. Trio Ferri (Vocal/ Guitar), Dennisa (Vocals) &...
Keep ReadingSajian Spektakuler KIG Live!

Umumkan kehadirannya sebagai pemain baru pada industri konser musik Indonesia, KIG LIVE yang merupakan bagian dari One Hundred Percent (OHP) Group menggelar acara peluncuran resmi yang juga menampilkan diskusi menarik...
Keep ReadingCrushing Grief Gandeng Dochi Sadega Dalam Single Terbaru

Unit pop-punk dari Manado, Crushing Grief, menggandeng Dochi Sadega dari Pee Wee Gaskins, dalam single terbaru mereka yang diberi tajuk “Hard Rain“. Single ini merupakan salah satu lagu yang diambil dari EP...
Keep Reading