- Music
Mengenang 30 Tahun Album Terburuk Iron Maiden
Kadang-kadang sebuah band malah menghasilkan karya terbaik tepat sebelum ada guncangan besar terjadi. Entah itu berbentuk konflik internal, atau apalah itu. Contoh kasus, album “Painkiller” Judas Priest atau “Persistence of Time” milik Anthrax. Tapi tidak dengan Iron Maiden. Menjelang rilis “No Prayer for the Dying” di 1 Oktober 1990, kesehatan mereka menurun. Situasi ini berakibat di hasil rekaman album kedelapan mereka itu. Berisikan 10 lagu, album yang dikeluarkan ulang di 1995 itu dianggap musisi dan pengamat musik di masa itu jadi karya terburuk buat Iron Maiden.
Di 2004 lalu, catatan Mick Wall di Iron Maiden: Run to the Hills, the Authorised Biography mengungkapkan, hasil buruk “No Prayer for the Dying” sejatinya sudah tercium sejak pra produksi. Dalam bukunya itu, Mick Wall yang punya reputasi sebagai penulis rock dan metal terkemuka di dunia itu menuliskan: “Si pemegang gitar Adrian Smith kurang suka dengan tempo aransemen yang dikreasi personel lain kala itu.” Meski ikut menggarap lirik “Hooks in You”, Adrian mengambil sikap. Ia keluar usai satu dekade bermasa bakti di Iron Maiden. Tak ingin Iron Maiden terpuruk, sang vokalis Bruce Dickinson bereaksi. Mantan gitaris White Spirit, Janick Gers, ia rekomendasikan sebagai pengganti.
Juni 1990, Iron Maiden berangkat ke Stargroves. Di perumahan di bagian tenggara Hampshire, Inggris, itu mereka sepakat memakai Mobile Studio. “No Prayer for the Dying” mulai direkam di studio milik band rock Rolling Stones itu. Tak ada masalah mulanya. Tapi belakangan Dickinson kecewa. Ia dengan tegas menyatakan bahwa itu bukanlah rekaman terbaik Iron Maiden. Berkebalikan dengan Dickinson, anggota lain justru senang bisa mengabadikan kembali lagu-lagunya di Inggris. Sejak “The Number of the Beast”, Iron Maiden tak pernah lagi merekam album di tanah Angles itu.
Yang menonjol dari album itu ialah komposisi aransemennya yang kompleks juga beragam. Lirik-lirik buatan Steve Harris tak seperti biasanya di sini. Di album-album terdahulu, ia kerap mengambil ilham dari peristiwa bersejarah, atau dunia fantasi di mana cuma ia yang paham sendiri. Untuk “No Prayer for the Dying”, lirik-lirik dari Steve Harris lebih banyak terinspirasi kejadian terkini dan perang modern. “Holy Smoke”, misalnya. Ditulis bareng Dickinson, lagu berdurasi tiga menit lebih empat puluh tujuh detik itu membahas keserakahan dan korupsi para penginjil. “Mother Russia” ialah tentang di bekas Uni Soviet yang tengah berproses menjadi negara-negara demokratis. “Fates Warning” meramalkan kiamat akibat nuklir. “Run Silent Run Deep” membahas perang besar di laut lepas. “Tailgunner” adalah kisah pertempuran udara di Perang Dunia II dan pengembangan senjata nuklir.
Sayang, banyak pengamat dan ahli musik menilai, sekaliber Iron Maiden seharusnya mampu menghasilkan kualitas lirik dan musik yang lebih ketimbang “No Prayer for the Dying”. “Lirik yang anti klimaks dibanding dua album terdahulu, “Killers dan The Number of the Beast”,” tulis AllMusic. Sputnikmusic juga memberi review negatif. Pers musik daring ternama milik Jeremy Ferwerda itu berkomentar: “Tak ada yang spesial, sebuah album yang tak bersemangat.” Mengarahkan ujung telunjuknya ke “Tailgunner”, penulis buku Raising Hell: Backstage Tales From the Lives of Metal Legends, Jon Wiederhorn mengatakan: “Lagu yang terlalu sederhana. Antara musik dan vokal saling berkejaran, beradu cepat.”
Walaupun demikian, Jon Wiederhorn memandang, keseluruhan di No Prayer for the Dying, tiga nama masih layak menerima kredit. Ialah permainan gitar antara Gers dan Dave Murray yang sangat mengesankan, juga suara Dickinson yang terdengar teatrikal nan tegas. “Sementara ‘Bring Your Daughter … to the Slaughter’, lagu yang dilarang tayang dan tak boleh diputar di BBC karena judulnya, tetap menarik perhatian banyak orang 13 tahun setelah rilis,” catat Jon Wiederhorn di Loudwire. No Prayer for the Dying berperingkat 17 di ‘the Billboard album chart’. Tak sedikit, memang, yang mengcover lagu-lagu di album ini, dengan Stray, Golden Earring, Free dan Led Zeppelin ialah sekian di antaranya. Namun hingga saat ini, album “No Prayer for the Dying” tetap menjadi salah satu album yang kurang dihargai milik Iron Maiden.
Teks: Emha Asror
Visual: Arsip Iron Maiden
SKJ'94 Kembali Menghentak Lantai Dansa

Penamaan genre musik rasanya sudah menjadi hal umum sekarang ini. Sama seperti grup musik yang pernah mewarnai hiruk pikuk industri musik Indonesia era 2000 awal yang mengkategorikan musiknya sendiri ke...
Keep ReadingInterpretasi Pendewasaan Bagi Prince Of Mercy

Terbentuk sejak 2011 silam di kota Palu, Prince Of Mercy lahir dengan membawa warna Pop Punk. Digawangi oleh Agri Sentanu (Bass), Abdul Kadir (Drum), Taufik Wahyudi (Gitar), dan Sadam Lilulembah...
Keep ReadingKembali Dengan Single Experimental Setelah Setahun Beristirahat

Setelah dilanda pandemi covid-19, tahun 2023 sudah semestinya menjadi momentum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berpesta dan bersuka ria. Di sinilah momen ketika Alien Child kembali hadir dan menjadi yang...
Keep ReadingLuapan Emosi Cito Gakso Dalam "Punk Galore"

Setelah sukses dengan MS. MONDAINE dan BETTER DAYZ yang makin memantapkan karakter Cito Gakso sebagai seorang rapper, belum lama ini ia kembali merilis single terbarunya yang berjudul PUNK GALORE yang single ke-3...
Keep Reading