Menelisik Arah Politik John Lennon

John Winston Lennon adalah seorang melankolis jenius. Pada 9 Oktober 1940 ia lahir di Liverpool, Inggris, tepat ketika Perang Dunia II berkecamuk dan Jerman mulai menginvasi Inggris. Mungkin pengaruh masa ini juga yang menjadikannya sebagai musisi cum aktivis dalam keterlibatannya  menentang segala macam perang dan menyerukan perdamaian dimuka bumi pada beberapa dekade setelah kelahirannya.

Ia hidup dalam  keluarga dan lingkungan yang tidak baik-baik saja. Lennon kecil hidup bersama bibinya, Mimi Smith (kakak tertua ibunya). Ia tidak tinggal dalam keluarga yang hangat bersama ayah dan ibu –yang setiap pagi menyediakan sarapan dan mengantarkannya ke sekolah. Ketika umur 6 tahun Lennon harus menerima pengalaman pahit, karena sebuah perceraian orang tua ia dihadapkan pada dua pilihan besar, antara tinggal bersama sang ibu Julia Stanley atau sang ayah Alfred Lennon . Namun akhirnya ia memilih hidup bersama sang ibu yang bohemian dan jago main alat musik Banjo.

Ketika Lennon berumur 17 tahun, ibunya meninggal dunia. Ia tertabrak mobil yang dikendarai oleh seorang polisi yang sedang mabuk. Disinilah titik balik dimana Lennon membenci pemerintah dan polisi. Cukup ironis, dimana polisi yang menabrak ibunya itu terbebas dari jeratan hukum.  Dalam catatannya yang terangkum dalam bbuku ‘Rebel Notes’ ia pernah menulis: 

“Adalah basis yang bagus ketika kau mulai membenci dan takut kepada polisi sebagai “musuh alamiah” dan menganggap tentara sebagai sesuatu yang membawa setiap orang pergi serta meninggalkan mereka  dalam keadaan mati entah  dimana” ungkapnya.

Setidaknya ia mengajari kita untuk membenci, dimana kebencian dijadikan titik bakar dalam melakukan perlawanan pada hal-hal yang tak wajar terjadi, temasuk ketidakadilan. Seperti yang di lakukan Lennon, sebelum akhirnya ia tewas ditembak seorang fans gila bernama Mark Chapman pada 8 Desember 1980 –yang dengan santai membaca buku Catcher In The Rye karya J.D Salinger ketika ia ditangkap polisi usai menembak Lennon. 

Nama John Lennon tidak pernah lepas dari  fab four legenda musik rock n’ roll dunia bernama The Beatles. Ia membentuk The Beatles pada tahun 1958 bersama dengan  Paul McCartney, George Harrison dan Ringo Starr, yang kemudian bubar di tahun 1970.

Kemunculan John Lennon dipanggung musik dan dunia aktivisme selalu menjadi menu utama dalam setiap perbincangan. Panggung musik menjadi medium yang paling tepat baginya untuk menyuarakan apapun yang dirasa perlu untuk banyak orang ketahui. Lagu-lagu Lennon pasca The Beatles bubar syarat akan hal-hal politis. Ia memanfaatkan popularitasnya untuk menyerukan perdamaian ke setiap penjuru dunia dan mengutuk banyak hal yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan. 

Akhir 1960-an hingga awal 1970-an John Lennon kian aktif mendukung gerakan politik progresif  new left atau biasa disebut Neo-Marxis. Dalam catatannya di buku Rebel Notes tak segan ia menyatakan: “… aku menyebut diriku sebagai seorang Komunis-Kristen,”

Istilah kiri baru dimaksudkan untuk merevitalisasi konsep Marxisme dan sekaligus anti-tesis terhadap kiri lama (dalam hal ini sosialisme/komunisme). Salah satu ikon gerakan ini adalah Herbert Marcuse, seorang filsuf dan ilmuawan sosial dari Mazhab Frankfurt. 

Secara teoritis dan praksis gerakan ini kian massif dan populer dikalangan anak muda generasi 1960-an. Gerakan ini pun merambah pada tema-tema kebudayaan seperti the youth culture, counter culture ataupun counter institutions, yang kemudian salah satunya melahirkan Generasi Bunga dengan segala macam idealisme dan gerakannya. Sikap kritis Lennon selalu diperlihatkan, misal pada tahun 1965, ia mengembalikan medali penghargaan MBE (Member of British Empire) yang pernah diberikan Ratu Elizabeth pada tanggal 26 Oktober 1965 di Istana Buckingham, London. Hal ini dilakukan sebagai bentuk protes karena Inggris ikut serta mendukung penyerangan Amerika kepada Vietnam. Hubungannya dengan Yoko Ono semakin mempertegas garis politik dan keberpihakan Lennon. Mereka kerap melibatkan diri turun ke jalan, melancarkan berbagai protes bersama para aktivis dan mahasiswa saat itu, khususnya di Amerika. 

Setelah bercerai dengan Cynthia Powell, Lennon dan Yoko menikah secara diam-diam pada 20 Maret 1969 di Gibraltar. Mereka berbulan madu di hotel Hilton, Amsterdam sejak 25 hingga 31 Maret. Bulan madunya ini ia jadikan sebagai gebrakan yang cukup gila dalam menyerukan gagasannya. Seluruh dunia diundang kedalam kamar tempat mereka tidur bersama. Para jurnalis berlalu lalang di hotel dan menyiarkan kabar tentang hari-hari intim Lennon dan Yoko. Bagi orang awam mungkin hal ini cukup rumit  dan tidak masuk akal. Bahkan tidak sedikit yang mengejek dan mencemooh apa yang Lennon dan Yoko lakukan. Namun ada satu hal penting yang ingin mereka sampaikan, yaitu: Perdamaian. 

Mereka mengatur ulang kamar tidur hotel sedemikian rupa, dengan sederet poster bertuliskan “Hair Peace”, “Bed Peace”, dan lain sebagainya. Dalam waktu bersamaan seketika tempat tidur mereka dijadikan semacam panggung dan podium orasi dengan cara yang tak biasa. Hal tersebut sebenarnya adalah salah satu  pertunjukan seni yang digagas oleh Yoko Ono. Namun Lennon dengan selera Humornya menjadikan momen tersebut menjadi suatu hal yang dramatis dan serius.

 “Yoko dan aku bersedia menjadi badut dunia, jika dengan melakukan itu akan memberikan manfaat baik” kata Lennon dalam buku Surat Surat John Lennon ihwal protes di tempat tidur. 

Kita bisa membayangkan, bagaimana akhirnya dunia bisa berdamai seperti sepasang suami istri yang baru saja kawin. Dimana cinta dan  kasih mereka ditumpahkan dalam satu ruangan dan tempat bernama ranjang. Pada tahun 1971, Lennon mengirimkan surat pribadi  kepada Ratu Elizabeth yang berisi tentang permohonannya membebaskan para tahanan politik. Surat tersebut berisi:

“Yang Mulia,

Atas nama diri kami sendiri dan teman-teman kami,dengan rendah hati kami meminta anda untuk menunjukan belas kasih kepada 37 tahanan poliitik dunia, terutama mahasiswa berusia 22 thn bernama Massoud Radjari,

Salam damai dan cinta

John & Yoko Lennon

Dapatkah anda melakukan sesuatu?”

Tidak cukup disitu, ketika Amerika menerapkan kebijakan perang Vietnam, Lennon memprotes keras, bahkan sampai dideportasi oleh pihak pemerintah yang jelas bersebrangan. FBI dan Presiden Richard Nixon pun konon turut ikut campur didalamnya. Ketika Lennon menentang perang Amerika, ia berucap: 

“Jika ada satu orang yang bermimpi, maka tetaplah mimpi. Tapi jika ada dua orang memiliki mimpi yang sama, itulah realitas. Yaitu mimpi tentang: Love, Peace, No War,” kemudian ucapan ini dijadikan sebagai kampanye anti-perang yang dilakukan oleh para aktivis perdamaian sampai dengan sekarang. 

Sebagai musisi dan seorang ayah,  terlampau banyak keterlibatan Lennon dalam berbagai aksi sosial. Secara tidak langsung, ia telah menjadi simbol untuk musik dan aktivisme sekaligus ikon perdamaian dunia dan gerakan solidaritas universal antar manusia untuk menentang perang. Dalam suatu kesempatan salah satu editor majalah Inggris tahun 1960-an, Felix Dennis menyatakan bahwa,  “Pihak berwenang takut padanya karena dia sangat terpengaruh. Mereka tidak takut pada orang-orang seperti Mick Jagger. Itu hanya musisi dan  bajingan berambut panjang konyol dengan terlalu banyak uang yang nakal. Masalah dengan John adalah bahwa ada kekuatan intelektual di balik argumen itu. ”

Bulan ini, untuk menandai 80 tahun kelahiran John Lenon, tersiar kabar bahwa label Capitol / UMe akan merilis album remix bertajuk “Gimme Some Truth”. The Ultimate Mixes yang inovatif itu akan rilis tepat di hari kelahirannya. Album ini diproduksi oleh istri sang mendiang, Yoko Ono, dan diproduseri secara langsung oleh putranya, Sean Ono Lennon. Album yang dikemas ke dalam boxset ini setidaknya terdiri dari 36 lagu klasik era kejayaan the Beatles maupun lagu hits John Lennon ketika ia bersolo karir.

Teks: Dicki Lukmana
Visual: Arsip dari Berbagai Sumber

Sisi Organik Scaller Dalam "Noises & Clarity"

Kabar baik datang dari Scaller yang baru saja merilis live session (8/7/23) yang kemudian diberi tajuk “Noises & Clarity”. Dalam video ini, grup musik asal Jakarta tersebut tampil membawakan 5...

Keep Reading

Single Ketiga Eleanor Whisper Menggunakan Bahasa Prancis

Grup Eleanor Whisper asal kota Medan yang telah hijrah ke Jakarta sejak 2019 ini resmi merilis single ke-3 yang diberi tajuk “Pour Moi”. Trio Ferri (Vocal/ Guitar), Dennisa (Vocals) &...

Keep Reading

Sajian Spektakuler KIG Live!

Umumkan kehadirannya sebagai pemain baru pada industri konser musik Indonesia, KIG LIVE yang merupakan bagian dari One Hundred Percent (OHP) Group menggelar acara peluncuran resmi yang juga menampilkan diskusi menarik...

Keep Reading

Crushing Grief Gandeng Dochi Sadega Dalam Single Terbaru

Unit pop-punk dari Manado, Crushing Grief, menggandeng Dochi Sadega dari Pee Wee Gaskins, dalam single terbaru mereka yang diberi tajuk “Hard Rain“. Single ini merupakan salah satu lagu yang diambil dari EP...

Keep Reading