Membaca Buku di Kala Corona

Hari Buku Sedunia jelas harus dirayakan dengan membaca buku. Bukan hanya dalam format cetak, sudah sejak beberapa tahun terakhir buku pun sudah tersedia dalam bentuk elektronik. Biasa disebut e-book, buku elektronik bisa dibawa di dalam ponsel pintar yang bisa berubah fungsi sebagai perpustakaan berjalan. Ribuan buku bisa disimpan dan diakses kapan saja dan dimana saja.

Walau memang lebih efisien, tapi membaca buku fisik yang dicetak jelas lebih memiliki kenikmatan tersendiri daripada mengakses e-book. Membalik tiap lembar halaman, mengendus aroma cetakan di atas kertas dan melipat ujung laman buku sebagai marka bacaan. Bukan romantisme gaya lama tapi pada hakekatnya memang begitulah cara yang terbaik untuk membaca dan menyerap sari sebuah buku. Tapi apapun formatnya, termasuk yang paling simpel berupa buku audio, yang paling penting dari sebuah buku adalah isinya.

Keadaan yang memaksa untuk tidak kemana-mana sekarang ini bisa dibilang menjadi waktu yang tepat untuk menyelesaikan buku-buku yang belum sempat dibaca, atau mencari referensi bacaan yang bisa diburu. Maka untuk itu, di kesempatan Hari Buku Sedunia ini ada beberapa rekomendasi bacaan yang mungkin bisa mengisi hari-hari di rumahmu. Berbicara akan tema atau latar cerita dari buku-buku yang dibahas mungkin sedikit banyak beririsan dengan kondisi wabah sekarang. Walau tidak secara langsung berhubungan dengan keadaan sekarang ini.

Dan sekedar mengingatkan, baca bukunya jangan hanya nilai dari judul dan sampulnya, apalagi ulasannya. Ingat juga, jangan jilat ujung jemari untuk membalik lembar halaman sebelum mencuci tangan.

pilihan buku

The Hot Zone: A Terrifying True Story (1994)

Untuk sebuah non-fiksi, buku tulisan Richard Preston ini sangat menegangkan. Jurnalisme sastrawi yang menuturkan fakta dengan ritme yang membangun teror. Berkisah tentang bagaimana beberapa ahli USAMRIID dan CDC yang belum pernah punya protokol menghadapi kasus outbreak sejenis Ebola yang merebak di sebuah fasilitas penyedia monyet untuk laboratorium eksperimen di Reston, Amerika Serikat.

The Last Man (1826)

Mary Shelley dikenal karena Frankenstein, di novel distopia The Last Man dia menulis tentang sebuah dunia masa depan di abad ke-21 dimana kehidupan hancur karena wabah.

Sampar (1947)

Ditulis oleh Albert Camus, novel ini masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Bercerita tentang wabah yang merebak di Algeria, novel ini merekam dinamika dan polemik yang muncul dari sikap para politisi, tenaga medis, para relawan hingga kondisi psikologis dan relasi sosial masyarakat yang diselimuti keresahan dalam isolasi dan karantina.

Love in the Time of Cholera (1985)

Novel karya Gabriel Garcia Márquez ini adalah sebuah romansa cinta indah yang rumit dan ruwet. Kisah penantian dan kesetiaan yang tak terkikis waktu dengan latar suatu masa ketika Kolera mewabah di Kolombia. Hingga kala tua cinta masih merekah merona.

A Song for a New Day (2019)

Novel distopia Sarah Pinsker ini berlatar Amerika Serikat pasca pandemik. Suatu masa ketika kerumunan massa dilarang, hingga konser musik pun hanya bisa dinikmati online; tak jauh berbeda seperti sekarang. Hingga sekelompok musisi urakan pun berkumpul dan bergerak mengorganisir gigs secara rahasia di ruang-ruang bawah tanah dan gudang.

Pale Horse, Pale Rider (1939)

Novel pendek berisi tiga cerita tulisan Katherine Anne Porter, kisah “Pale Horse, Pale Rider” adalah romansa seorang perempuan dengan seorang serdadu yang berlatar masa Perang Dunia Pertama dan pandemi flu di tahun 1918.

The Andromeda Strain (1969)

Novel sains fiksi thriller karya Michael Crichton ini mengangkat kisah tentang sekelompok ilmuwan yang harus menghadapi sebuah epidemi yang disebabkan mikroorganisme ekstraterestrial yang tak pernah ada sebelumnya di bumi.

Ammonite (1992)

Novel hasil tulisan Nicola Griffith ini melebur isu gender dalam kemasan sains fiksi. Buku futuristik yang berlatar di masa depan di sebuah planet, dan virus yang menjangkiti pengembara antariksa dari Bumi yang datang ke planet itu.

Blindness (1995)

Ditulis oleh peraih Penghargaan Nobel, Jose Saramago, novel ini bercerita tentang suatu kota yang mendadak banyak penduduknya menjadi buta tanpa sebab yang jelas. Kekacauan sosial muncul diiringi sikap pemerintahnya yang otoritarian.

Station Eleven (2014)

Novel tulisan Emily St. John Mandel ini berlatar cerita tentang kemunculan sejenis flu maut yang menghabisi 99 persen populasi manusia, dengan sekelompok seniman yang menjadi penyintas mencoba menjalani kehidupan yang dihantui oleh wabah.

Teks: Farid Amriansyah

Visual Utama: David Lezcano/Unsplash

Visual Pendukung: Arsip Farid Amriansyah

Suguhan Yang Lebih Dari Lineup

Kota Makassar tengah dipenuhi  gegap gempita ledakan festival musik nyaris setiap akhir pekan. Sebagai salah satu yang berjalan paling lama,  Rock In Celebes menjadi nama yang paling dinanti oleh pecinta...

Keep Reading

Menyajikan Lebih Dari Musik!

Familiaxshow telah sampai pada seri ke-7 yang akan digelar pada 18 September 2022. Gig 3 bulanan sekali ini pertama kali digulir 6 Maret 2020 dengan fokus memberikan ruang bagi lineup...

Keep Reading

STUC Merepresentasi Mood Yang Acak Dalam 'Spin'

Kuartet math-rock dari Bandung yang mantap digawangi Dida (Drum), Wisnu (Gitar), Ades (Gitar), dan Ojan (Bass) merilis single kedua bersama Humané Records pada tanggal 26 Agustus 2022 dengan tajuk ‘Spin’....

Keep Reading

Geliat Kreatif Dari Sulawesi Tengah Dalam Festival Titik Temu

Terombang-ambing dalam kebimbangan akan keadaan telah kita lalui bersama di 2 tahun kemarin, akibat adanya pandemi yang menerpa seluruh dunia. Hampir semua bentuk yang beririsan dengan industri kreatif merasakan dampak...

Keep Reading