Melihat Secara Utuh Slave To The Grind

Masa-masa di rumah saja bagi sebagian orang tentu sangat menyenangkan, tapi tak sedikit juga yang menganggap hal itu sangat membosankan. Agar kegiatan #dirumahaja kalian tidak begitu-begitu saja, ada baiknya mulailah mencoba untuk menonton berbagai film dokumenter musik, salah satunya adalah Slave To The Grind. Film yang berdurasi selama 1 jam 30 menit ini akan memberikan kalian pengetahuan tentang apa itu musik grindcore, bagaimana sejarah lahirnya genre musik ini, dan siapa saja para pelopornya, semuanya akan dijelaskan di film dokumenter ini. Kala peluncurannya 2 tahun silam, Indonesia juga mendapat kesempatan untuk memutarkan film ini di 29 kota.

Sayangnya saat pemutaran di 29 kota pada waktu itu, kami tidak memiliki kesempatan untuk menghadiri satupun kota yang masuk dalam daftar. Tapi, baru saja pihak rumah produksinya, Death By Digital Productions membuka akses film ini di laman Youtube milik mereka. Hal ini mereka lakukan untuk menghibur semua penggemar musik ekstrim grindcore di seluruh dunia di tengah kondisi yang mengharuskan untuk selalu di rumah dan tidak berkumpul.

“Karena kita semua terpaksa untuk menghadapi pandemi yang belum pernah terjadi sebelumnya, mungkin ada baiknya bila kita punya film yang bisa ditonton di waktu senggang. Kami punya teman-teman dari komunitas grindcore di seluruh dunia yang telah terdampak oleh virus Corona.” Terang pihak Death By Digital akan alasan mereka untuk mempublikasikan Slave To The Grind di akun YouTube mereka.

Lalu, apa itu grindcore? Grindcore adalah subgenre musik ekstrim yang kemunculan ikoniknya ditandai dengan hadirnya Napalm Death pada awal sampai pertengahan tahun 1980-an. Genre ini menjadi semacam varietas hibrid kasar nan brutal dari beberapa genre lain seperti thrash metal, death metal, industrial, noise dan hardcore punk. Karakteristik umum grindcore mungkin adalah distorsi yang sangat berat, nada yang disetel turun dari tuning standar pada gitar, tempo lagu yang sangat cepat, blast beat drum yang menggelegar cepat, dan vokal dengan gaya growl yang sulit di mengerti atau teriakan yang sangat tinggi.

Dalam dokumenter ini, kita akan disuguhkan berbagai cuplikan konser hingga wawancara dari narasumber yang jelas telah lama malang melintang di genre ini. Di awal film, kita akan melihat rekaman penampilan dari Repulsion yang disatukan dengan narasi sang vokalis yaitu Scott Carlson. Dirinya menjelaskan banyak kejadian yang terjadi pada bandnya di masa awal pembentukan sekitar tahun 1980-an. Lalu juga ada penjelasan dari berbagai teknik bermain drum yang disampaikan oleh para drummer dari beberapa band grindcore seperti, Soilent Green, Discordance Axis dan P.L.F.

Walau bukan film dokumenter pertama tentang grindcore, film ini  menjelaskan secara komprehensif bagaimana genre ini bisa bertahan sejak inisiasinya 35 tahun silam. Kita akan dibawa berkeliling dunia, mulai dari Amerika, Inggris, Australia, Jepang, Singapura, Finlandia, dan Swedia untuk bertemu para pelaku dan sekaligus mencari tahu mengapa genre ini tetap eksis dan berevolusi seiring waktu bersama generasi baru diehard fans-nya. Sosok-sosok tua grindcore pun tumpah ruah dihadirkan. Seperti; Scott Carlson (Repulsion), Jon Chang dan Dave Witte (Discordance Axis), Kevin Sharp (Brutal Truth), Ben Falgoust (Soilent Green), Justin Broadrick (Napalm Death), Digby Pearson (Earache Records).

Yang cukup menarik adalah ketika Justin Broadrick menceritakan awal mula perjalanan dari Napalm Death, bagaimana cerita dirinya bertemu dengan Nic Bullen dan kemudian membentuk band ini hingga akhirnya mereka bisa menjadi salah satu legenda dari genre musik paling berisik ini. Lalu, cerita Digby Pearson tentang Napalm Death yang mulai mencuri perhatian pelaku kancah underground kala itu, yang mana di tahun 1983 usia para personilnya masih sekitar 14 tahun. Sebuah hal yang benar-benar mengejutkan pikir Digby. 

Ngomong-ngomong soal Napalm Death, tentunya mereka punya pengaruh besar untuk band-band grindcore yang ada di seluruh dunia. Indonesia pun juga termasuk yang terkena cipratan dari pengaruh mereka. Album “Harmony Corruption” yang dirilis di tahun 1990 silam dikatakan sebagai penanda cikal bakal lahirnya band-band death metal dan grindcore yang ada di Indonesia. Album yang masuk ketika anak muda tanah air kala itu sudah mulai jenuh dengan jenis musik yang ada, dan seketika memberi pengaruh baru bagi para pelaku kancah musik metal Indonesia.

Doug Robert pun tidak melewatkan untuk membahas debut album fenomenal dari Napalm Death yang kita semua tahu berjudul Scum, sebuah album yang dianggap membawa pengaruh besar dan juga luas bagi perkembangan grindcore kedepannya. Scum tidak hanya menarik dari segi musiknya, tetapi juga memiliki kisah tersendiri tentang proses rekamannya. Pada dasarnya debut dari Napalm Death ini adalah dua album dengan paket berisi 28 lagu namun hanya memiliki durasi 33 menit. Film ini pun kemudian menapaki ranah yang lebih luas dengan membahas banyak band-band yang ada. Seperti kemunculan Terrorizer, Brutal Truth, Nasum, Carcass hingga yang paling ofensif sekaligus kontroversial, Anal Cunt. Ketika membahas sebuah kebangkitan, pastinya tidak akan lepas dari kematian. Saat itu tentunya cuplikan dan narasi akan bergeser ke sebuah kejadian yang tidak akan terlupakan bagi penggiat genre ini. Apalagi kalau bukan kematian dari Mieszko Talarczyk (Nasum) pada 2004, Jesse Pintado (Napalm Death, Terrorizer), dan juga sosok Seth Putnam (Anal Cunt) pada 2011 silam. 

Film dokumenter ini benar-benar tidak ingin ketinggalan setitik pun hal penting dalam penelusurannya. Beragam perspektif dari para pelaku seperti; Mark “Barney” Greenway (Napalm Death), Oscar Garcia (Terrorizer), Dan Lilker (Brutal Truth), Scott Hull (Pig Destroyer), Tim Morse (Anal Cunt), Bill Steer (Carcass), dan banyak lainnya turut dihadirkan. Membahas grindcore memang tidak akan ada habisnya, bila kalian merasa paling tahu tentang genre ini, mungkin ada baiknya menyimak kembali film ini. Dokumenter ini memang menampilkan banyak sekali informasi dan trivia. Tapi, hal itu bukan berarti tidak bagus. Dari tiap kejadian itulah kita akan mengetahui secara detil, dan juga akan memberi pandangan yang lebih luas lagi dari grindcore itu sendiri.

Sebagai penutup, lebih baik di rumah menonton film ini dan moshing diatas kasur daripada keluar dan, “you suffer, but why?”

RATED: 8/10

Teks: Adjust Purwatama
Visual: Arsip dari Death By Digital

Suguhan Yang Lebih Dari Lineup

Kota Makassar tengah dipenuhi  gegap gempita ledakan festival musik nyaris setiap akhir pekan. Sebagai salah satu yang berjalan paling lama,  Rock In Celebes menjadi nama yang paling dinanti oleh pecinta...

Keep Reading

Menyajikan Lebih Dari Musik!

Familiaxshow telah sampai pada seri ke-7 yang akan digelar pada 18 September 2022. Gig 3 bulanan sekali ini pertama kali digulir 6 Maret 2020 dengan fokus memberikan ruang bagi lineup...

Keep Reading

STUC Merepresentasi Mood Yang Acak Dalam 'Spin'

Kuartet math-rock dari Bandung yang mantap digawangi Dida (Drum), Wisnu (Gitar), Ades (Gitar), dan Ojan (Bass) merilis single kedua bersama Humané Records pada tanggal 26 Agustus 2022 dengan tajuk ‘Spin’....

Keep Reading

Geliat Kreatif Dari Sulawesi Tengah Dalam Festival Titik Temu

Terombang-ambing dalam kebimbangan akan keadaan telah kita lalui bersama di 2 tahun kemarin, akibat adanya pandemi yang menerpa seluruh dunia. Hampir semua bentuk yang beririsan dengan industri kreatif merasakan dampak...

Keep Reading