Laga Perdana: MURKA vs. Stigma; Rock ‘n’ Roll is Dead, dan Gempuran Budaya Digital

Rock ‘n’ Roll needs an injection of some new young blood to really just knock everybody dead right now.”
Jack White

Coba hitung, berapa banyak band Makassar yang kamu tahu?”

Sebenarnya pertanyaan di atas saya lempar untuk saya sendiri. Saya terdiam sejenak; memejamkan mata; mengingat-ngingat; seraya berkomat-kamit. Tak lama lamunan pun buyar. Hasilnya? Cuma beberapa band yang berhasil saya ingat. Kehitung jari. Percis jumlah anak kucing dalam satu lahiran.

Lalu siapa grup musik asal kota metropolitan di Indonesia Timur sana yang sempat diikuti belakangan ini?” tanya saya lagi.

Tiba-tiba terlintas nama Theory of Discoustic (ToD), sektet berhaluan folk yang menggabungkan elemen Bugis––Makassar. Mereka yang terakhir kali saya simak penuh, ketika ToD meluncurkan album bertajuk La Marupè tiga tahun silam. ToD baru saja melempar single anyar bertajuk “Songkabala” beberapa bulan lalu. Mereka sempat digadang-gadang sebagai satu dari segelintir grup musik yang menyandang predikat “Harapan dari Timur”.

Satu tahun berselang, saya tak sengaja kembali berkenalan dengan grup musik dari Kota Daeng, unit yang pernah mengisi soundtrack film dokumenter Silent Blues of the Ocean. Namanya Loka’. Musiknya gado-gado; pop, eksperimental, prog. rock, jazz-noise-esque dan bla bla bla.

Jika bicara soal musik di Indonesia Timur, kita tak bisa lepas dari acara festival musik yang getol diadakan setiap tahunnya, Rock In Celebes. Festival besar ini mampu berjejaring dengan para pelaku industri kreatif dari luar pulau Sulawesi. Memasuki usia yang ke-11, festival tersebut berlangsung secara streaming. Pasalnya, masa pagebluk hingga kini belum berakhir. Tahun 2020 dan 2021 memang tahun asu! Silakan mengutuk sekeras-kerasnya dalam hati.

Saya pribadi punya feeling bagus dengan fenomena merebaknya sejumlah kolektif musik yang terus menggenjot kreatifitas di zaman kiwari––era banjir informasi, referensi, dan klarifikasi (haha!)––tidak berlebihan jika mengatakan, akan datang waktunya yang entah kapan, movement skena Kota Daeng mampu mendobrak dominasi musikus di tanah Jawa.

Lebih baik saya hentikan bertele-tele ini. Tapi… uraian di bawah pun akan sama, menggelontor begitu saja. Apa adanya. Jika keburu malas, lebih baik berhenti membaca sampai sini.

Jadi, suatu hari, saya dikagetkan dengan pesan langsung (direct message) Instagram dari seorang kawan lama yang sempat melipir ke Bandung. Remi Setiawan, hulubalang unit rock asal Makassar bernama MURKA (ditulis dengan huruf kapital), meminta saya––selaku pendengar––menulis catatan liner untuk album pertamanya. Jujur, saya kaget sekaligus senang. Kaget karena permintaan tadi (saya tak pernah menanyakan apa alasannya). Dan saya juga senang, teman saya ini bakal segera merilis rilis album bertajuk Deklarasi Biru.

“Pemilihan frasa Deklarasi Biru itu spontan aja, sebagai bentuk pengumuman tentang kebijaksanaan atas segala bentuk tragedi kehidupan saat ini. Secara komperensif, album ini cenderung membahas terkait sejumlah isu strategis yang terjadi di Indonesia: political ethics, enviromental ethics, human rights, dan injustice,” paparnya saat ditanya perihal album ini secara garis besar via WhatsApp.

Saya mengiyakan permintaan tadi. Lantas, ia mengirim semua file beserta sampul album depan-belakang yang menghimpun sepuluh repertoar. Sampul albumnya menampilkan objek kereta api yang tengah menerobos hutan di bawah bulan purnama; tepatnya lokomotif tua dengan asap hitam dan uap putih yang mengepul keluar dari cerobong di atas silinder mesinnya. Menilik kovernya, saya malah ingat sederet album dengan objek serupa. Yang paling kentara yaitu Blur album Modern Life Is Rubbish (1993). Ada juga The Outlaws album Lady in Waiting (1976), The Darkness album One Way Ticket to Hell… and Black (2005), dan trio aki-aki berjanggut panjang mirip-mirip personel ZZ Top, The Southern Locomotive Band album Somewhere In Time (2020).

Bicara soal kover album yang digarap Ijul Fabanyo, kala itu Remi sempat membaca buku Man’s Search for Meaning karya Viktor Frankl. Buku kisah nyata tentang dokter yang hidup di kamp Auswitch pada zaman Nazi. Frankl mengisahkan dirinya dalam sebuah kereta api, berdesakan dengan tahanan yang sedang menuju rumah penjagal Auswitch. “Dari situ saya membayangkan keadaan tersebut; penderitaan, kecemasan, ketakutan, berkumpul dalam satu kereta. Tentu, tahanan itu merindukan napas kebebasan, serta menginginkan angin keadilan segera tiba dengan lembut di kulit mereka, tapi harapan mereka punah di kamp konsentrasi Nazi. Kereta itu menginspirasi kami membuat cover album ini. Sebuah kereta yang terisi oleh kebebasan, keadilan, prinsip egaliter, yang sedang menuju kepada suatu daerah yang penuh dengan kedamaian pikiran,” tuturnya.

Awalnya, entitas MURKA merupakan proyek solo untuk album pribadi Remi Setiawan. Sayangnya, ia merasa kurang percaya diri menjadi solois. “Lalu saya berpikir untuk menjadikan format band trio. Pengerjaannya cukup singkat, kurang lebih hanya enam bulan. Di pertengahan 2020 semua materi sudah jadi. Namun terlambat karena pandemi, sehingga mixing dan mastering ditunda sampai awal 2021.”

Lalu saya melempar pertanyaan umum, apa yang ingin disampaikan lewat Deklarasi Biru kepada pendengar. “Simple,” jawabnya. “Sebagai katalisator pembaharuan pikiran anak bangsa dan meningkatkan kuriositas anak muda bangsa yang sekarang ini sangat menurun dalam hal kritik dan literasi.” Oke, baiklah, Daeng.

Saya sih yakin, tiga anak muda ini: Remi Setiawan (vokal/gitar), Andi Jauhary Joe (gitar/piano/synth), dan Luthfi Ariangga (bas) cukup berambisius, bernyali besar, sekaligus nekat untuk merilis album. Saya langsung menggambarkan mereka layaknya para joki yang tengah menunggangi dan mencambuk keras ‘pantat’ rock (bukan kuda) sebagai kendaraannya. Seolah ada hasrat yang mengendap dalam dada mereka untuk mengembalikan suatu tonggak yang hilang; semacam glorifikasi yang pernah digaungkan puluhan tahun lalu oleh Ritchie Blackmore cs. bersama kolektif cadasnya Rainbow: Long Live Rock ‘n’ Roll. Adalah slogan semu hari ini.

Pertanyaannya, apakah rock ‘n’ roll benar sudah mati? Atau sedang sakratulmaut? Apakah MURKA akan menjadi juru selamatnya? Saya percaya, posisi mereka tak hanya sebatas tukang tahu bulat––dadakan––di ajang liga banal budaya digital; atau sekadar pelepas dahaga––sesaat––di tengah panasnya Kota Makassar sambil nyeruput es sirup DHT sekali duduk. Bukan. Jika mengukur dalam spektrum yang lebih luas, faktanya mereka sudah terlanjur nyebur. Secara tidak langsung, artinya, MURKA tengah menggenggam tongkat estafet dan dituntut untuk menghasilkan produk kebanggaan anak bangsa di tanah Celebes, layaknya Ballo, Pongasi, hingga Cap Tikus. Mereka bisa menjadi ancaman baru di liga musik nasional yang silih sikut.

Kita tahu, stigma rock ‘n’ roll telah mati tidak terjadi dalam semalam suntuk, bulan, atau beberapa tahun terakhir. Faktanya, coba saja ketik di kolom pencarian, akan muncul sejumlah artikel/opini dari tahun 2000-an terkait stigma tersebut. Ketika era digital mulai bergerak, musik rock berangsur-angsur tergerus sampai akhirnya ditelan zaman. Bukan berarti ditinggalkan pendengar. Tentu masih ada. Katakan saja mereka para gatekeeper musik rock macam pamanmu yang masih mengkultuskan Led Zeppelin. Pink Floyd. Black Sabbath. AC/DC. The Black Crowes. Giant Step. God Bless. Roxx. The Flowers. Hingga generasi The S.I.G.I.T.

Saya tak bermaksud menggiring pendengar dalam tafsir yang sesat. Apakah album ini akan meninggalkan kesan ‘ketinggalan zaman’ di tengah perdebatan wacana, betapa kontemporernya masa kini? Di mana zaman mendesak para pelaku untuk membawa elemen-elemen baru yang digunakan, demi menimbulkan dan menonjolkan impresi baru pula. Atau hal tersebut tidak begitu penting bagi mereka? MURKA keluar secara jujur menampilkan kepolosan yang berpegang pada tradisi lama.

Mencermati hal ini, tampaknya MURKA punya antusias besar membuat dapur rock kembali ngebul. Namun––didorong pemahaman sesat––saya malah terjerumus dalam suatu kegetiran, dan memunculkan sederet pertanyaan. Bagaimana mereka menghadapi gempuran budaya digital? Akankah beradaptasi dengan baik, atau malah terbenam dan tersingkirkan? Menjawab tantangan zaman memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Jalan di depan pun takkan semulus paha Anya Geraldine pula. Saya yakin, MURKA telah melakukan usaha besar untuk berada di titik ini. Sebuah upaya untuk mengembalikan muruah rock dengan menarik atensi publik. Tapi nahasnya dengan cara merangkak dan tertatih-tatih.

Daripada dicap sok tahu, saya pun sadar, tak ada yang lebih berkuasa menjawab ketimbang Remi selaku pemimpin pasukan MURKA. “Virus rock sudah mati telah menyebar lebih dari 30 tahun lalu. Tapi kenyataannya, sejumlah band rock tumbuh subur di beberapa belahan dunia termasuk Indonesia. Everything going back to the roots. Rock ‘n’ roll seperti akar pada tumbuhan yang menyuplai nutrisi kepada semua genre musik,” ujarnya yakin. “Saya kira stigma rock sudah mati itu terlalu berlebihan dan paradoks. Kami menghadirkan Deklarasi Biru sebagai upaya untuk memberi nutrisi baru kepada telinga yang kering akan musik ini.” Hmm terdengar diplomatis.

Ketika ditanya bagaimana animo pendengar musik rock di Makassar, Remi menjawab, “dalam keadaan krisis, sedikit mengalami amputasi (tertawa). Kemunculan MURKA sedikit memberi napas segar bagi penikmat rock di Kota Daeng.” Ia melanjutkan, “apalagi kemarin salah satu brand ternama GUTEN INC mengajak kami berkolaborasi untuk konten musiknya, sehingga memberi dampak signifikan agar bisa menghidupkan lagi sel-sel rock yang hampir mati di Kota Daeng ini.”

Album ini dibuka dengan nomor bertajuk Memanjakan Setan. Judul yang cukup provokatif. Pukulan dram yang mengentak dan meruang, dentuman bas kotor, beratnya distorsi gitar, ditimpa dengan karakter vokal Remi yang lantang, membangkitkan sensasi gamblang terhadap muruah rock. Musiknya bak tabuhan genderang perang. Lugas, meledak-ledak, dan bersipongang menghantam gendang telinga. Secara garis besar terdengar repetitif yang berpusat pada riff gitar. Lagu ini berkisah tentang perundungan (bullying). Rupanya, MURKA ingin mengajak pendengar untuk lebih positif dalam berinteraksi di kehidupan sosial. Saya pribadi malah tergoda dengan intro di lagu ini. Familier. Tanpa maksud menyamakan, coraknya sekilas mirip “Repulse” milik unit progresif rock asal Kota Kembang, Lamebrain. Perbedaanya hanya di akor. Ritmenya sama. Selebihnya beda.

Raungan distorsi membuka trek selanjutnya “Gema”, disambut ketukan dram yang kurang ekspansif, dan disusul dengan vokal lantang yang sangat mendominasi lagu secara keseluruhan. Sepanjang lagu komposisinya terdengar flat, riff gitar pun cenderung repetitif, monoton, tanpa meninggalkan kesan signifikan. Terasa hambar dan cukup membosankan. Pun pada bagian interlude 14 bar yang diisi raungan pedal-wah, tidak menampakkan eksplorasi yang luas. Untungnya pesan di lagu ini tetap tersampaikan lugas berkat sang vokalis.

Pendengar akan merasakan nuansa 70-an saat trek ketiga diputar. Lagu berjudul “Amarah” merupakan single perkenalan MURKA pada akhir 2019, sekaligus dengan video musiknya di kanal YouTube. Durasinya pendek: dua menit lebih. Sentuhan fuzz membuat lagu ini menjadi sedikit berat. Mereka seolah menghidupkan kembali kebrengsekan musik Indo-Rock 70-an dengan dosis yang pas. Lead gitar pada bagian interlude terasa lebih menggigit, ketimbang trek sebelumnya. MURKA memotret ketimpangan sosial dan ekonomi yang terjadi di negeri ini, ketidakadilan hukum yang menyeret rakyat kecil. Mereka berupaya untuk menyampaikan suara rakyat kecil yang dirampas haknya. Dengan syair yang provokatif berbahan bakar kebencian, Engkau pandai berdusta… bangsat!”, akor simpel, dan vokalis dengan teriakan berani, rasanya MURKA punya modal yang cukup untuk menyampaikan musik bertema protes.

Selanjutnya “Pulih”. Intro dibuka dengan ketukan dram bertempo pelan, disambut petikan gitar bernuansa gelap. Cukup berbeda dari lagu sebelumnya, nomor ini seolah menjadi peredam kemurkaan mereka, agar terlepas dari cibiran, “marah-marah mulu, bang, sabar dikit napa.” Hehe punten, Daeng, bercanda. Meski secara keseluruhan syairnya dipenuhi ambiguitas, “Pulih” memiliki kekuatan batin bara yang terhunus. Tak hanya mengutarakan harapan, mereka seolah mengajak pendengar untuk bersikap jujur, terlebih mengakui kekalahan tanpa meninggalkan kesan lemah. Aku ingin segera pulih […] walau kutahu aku akan kalah…. Temponya yang pelan dan konstan, ditambah progresi akor yang miring, justru membuat lagu ini menjadi unik. Nyatanya, permainan itu cukup mendominasi lagu pada separuh trek. Ada peralihan dinamika yang tadinya pelan menjadi keras. Rupanya mereka membuat klimaks di bagian ending, yang diisi melodi gitar. Meski lead gitar berpadu mulus dengan vokal yang juga bernada tinggi, saya pribadi merasa terganggu. Kesan yang ditimbulkan jadi seperti lagu slow rock pada umumnya. Mungkin itu konsep mereka? Wallahualam. Di satu sisi, lead gitar pun kurang bervariasi, ada pengulangan nada di setiap baitnya.

Meski dibuka dengan suara synth dan gitar bernuansa kelam, komposisi musik sepanjang lagu biasa saja alias monoton. Rock nanggung. Tapi apa yang dilakukan mereka patut diapresiasi. Nomor “Kembali Pada Kami” adalah bentuk dedikasi sang vokalis untuk para pejuang/aktivis yang suaranya direnggut penguasa. Sebuah lagu dengan konsep “menolak lupa”. Syairnya disampaikan secara berapi-api. Pasalnya, HAM adalah hak setiap manusia yang melekat seumur hidup. Saya tiba-tiba ingat saat Zen Rs membacakan esainya di Aksi Kamisan 502 beberapa tahun silam. Karena untuk cinta yang dalam, kehilangan akan selalu aktual. Karena untuk rindu yang menahun, kehilangan takkan pernah basi. […] Jika memang hanya mengenang yang bisa kita lakukan, maka kita akan terus mengenang, sebab mengenang adalah bukti, bahwa korban bukan semata angka dan statistika,” ungkapnya dalam salah satu kanal YouTube.

Barangkali trek berjudul “Ha$rat” cocok dinyanyikan secara rampak pada sebuah malam di pesisir pantai. Angin basah, debur ombak, api unggun, sembari menenggak berbotol-botol arak mungkin akan menambah hangatnya suasana. Instrumen harmonika di lagu ini juga seolah menambah kesan akrab/intim.

Selain itu, Remi menuangkan keresahannya terkait musik rock yang mengalami penurunan dari segi pendengar, terutama di tanah kelahirannya. Hal ini terangkum dalam nomor “Luka Kota”. Ada eksplorasi di bagian interlude, lead gitar yang meruang diiringi dengan spoken words. Tapi entah melafalkan mantra apa, samar, tidak begitu terlalu jelas.

Selanjutnya “Kultus”, lagu kebut berhaluan garage rock ini bisa jadi nomor paling berbahaya dari semua lagu di album Deklarasi Biru. Dalam artian, berbahaya bagi karier MURKA sebagai pendatang baru yang masih seumur jagung, tapi bukan juga anak kemarin sore. Saya sebagai pendengar dengan sangat menyesal dan berat hati harus mengatakan: mereka berhasil menilap lagu milik Black Rebel Motorcycle Club (BRMC) berjudul “Conscience Killer” di album Beat the Devil’s Tattoo (2010). Gila! Tak habis pikir. Panjang durasinya pun sama: 3 menit lebih. Secara komposisi: mulai intro, verse, chorus, sampai coda, pola ritmenya sama, meliputi gaya vokalnya. BRMC bertempo cepat, sementara MURKA sedikit lambat. Pengecohannya sangat tipis di bagian bridge yang diisi riff gitar, serta akor yang sedikit dimodifikasi. Konsep yang mereka utarakan baik itu secara musik/lirik jadi tidak penting lagi. Mazhab BRMC mengalir sepanjang komposisinya. Kenapa mereka sepolos ini? Ujungnya malah merembet pada kecurigaan, jangan-jangan mereka kehabisan ide, atau tak sabar ingin segera merilis Deklarasi Biru, lantas dengan mudah menilap sebuah komposisi yang sudah ada. Huft. Benarkah mereka menyontek? Bukan bermaksud membela, jika meminjam pernyataan sastrawan mbeling Remy Sylado dalam bukunya 123 Ayat tentang Seni (2012), ada istilah yang bisa bebas dari dakwaan untuk menyelamatkan seseorang dari tuduhan plagiarisme, yaitu reminiscenza. “Di situ diterangkan bahwa reminiscenza merupakan pengaruh kuat dari roh musik terhadap seseorang, sehingga ketika orang yang dimaksud ini menciptakan musiknya sendiri, tak pelak roh itu mengikat imajinasinya,” tulis Remy. Lantas apa batas perbedaan antara menjiplak dan terinspirasi? Saya terus-terusan menggelengkan kepala sepanjang “Kultus” mengalun.

Nomor “Dalam Tawanan Yang Lain” adalah lagu berdurasi panjang. Intro dibuka langsung dengan rapalan syair yang dinyanyikan secara berulang. Raungan distorsi kasar, ketukan dram yang bertenaga dan menderap, berpadu mulus dengan dentuman bas yang terkesan fuzzy. Eksplorasi musik menitik beratkan pada improvisasi gitar hingga akhir lagu, seolah menjadi kekuatan di lagu ini.

Album Deklarasi Biru ditutup dengan nomor berjudul “Love Won’t Stay”, sebuah lagu antiklimaks bernuansa slow rock yang kental. Di lagu ini pula MURKA memaksukkan instrumen piano dan saksofon alto.

Sejauh ini, apa yang dilakukan MURKA patut diapresiasi. Album yang cukup menampar secara lirik, namun tidak menendang tepat di muka dan tidak meninggalkan bekas lebam. Sayangnya, keunggulan tak dibarengi dengan materi musik yang bernas dan eksploratif. Terkesan stagnan dan simplistis. Meski begitu, bukan berarti MURKA tak bisa menjadi calon band rock besar berikutnya. Saya pribadi optimis, tapi bukan dicapai lewat album ini, melainkan yang berikut-berikutnya, tergantung seberapa inginnya mereka maju menerima kenyataan jika masa depan tak cukup digapai dengan perangkap keras glorifikasi masa silam. Selebihnya, MURKA telah berupaya menghidupkan lagi sel-sel rock yang hampir mati di Kota Daeng, seperti yang dikatakan sang vokalis, sehingga Generasi Z pun ikut terciprati. Mereka secara galib telah memiliki resep yang tepat untuk format masa depan tersebut, sekarang tinggal mampukan mereka merasakannya. Deklarasi Biru hanyalah umpan dan jawaban, bahwa stigma rock ‘n’ roll is dead sebatas ungkapan yang terkesan paradoksal. Terakhir, mampukah MURKA beradaptasi dan bertahan di tengah gempuran budaya digital? Kita simak di laga kedua.

Teks: Yusuf Hamdani
Visual: Arsip dari Murka

Debut Kathmandu Dalam Kancah Musik Indonesia

Musisi duo terbaru di Indonesia telah lahir. Penyanyi bernama Basil Sini bersama seorang produser sekaligus multi-instrumentalist bernama Marco Hafiedz membentuk duo bernama KATHMANDU. Dengan genre Pop-Rock, KATHMANDU menyapa penikmat musik...

Keep Reading

Sisi Organik Scaller Dalam "Noises & Clarity"

Kabar baik datang dari Scaller yang baru saja merilis live session (8/7/23) yang kemudian diberi tajuk “Noises & Clarity”. Dalam video ini, grup musik asal Jakarta tersebut tampil membawakan 5...

Keep Reading

Single Ketiga Eleanor Whisper Menggunakan Bahasa Prancis

Grup Eleanor Whisper asal kota Medan yang telah hijrah ke Jakarta sejak 2019 ini resmi merilis single ke-3 yang diberi tajuk “Pour Moi”. Trio Ferri (Vocal/ Guitar), Dennisa (Vocals) &...

Keep Reading

Sajian Spektakuler KIG Live!

Umumkan kehadirannya sebagai pemain baru pada industri konser musik Indonesia, KIG LIVE yang merupakan bagian dari One Hundred Percent (OHP) Group menggelar acara peluncuran resmi yang juga menampilkan diskusi menarik...

Keep Reading