Jonas Sestrakresna: Membuat Karya Seni Rupa dengan Dasar Ilmu Antropologi

Jonas Sestrakresna merupakan seorang seniman kawakan dari pulau Bali. Dia melihat hubungan antara manusia dengan alam adalah sebagai sebuah hubungan yang krusial, harus saling jaga antar keduanya agar hidup bisa seimbang.
Selain tertarik dengan seni rupa, Jonas juga merupakan jebolan ilmu antropologi. Kedua hal tersebut, antropologi dan seni rupa, membuat karya Jonas mempunyai ciri khas yang mendalam.

Dirinya pun tak sungkan untuk melakukan riset yang panjang demi menciptakan karya yang maksimal. Selain itu, Jonas pun rela untuk berkelana ke berbagai sisi daerah untuk menggelar pamerannya, mengangkat isu-isu yang dinilai dekat dengan masyarakat sekitar.

Dalam perjalanannya dari Yogyakarta menuju Bandung, selagi duduk di dalam gerbong kereta Jonas pun meladeni sesi tanya jawab dengan Siasat Partikelir. Sekedar catatan, menurutnya, ada dua pameran paling mengesankan yang pernah ia gelar, yaitu:

(2015)
‘Human Is Alien’
Jakarta Biennale 2015, Jakarta

(2017)
‘Leviathan Lamalera 2017’
Inovatif Art Grant
Desa Lamalera, Flores, NTT

Kamu adalah seorang seniman yang juga memiliki dasar ilmu Antropologi yang kuat, bagaimana antropologi dan senirupa saling mengisi pada karya yang diciptakan?

Tentu ada hubungannya untuk kedua hal tersebut. Research untuk membuat karya berdasarkan teori arkeologi dan antropologi, di antropologi juga ada visual antropologi, di arkeologi sekarang juga ada multimedia arkeologi.

Untuk karyanya sendiri, kamu cukup rajin mencoba membuat di banyak medium ya?

Lumayan. Seperti teater, instalasi dan new media.

Kenapa memilih eksplroasi di ketiga medium tersebut? Dan bagaimana kesulitannya masing-masing?

Karena teater butuh kerjasama team atau sosial, instalasi atau arsitektural yang fungsional, dan new media itu tentang teknologi. Hampir semua project ini independen, maka harus mempunyai konsep dan gagasan yang kuat untuk mengajak individu lain dari disiplin ilmu yang berbeda untuk bergabung.

Lalu kemudian, kebanyakan karya yang Anda buat berhubungan dengan manusia prasejarah. Apa dasarnya memilih hal itu?

Lebih tepatnya, karya saya itu merekonstruksi kehidupan prasejarah. Melalui teater multimedia baru, untuk mengingatkan manusia supaya tidak mengeksploitasi alam.

Isu eksploitasi alam lumayan santer di Bali beberapa tahun belakangan ini, apalagi setelah wacana reklamasi Teluk Benoa semakin kencang, banyak masyarakat pun turut bergerak menolaknya. Apa kamu salah satu yang concern dengan hal ini ? Sudah menciptakan karya untuk merespon gerakan ini?

Saya tidak membuat karya untuk gerakan BTR. Tapi saya selalu ikut kalau ada acara seni BTR, biasanya mengurus bagian multimedia seperti video mapping.

Seberapa dekat sih isu eksploitasi alam dengan kehidupan kamu?

Di pameran Human Is Alien sangat global, karena manusia harus perlu tekhnologi yang ternyata kebanyakan merusak alam. Kenapa manusia memproduksi sampah, sedangkan makhluk lain tidak? Kemudian di Leviathan Lamalera, agak kontradiktif kali ini, saya merekonstruksi kehidupan masyarakat Lamalera yang budayanya masih prasejarah. Mereka menangkap paus sperma yang dilindungi secara tradisional, tapi mereka sudah lebih dari 600 tahun melakukan hal itu. Tujuan karya Leviathan Lamalera lebih ke arsip budaya, dan menoleh ternyata masih ada eksploitasi paus yang lebih besar dengan tekhnologi bila dibandingkan dengan di Lamalera, seperti kapal Nissin Maru di Jepang.

Apa itu juga yang menjadi alasan mengangkat tema manusia prasejarah? Karena mereka dinilai dekat dengan alam?

Rekonstruksi artinya membangun kembali. Orang di zaman prasejarah sangat dekat dengan alam, mereka harus adaptasi dan mengetahui sifat alamnya, kadang malah lebih canggih. Misalkan orang suku Inca punya tekhnologi yang sangat dekat dengan alam. Sistem irigasi, arsitektur dan lainnya. Di Indonesia pun begitu, siapa tahu memang di Gunung Padang dulu ada peradaban tinggi.

Cukup erat ya dasar antropologi yang dimiliki dan kemudian diterapkan kedalam karya?

Memperkaya visual antropologi saja sih. Selama ini kan masih banyak disajikan dalam bentuk video dan foto.

Apa kamu sejak kecil sudah sering bersinggungan dengan dunia seni rupa ?

Dari kecil sudah biasa dengan seni. Ketika sudah besar, mencari yang tidak biasa. Bapak saya dulu dosen seni rupa yang fokus ke modern art, dari kecil saya hidup di rumah dinas di lingkungan kampus, jadi sering lihat murid-murid bapak melakukan kegiatan seni. Ketika saya SMA bapak meninggal dunia, warisannya hanya lukisan dan buku-buku tentang seni, kebanyakan modern art. Kemudian kuliah ilmu antropologi di fakultas sastra, saya banyak bergaul dengan budayawan dan sastrawan tentunya. Sewaktu saya kuliah itu sedang hangat-hangatnya tentang teori post-modern. Meskipun di tempat lain sudah lama, tapi saya salah satu yang tertarik dengan teori post-modern waktu itu. Semua itu yang kemudian mendasari konsep saya berkarya.

Apa saat ini sedang ada project yang sedang dijalankan? Berkolaborasi dengan seniman lain misalnya?

Iya. Sedang ada project membuat pameran instalasi dengan 7 seniman dan kelompok lain. Dan ingin melanjutkan pertunjukan Leviathan Lamalera di pesisir Indonesia, bulan Agustus di pulau Selayar, untuk wacana budaya maritim Asia Tenggara.

*) Jonas Sestrakresna adalah salah satu finalis Siasat Trafficking – Europe Calling untuk bidang visual.

teks dan wawancara: Yulio Abdul Syafik
foto: Dokumentasi Jonas Sestrakresna

Menyajikan Lebih Dari Musik!

Familiaxshow telah sampai pada seri ke-7 yang akan digelar pada 18 September 2022. Gig 3 bulanan sekali ini pertama kali digulir 6 Maret 2020 dengan fokus memberikan ruang bagi lineup...

Keep Reading

Geliat Kreatif Dari Sulawesi Tengah Dalam Festival Titik Temu

Terombang-ambing dalam kebimbangan akan keadaan telah kita lalui bersama di 2 tahun kemarin, akibat adanya pandemi yang menerpa seluruh dunia. Hampir semua bentuk yang beririsan dengan industri kreatif merasakan dampak...

Keep Reading

Memaknai Kemerdekaan Lewat "Pasar Gelar" Besutan Keramiku

Di pertengahan bulan Agustus ini, ruang alternatif Keramiku yang mengusung konsep coffee & gallery menggelar acara bertajuk “Pasar Gelar” di Cicalengka. Gelaran mini ini juga merupakan kontribusi dari Keramiku untuk...

Keep Reading

Semarak Festival Alur Bunyi Besutan Goethe-Institut Indonesien

Tahun ini, Goethe-Institut Indonesien genap berusia 60 tahun dan program musik Alur Bunyi telah memasuki tahun ke-6. Untuk merayakan momentum ini, konsep Alur Bunyi tetap diusung, namun dalam format yang...

Keep Reading