Ihwal Bob Dylan dan Iwan Fals, Sudah Tidak Lagi Kritis?

Sosok dan karya adalah satu entitas yang mungkin tak bisa dipisahkan. Banyak dari kita selalu mengaitkan sang kreator dengan karya yang pernah ia ciptakan. Dalam situasi-situasi tertentu hal-hal seperti ini kerap terjadi, misal baru-baru ini Iwan Fals yang mendapat kritikan ihwal cuitannya di Twitter tentang para pendemo Omnibus Law. Ia mengaitkan aksi penolakan yang terjadi dengan situasi pandemi dan metode demo yang kiranya lebih efektif. 

“Demo omnibuslaw lawannya keputusan sah, tentara dan polisi, yang paling serem ya pandemi…ati2 ah…” Cuit Iwan pada Selasa (06/10). Kemudian dilanjutkan dengan cuitan berikutnya yang semakin membuat gaduh jagat akun twitternya. “…waduh saya belum baca UU itu, 1000 halaman lebih katanya, tapi menurut saya klo kecewa dgn Omnibuslaw gugat aja ke MK, klo demo kayak gini serem pandeminya itu lo…” tulis Iwan.

Kebanyakan netizen yang merespon cuitannya tersebut menyayangkan atas hilangnya sikap kritis Iwan Fals yang tak lagi sejalan dengan lagu-lagunya di zaman dulu yang syarat akan protes. Pertanyaan besar pun mencuat, sebetulnya seberapa besar keharusan seorang musisi untuk bertanggung jawab dengan musiknya? Jika merunut pada gagasan Roland Barthes ihwal karya, ia pernah menyebutkan bahwa sang pengarang sebetulnya sudah mati ketika karyanya sudah lahir ke hadapan publik. Namun akhirnya tidak semudah itu mengambil kesimpulan –terlebih di jaman serba digital seperti sekarang, justru ketika suatu karya sudah lahir ke hadapan publik ada tuntutan lebih kepada si pengkarya ihwal apa yang ia ciptakan.    

(Roland Barthes)

Mari kembali kepada karya-karya awal Iwan Fals dan Bob Dylan yang tersohor sebagai lagu-lagu protes dan digadang-gadang sebagai tanda lahirnya sikap kritis di kalangan sipil. Mendengarkan lagi lagu-lagu Iwan Fals di album awalnya (Canda Dalam Nada) saya selalu membandingkannya dengan Bob Dylan. Entah kenapa, selain dari lirik yang diangkat dalam lagu mereka begitu dekat dengan persoalan kehidupan kita sampai hari ini, mereka pun sama-sama piawai memetik gitar dan meniup harmonika, dengan suaranya yang khas mereka pun seperti meletakan standar dan pemahaman baru jika bernyanyi tidak harus merdu-merdu amat dan dibebani dengan seberapa mirip penampilan juga suara si penyanyi dengan Frank Sinatra atau musisi mainstream lainnya pada saat album pertama mereka keluar. 

Jika dibandingkan, mereka sebetulnya tidak hanya bernyanyi, tetapi mereka membangun percakapan yang hangat dengan orang yang mendengarkan, seakan kita tidak berjarak dengan apa yang mereka sampaikan melalui lagu-lagunya. Meskipun hanya mendengarkan streaming di internet, karena akhirnya nyaris mustahil hari ini Iwan Fals ataupun Bob Dylan menyanyikan lagi lagu-lagu yang telah dibuatnya di album-album awal mereka, selain dari lagu hitsnya semacam ‘A Hard Rain’s A-Gonna Fall’ ataupun ‘Dongeng Tidur’. Tetapi lagu-lagu mereka yang lain masih sangat relevan untuk didengarkan lagi hari ini, di tengah kondisi yang barangkali tak berubah dan tidak baik-baik saja. 

Bob Dylan adalah musisi gaek yang sudah malang  melintang di industri musik Internasional –tentu sebelum Iwan Fals muncul. Di tahun 1960-an Bob Dylan menawarkan revolusi  baru dalam bentuk musik. Musik dijadikannya sebagai medium protes. Seperti misal dalam lagu ‘Master of War’, dimana Dylan secara gemilang mengutuk perang: “Come you masters of war. You that build the big guns. You that build the death planes. You that build all the bombs. You that hide behind walls. You that hide behind desks. I just want you to know. I can see through your masks”. atau dalam lagu ‘Talkin World War III Blues’, yang mencurahan kegelisahannya dengan perang dunia III yang mungkin bisa terjadi kapan saja. Bob Dylan selalu punya cara memikat orang-orang disekelilingya untuk mendekat dan mendengarkan apa yang dinyanyikannya. 

Meskipun pada beberapa kesempatan ia kerap menolak dilabeli sebagai musisi tukang protes, bahkan dalam buku karya Dorian Lynskey berjudul ‘33 Revolution Per Minute: A History of Protest Song’ Bob Dylan berkata: “I hate protest songs, but some songs do make themselves clear”. Namun pada kenyataannya oleh masyarakat Amerika, lagu ‘Blowin in the wind’ (1962) dan The Times They Are a-Changin’ (1964) dianggap sebagai hymne untuk menyuarakan hak-hak sipil dan gerakan perdamaian menolak perang. Lagu-lagunya yang begitu monumetal dan fenomenal akhirnya mengantarkan Bob Dylan mendapat anugerah penghargaan Nobel Sastra tahun 2016. Hal ini tentu memantik polemik di berbagai kalangan, entah itu musisi ataupun sastrawan. Pasalnya Bob Dylan adalah orang kedua selain sastrawan -setelah Winston Churcil- yang mendapat hadiah Nobel.

Sedangkan Iwan Fals pada penghujung tahun 1970-an, di sektor lokalnya (Indonesia) mampu membangunkan keberanian para musisi dan berhasil membangun musik sebagai medium opini publik.  Seperti di pada lagu ‘Pemborong Jalan’ pada album Perjalanan, di lagu itu Iwan Fals seperti sedang merespon wacana pembangunan a-la Orde Baru. Dimana persoalan antara si bos pemborong, buruh pekerja dan lalainya pemerintah dengan kualitas materi yang dibangun menjadi fokus utama dalam lagu ini. “Baru kemarin selesai diaspal, terkena hujan kok jerawatan.. oh kasian bayar pajak mahal banyak jalan seperti comberan… Pemborong berpengalaman tertawa, berteman pipa topi baja. Bercanda dengan istri paling muda, tak ingat jalan dan pekerja. Oh kasian pekerja jalan. Tenaga hilang, gaji tidak berimbang”.  

Untuk hal yang lebih personal kita bisa mendengarkan lagi lagu ‘Generasi Frustasi’, tak sungkan ia mengutarakan diksi-diksi dalam lirik yang mungkin kebanyakan orang saat  itu  menganggapnya tabu: “…. Hey mister Gelek, Lo tega kok mata gua ga bisa melek. Hey mister Gelek, duit gope gue kira cepe”, Lirik penutup dalam lagu ‘Generasi Frustasi’ itu begitu kuat kaitannya dengan konteks yang diangkat. Dimana persoalan keluarga yang berantakan menjadi hal utama yang dihadirkan, tentang si anak yang menjadi korban kebinalan orang tua, akhirnya barang haram menjadi pelampiasan atas kemuakannya. Dengan gaya humor yang khas, seolah-olah lagu itu direkam dengan dikelilinngi penonton, dimana suara orang tertawa dan tepuk tangan turut memperkuat atmosfir musiknya.

Selaras dengan Bob Dylan, Iwan Fals pun begitu membenci perang. Jika Bob Dylan dalam lagu ‘Master of War’ mengutuk keras perang dengan gaya optimis bahwa perang adalah sebuah kebiadaban, Iwan Fals pun sama marah dan menganggap bahwa perang adalah sebuah kesia-siaan. Kita bisa mendengarnya dalam lagu ‘Puing II’ album ‘Anti Perang’ (2001): “Dengan nafsu yang makin menggila, Nuklir pun tercipta (nuklir bagai dewa). Tampaknya sang jendral bangga. Di mimbar dia berkata, Untuk Perdamaian (Bohong), Demi Perdamaian (Bohong), Guna Perdamaian (Bohong), Dalih Perdamaian (Bohong)” 

Senasib dengan ‘Blowin in The Wind’, lagu ‘Bongkar’ pun seperti lagu wajib para demonstran untuk turun aksi ke jalan ketika senjakala pemerintahan Soeharto. Meskipun akhirnya hari ini lagu itu terdistorsi ke dalam kopi kemasan, tapi tak mengapa selama semangatnya masih terwariskan. Dan tak bisa ditampik pula bahwa sosok Iwan Fals seakan menjadi dewa bagi banyak kelas pekerja menengah ke bawah. Dengan lirik-lirik lagunya yang kritis dan mudah dipahami membuat ia diperlakukan selayaknya pahlawan pada puncak masa kreativitasnya dulu.

Iwan Fals begitu  mengagumi Bob Dylan, seperti halnya kebanyakan musisi folk lain. Dalam wawancaranya kepada media Semarang Pos 2016 silam, Iwan mengatakan: “Bob Dylan itu musisi yang usianya lebih tua 20 tahun dari saya. Bob Dylan menginspirasi saya dalam memainkan harmonika. Awal mula saya belajar harmonika ya gara-gara mendengarkan dia (Bob Dylan).” Kendati demikian Iwan Fals bukan tipe musisi yang selalu berada dalam bayang-bayang idolanya. 

Dalam tulisan ini saya menghubungkan Bob Dylan dan Iwan Fals dengan cara sedikit memaksa. Karena memang keduanya berada di negara dengan kondisi sosial dan budayanya yang jelas berbeda. Namun  akhirnya jika kita mendengarkan lagi lagu-lagu Iwan  Fals ataupun Bob Dylan di album-album awalnya, kita akan segera ngeuh jika mereka memiliki  kesamaan, selain dari memainkan gitar dan harmonika disetiap penampilannya, mereka pun memiliki cara yang sama untuk menyampaikan apa yang menjadi kegelisahan generasi yang mereka wakili. Mengemas narasi protes dengan cara melankolis ataupun humor satir di setiap lagu yang mereka ciptakan. 

Senada dengan apa yang telah diuraikan Saini K.M dalam buku Protes Sosial: “Dalam menyalurkan kreativitasnya, seorang sastrawan (secara khusus) atau seniman (secara umum) hanya memiliki dua jalur saja, yaitu perayaan dan protes. Jika suatu karya merupakan hasil perayaan, maka pembaca (atau pendengar) akan menemukan ungkapan-ungkapan kegembiraan, sanjungan, dan persetujuan terhadap kenyataan yang direfleksikan dalam karya tersebut. Jika suatu karya merupakan hasil protes, maka pembaca (atau pendengar) akan diajak untuk prihatin, menolak, dan tidak setuju pada kenyataan yang direfleksikan.” Iwan Fals ataupun Bob Dylan secara paripurna telah berhasil menularkan daya kreativitasnya dalam hal perayaan sekaligus protes. Banyak musisi yang akhirnya terinspirasi dengan cara mereka menyalurkan opini melalui musik.  

Dalam buku Chronicles, Bob Dylan pernah berkata bahwa: “Lagu-lagu folk adalah cara melintasi semesta. Lagu-lagu itu serupa gambar-gambar, dan gambar-gambar jauh lebih berharga daripada apa yang bisa disampaikan”. Agaknya memang begitulah musik folk lahir, dimana musik semacam ini selalu berbicara dengan gaya sederhana seputar  persoalan yang tidak jauh dari kehidupan nyata masyarakat luas. Folk diawal kelahirannya seakan merefleksikan kembali kondisi hidup yang sedang tidak baik-baik saja. Meskipun terlepas dari hari ini musik folk kadung dipahami sebagai musik yang nyaris sama dengan musik Pop lainnya, namun pada perkembangannya tak bisa dipungkiri bahwa musik jenis ini adalah musik yang kerap beririsan dengan gerakan-gerakan politik. dan tentu orang lain lah yang memaknai musik ini sebagai musik perlawanan. Seperti halnya yang dikatakan Taufiq Rahman dalam buku Lokasi Tidak Ditemukan:  

“Musik tidak hadir di ruang kosong. Musik secara intrinsik tidak ada yang baik dan buruk, hanya subjek yang bisa memberi makna. Musik, sebagaimana produk budaya yang lain, menjadi cermin dari masyarakat yang melingkupinya. Dan musik bisa menjadi alat protes sosial atau agen perubahan hanya ketika subjek pendengar memberinya makna dan menginginkannya menjadi musik protes sosial.”

Ihwal musisi yang sudah tak lagi kritis dan sudah tak lagi sejalan dengan lagu-lagu protesnya yang pernah diciptakan, kita kembali kan saja kepada si musisinya itu sendiri. Selebihnya kita maknai secara mandiri karya-karya mereka. 

Teks: Dicki Lukmana
Visual: Arsip dari Berbagai Sumber

Warna Dan Formasi Baru Hailwave Dari Kancah Musik Aceh

Unit pop-punk dari Aceh, Hailwave, menawarkan warna, karakter, serta formasi barunya dengan single yang diberi tajuk “Out Of Reach”. Lagu yang menggambarkan percintaan remaja, menceritakan tentang seseorang yang berusaha menemukan...

Keep Reading

GAC Kembali Dengan Semangat Baru

Terhitung nyaris empat tahun grup vokal yang diinisiasi oleh Gamaliél, Audrey, dan Cantika ini mengumumkan vakum dari industri musik Indonesia untuk rehat dan mengeksplorasi diri, serta merilis proyek solo mereka...

Keep Reading

Semarak Festival & Konferensi Evoria 2023!

Kabar gembira! Memeriahkan Hari Musik Nasional yang akan jatuh pada 9 Maret mendatang, Diplomat Evo berkolaborasi dengan M Bloc Entertainment dan Alive Indonesia akan menyelenggarakan Evoria Festival & Conference 2023....

Keep Reading

SKJ'94 Kembali Menghentak Lantai Dansa

Penamaan genre musik rasanya sudah menjadi hal umum sekarang ini. Sama seperti grup musik yang pernah mewarnai hiruk pikuk industri musik Indonesia era 2000 awal yang mengkategorikan musiknya sendiri ke...

Keep Reading