- Music
- OpiniKini
Hologram Telah Mati: Nasib Konser Musik Setelah Salah Prediksi
Beberapa tahun silam kita tentu tak pernah membayangkan bagaimana jadinya dunia tanpa gigs dan festival musik konvensional selama satu tahun penuh. Ajaibnya, hidup ternyata berjalan baik-baik saja, masih penuh dengan keluhan yang sama di hari senin yang sama-sama kita cinta. Di masa itu pula banyak pernyataan-pernyataan mengenai masa depan konser musik, yang mana hampir disepakati bahwa hologram adalah arah terbaik yang bisa diambil.
Setidaknya itulah prediksi terbaik saat itu.
Diinisiasi oleh konser Hatsune Miku di tahun 2010, hologram jadi sesuatu yang prestisius karena dapat menghidupkan yang mati, hebat bukan? Bagi kamu yang mungkin belum tahu, Hatsune Miku adalah sebuah opsi suara dari basis data perangkat lunak Vocaloid yang dikembangkan menjadi karakter animasi oleh Crypton Future Media, singkatnya, sebuah program. Hal ini menjadi sebuah terobosan yang sangat menarik karena hologram memungkinkan kita untuk memboyong objek dalam dunia digital ke dunia nyata dengan proyeksinya. Pada saat itu konser hologram belum terlalu dikenali karena Hatsune Miku memiliki segmen yang bisa dibilang niche, menarik untuk ceruk segmen tertentu yaitu penikmat budaya Jepang yang secara umum disebut weeb atau wibu.
Di tahun 2012, sebuah fenomena monumental terjadi di atas Empire Polo Field pada acara Coachella saat sesi Dr. Dre dan Snoop Dog, seorang Tupac Shakur yang pada saat itu telah dinyatakan meninggal dunia selama lebih dari lima belas tahun muncul di panggung tersebut.
Mencengangkan? Iya. Menyeramkan? Tidak.
Teknologi hologram, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Setelahnya, nama-nama besar di dunia hiburan seperti Michael Jackson, Girls Generation, PSY, Frank Zappa, Ronnie James Dio, dan Whitney Houston ikut meramaikan dunia konser hologram. Di tahun 2020 juga, ABBA telah merencanakan untuk melakukan reuni untuk produksi konser hologram mereka di tahun 2022.
Pertanyaannya adalah, apakah konser hologram adalah bentuk konser paling mutakhir?
Mungkin iya, tak ada yang tahu pasti. Namun, ternyata teknologi dan dunia berjalan ke arah yang lain. Dari sisi teknologi, hologram memerlukan peralatan yang luar biasa mahal dan sulit dicari, hanya studio besar dan ternama yang mampu menghadirkan hologram sebagai sebuah pertunjukan. Dengan kata lain, pengembangan teknologi ini jauh dari kata ergonomis.
Sebaliknya, ketika kita memindahkan objek dunia nyata ke dalam dunia digital melalui virtual reality, augmented reality, atau mixed reality, biaya yang dihabiskan lebih efektif. Seperti konsep Industry 4.0 atau Society 5.0 yang memiliki Sustainability Development Goals (SDG) untuk membuat perkembangan segala aspek agar terpusat pada integrasi teknologi dan manfaatnya bagi manusia melaui prefiks smart yang disematkan pada macam-macam kata seperti smartphone, smarthome, smartcar, smartcity dll, semuanya memindahkan konsep dunia nyata ke dalam dunia digital. Selain itu, teknologi ini mengalami pengembangan yang sangat pesat karena didukung oleh kemajuan konsol game.
Faktor kedua yaitu dari sisi dunia, pandemi tiba dan saya rasa kita tidak perlu membahasnya lebih dalam.
Promotor konser kalang kabut, musisi ketar-ketir, buruh panggung sulit makan, ruang-ruang alternatif bangkrut, penggalangan dana di mana-mana, kolektif tidak bergerak, mungkin ini gambaran kiamat skena. Kalimat tersebut mungkin cukup merangkum peristiwa yang terjadi.
Meskipun begitu, kreativitas tidak mampu dibendung oleh apapun, dan justru seperti sebuah kutipan tentang isu terkait, keterbatasan adalah induk dari segala penemuan.
Lalu munculah konser online dari persembunyiannya. Konser online kini sudah dapat ditemukan di berbagai platform. Semua berlomba memberikan pengalaman konser yang berbeda. Menurut saya ada beberapa konser online dengan inovasi teknologinya yang harus kalian jajal seperti:
In-Game Concert
Ada beberapa konser in-game yang kini menjadi tren seperti Music Locker, sebuah underground nightclub digital di kota Los Santos dalam game GTA V Online yang dirilis Rockstar Games. Line up terakhir dari club ini adalah Moodyman, Palms Trax, dan Keinemusik. Selanjutnya, ada konser dalam game Minecraft dari Microsoft untuk berbagai nama besar di dunia seperti 100 Gecs. Terakhir, ada konser Travis Scott melalui game Fortnite yang menyentuk angka 28 juta penonton.
Augmented Reality
Kita tentunya familiar dengan game Pokemon Go di mana kita berburu Pokemon dengan memanfaatkan kamera dan lokasi ponsel. Itulah kiranya konsep Augmented Reality (AR). Seperti namanya, AR menyisipkan fragmen objek digital untuk diaugmentasi melalui kamera ponsel yang ‘menangkap’ realita. Salah satu konser AR ternyata sempat dilakukan di bulan Agustus silam oleh The Changcuters yang diinisiasi oleh Modular, sebuah platform buatan anak bangsa yang ditengarai akan menjadi platform konser AR. Sayangnya, saya tidak menemukan banyak informasi mengenai Modular kini.
Virtual Reality
Sama seperti konsep sebelumnya, Virtual Reality (VR) diadopsi dari konsol game terutama Multiplayer Online Battle Arena (MOBA) dan Role-Playing Game (RPG). Salah satu platform yang bisa ditemukan di Indonesia adalah Klub Kidul yang kini mulai menggalang popularitasnya.
Dari konsep-konsep konser modern yang ditawarkan kini, kata kunci yang dapat digarisbawahi adalah game. Game dapat dikatakan sebagai puncak penemuan teknologi audio-visual. Mengapa demikian? Tentunya karena hanya pada game-lah kita memasrahkan diri dan larut tanpa bisa multitasking.
Coba saja, kamu pasti tidak bisa membaca tulisan ini, mengobrol, atau bahkan menyetir kendaraanmu sembari memainkan Mobile Legend.
Hal ini membuktikan bahwa game akan menyita fokus kita hingga tenggelam di dalamnya, beda halnya dengan lagu atau bentuk audio lain yang mampu menyertai kita dalam beraktivitas. Konsep tenggelam atau immersion inilah yang pada akhirnya mampu dimanfaatkan untuk sebuah pengalaman pertunjukan yang segar dan lain daripada yang lain.
Dalam kolom #OpiniKini kali ini, tidak ada yang perlu diambil pusing. Anggap saja semuanya hanya sebatas obrolan bapak-bapak di warkop yang sedang membicarakan politik negara, tidak ada pengaruhnya. Hanya saja, menurut saya, kita perlu mundur beberapa langkah ketika membicarakan tentang betapa sebuah teknologi mampu memengaruhi dinamika bentuk konser yang ada. Karena ternyata, bukan teknologi hologram, VR, atau AR-lah bentuk konser yang paling mutakhir tetapi konser konvensional di mana terjadi pertemuan organik yang jadi favorit semua orang.
Kemudian, bukan artis yang bisa hidup kembali atau hidup abadilah yang ditunggu-tunggu melainkan keseruan menemukan lagu-lagu baru dari emerging artists sebagai bentuk regenerasi yang sehat dari industri musik.
Teks: Riki Rinaldi
Visual: Darwin A C
Sisi Organik Scaller Dalam "Noises & Clarity"

Kabar baik datang dari Scaller yang baru saja merilis live session (8/7/23) yang kemudian diberi tajuk “Noises & Clarity”. Dalam video ini, grup musik asal Jakarta tersebut tampil membawakan 5...
Keep ReadingSingle Ketiga Eleanor Whisper Menggunakan Bahasa Prancis

Grup Eleanor Whisper asal kota Medan yang telah hijrah ke Jakarta sejak 2019 ini resmi merilis single ke-3 yang diberi tajuk “Pour Moi”. Trio Ferri (Vocal/ Guitar), Dennisa (Vocals) &...
Keep ReadingSajian Spektakuler KIG Live!

Umumkan kehadirannya sebagai pemain baru pada industri konser musik Indonesia, KIG LIVE yang merupakan bagian dari One Hundred Percent (OHP) Group menggelar acara peluncuran resmi yang juga menampilkan diskusi menarik...
Keep ReadingCrushing Grief Gandeng Dochi Sadega Dalam Single Terbaru

Unit pop-punk dari Manado, Crushing Grief, menggandeng Dochi Sadega dari Pee Wee Gaskins, dalam single terbaru mereka yang diberi tajuk “Hard Rain“. Single ini merupakan salah satu lagu yang diambil dari EP...
Keep Reading