Aldi Yamin: Gambaran 1 Dekade Musik di Samarinda

Jika mendengar kata “Musisi Samarinda”, mungkin nama pertama yang muncul di benak kalian adalah Davy Jones, Irine Sugiarto, Murphy Radio, atau Duo ekperimental Noise, Sarana. Tidak salah, mereka memang unit-unit yang namanya cukup sering dijadikan perbincangan ketika menyebut kata “Samarinda”.

Namun sebenarnya, Samarinda memiliki sederet nama yang telah ada jauh sebelum nama-nama di atas hadir. Bukan mainnya, mereka yang berkontribusi besar dalam membentuk atmosfir kancah musik di Samarinda jauh sebelum musik mandiri menjadi sebuah kultur seperti sekarang. Nama-nama tersebut akan terbagi dalam tiga fase yaitu, fase awal di 2010 hingga 2013, kemudian fase kedua atau bisa dibilang fase “istirahat” di tahun 2014, dan fase regenerasi di tahun 2015-2016. 

Fase awal (2009-2013)

Di kurun waktu inilah awal mula kemunculan berbagai jenis gigs kolektif dari beragam latar belakang jenis musik. Mulai dari “Plastictoys” untuk pecinta hardcore punk, “Samarinda Elekrtrik City” untuk pelaku musik elektronik, dan Hiruk Pikuk dengan “Here Comes The Pop” yang menjelma sebagai rumah bagi pecinta musik indie pop dan musik alternative. Apapun itu, kesemuanya hadir sebagai obat untuk penyakit yang sama yaitu “wadah”.

“Wadah untuk kami berekspresi tanpa rules yang membosankan” ujar Theo Nugraha salah satu inisiator Samarinda Electrik City atau yang biasa dikenal lewat perjalanan eksperimental noise-nya.

Ya, memang saat itu wadah serta acuan untuk musisi di Samarinda adalah Festival band, di mana poin paling penting adalah skill dan piala lewat lagu yang dihadirkan dengan durasi tertentu. Jadi akan sangat tidak mungkin untuk membawakan karya atau referensi pribadi dengan waktu lebih dari lima belas menit. Dalam fase ini juga, “berjejaring adalah kunci”. Tidak sama dengan berjejaring yang diakomodir kemajuan teknologi seperti sekarang ini. Pada saat itu, para penggiat benar-benar melakukannya secara offline.

“Kalau kamu gak nongkrong, kamu gak akan tahu ada acara apa, kapan, dan dimana.” Ungkap theo. Termasuk cara mereka mendapatkan informasi yang masih bergantung pada zine, bukan web, bukan pula Instagram. Pokoknya di masa ini “Militansi adalah kunci”.

Selain sebagai wadah bagi band lokal seperti The Crackers, Pencil, Dear Lucy, Lolayesterday, Kaos Kutang, Buddy Zeus, Cuaca Mendung dan Not For Sale, gigs di fase ini juga menjadi media untuk memperkenalkan band-band luar pulau Kalimantan seperti Efek Rumah Kaca lewat pergelaran Hiruk Pikuk di Tahun 2012, atau band-band seperti Crux dari Australia dan Cluster Bomb Unit dari Jerman yang masuk lewat salah satu pegiat kolektif Samarinda bernama Haram Jaddah.

Sumber: Facebook (Happy Muslim Brilianto)

Fase “Istirahat” (2014)

Perkembangan kancah musik di samarinda bukan tanpa masalah. Kurangnya orang yang respect terhadap band lokal mampu  menjadi virus mematikan bagi para pelaku dan penggerak saat itu, “ngeband atau kerja?”. Yah memang butuh terapi panjang untuk sampai ke “telinga” masyarakat Samarinda agar bisa menerima dan menghargai karya musisi lokal lebih jauh. Akibatnya banyak band yang memilih untuk bubar, break, atau berhenti total di tahun ini, tidak terkecuali gigs kolektif.

Fase “Regenerasi” (2015-2017)

Seperti tombol restart, di tahun 2015 kancah musik mandiri mulai aktif kembali. Di tahun ini, justru muncul band-band baru seperti Wajah Abstrak, Yukiland, Octofuzz, Murphy Radio, dan Davy Jones. Selain itu, pertanda lainnya adalah dengan digelarnya Records Store Day untuk pertama kalinya di Samarinda, yang digagas oleh Happy dan Alfian.  Dalam gelaran perdana Record Store Day kala itu tercatat 24 Band ikut berpartisipasi, termasuk band tamu dari Yogyakarta, Rabu. RSD East Borneo 2015 menjadi event pertama yang mengumpulkan banyak band lintas kota dan juga mampu mengedukasi band-band lokal untuk merilis karya mereka sendiri ke dalam format fisik.

“Industri musik itu kick starter-nya ya musisi atau band itu sendiri, kalau mereka aja gak produktif gimana bisa berkembang dan punya nilai jual.” Ungkap Happy.

Record Store Day di Samarinda sendiri sudah mencapai tiga kali gelaran, pertama di 2015, 2016 dan 2018. Hal yang menarik dari perhelatan ini adalah band yang perform itu dikurasi langsung oleh Happy.

“Sistem kurasinya gak ribet sih, dalam kurun waktu setahun terakhir ketika RSD itu digarap si musisi atau band harus aktif dan paling gak rilis satu lagu lah. Waktu 2016 pernah ada band lama yang udah lama gak ada kabarnya tiba-tiba minta main. Sempet adu argumen lewat sosial media, karena mereka ngerasa udah dijanjikan bisa main sama pihak sponsor acara waktu itu. Tapi tetep kami tolak dan akhirnya dikatain event “taik” dan gak “support local band” hahaha seru,” terang Happy.

Sumber: Instagram (Record Store Day Samarinda)
Sumber: Instagram (Record Store Day Samarinda)

Munculnya band-band baru juga berbanding lurus dengan kemunculan pegiat kolektif. Ditahun ini (2015) masyarakat Samarinda kembali mendapatkan edukasi lewat kolektif pendatang baru seperti SAMDAYS, Halaman Rumah, dan Magic Mahakam yang kemudian disusul oleh Mahakam Project dan Katalistiwa di tahun berikutnya. Walaupun cukup mirip dengan fase pertama, namun pada fase ini para penggiat tidak lagi hanya memikirkan “wadah” tetapi juga bagaimana industri musik di Samarinda bisa hidup. Alhasil dalam gigs atau event kolektif yang dihadirkan selalu terselip sebuah workshop atau sharing session yang bertujuan untuk membantu band lokal dalam merumuskan langkah berikutnya. 

Selain soal edukasi, perbedaan yang cukup signifikan dari para penggiat di fase ini adalah venue. Jika pada tahun 2010 para pegiat kolektif kerap mengadakan event di sebuah kafe, di fase regenerasi ini, mulai bermunculan venue baru yang lebih compatible seperti Jenggala, Blackbird, dan You Kaltim. Lebih compatible karena ketiganya memiliki visi yang sama, bahkan orang yang sama dengan para pegiat musik saat ini. Salah satu contohnya adalah Jenggala yang bekerjasama dengan SAMDAYS untuk mengadakan Borneo Pride, sebuah festival yang bertujuan untuk mengakomodir pertemuan para pelaku industri kreatif di kota-kota Kalimantan Timur seperti Banjar, Balikpapan, Tenggarong, Samarinda, Sangata, dan Bontang.

Sumber: Instagram (Samday Movement)
Sumber: Instagram (Samday Movement)

Setelah memasuki ketiga fase diatas, dalam dua tahun terakhir (2018-2019) Samarinda mulai memasuki fase Industri di mana para pelaku musik tidak hanya memikirkan produksi, tetapi juga distribusi, packaging, dan segala macam agenda promosi yang pada akhirnya ikut mendorong pelaku industri lain sepert fotografer, videografer, dan seniman visual. Pada fase ini band lokal tidak hanya memikirkan bagaimana bisa tampil, tetapi juga tanggal pasti untuk launching album yang kemudian dilanjutkan dengan tour. Bisa dibilang pada saat ini band Samarinda jauh lebih serius dalam mencetak sebuah blueprint.

Namun tentu saja, sebuah langkah tidaklah tanpa masalah. Setelah mengenal industri, sponsorship, dan pop culture, mulailah bermunculan event-event atau band yang agendanya patut dipertanyakan. Ya, berdagang memang tidak salah, tapi ketika semua ditakar dengan uang, bukan hal yang sulit untuk meramalkan musik Samarinda jadi begitu membosankan dalam beberapa tahun mendatang.

Teks: Aldi Yamin
Visual: Arsip dari Berbagai Sumber

SKJ'94 Kembali Menghentak Lantai Dansa

Penamaan genre musik rasanya sudah menjadi hal umum sekarang ini. Sama seperti grup musik yang pernah mewarnai hiruk pikuk industri musik Indonesia era 2000 awal yang mengkategorikan musiknya sendiri ke...

Keep Reading

Interpretasi Pendewasaan Bagi Prince Of Mercy

Terbentuk sejak 2011 silam di kota Palu, Prince Of Mercy lahir dengan membawa warna Pop Punk. Digawangi oleh Agri Sentanu (Bass), Abdul Kadir (Drum), Taufik Wahyudi (Gitar), dan Sadam Lilulembah...

Keep Reading

Kembali Dengan Single Experimental Setelah Setahun Beristirahat

Setelah dilanda pandemi covid-19, tahun 2023 sudah semestinya menjadi momentum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berpesta dan bersuka ria. Di sinilah momen ketika Alien Child kembali hadir dan menjadi yang...

Keep Reading

Luapan Emosi Cito Gakso Dalam "Punk Galore"

Setelah sukses dengan MS. MONDAINE dan BETTER DAYZ yang makin memantapkan karakter Cito Gakso sebagai seorang rapper, belum lama ini ia kembali merilis single terbarunya yang berjudul PUNK GALORE yang single ke-3...

Keep Reading