- Music
Elvis Presley dan Urusan Fesyen yang Selalu Berkiblat ke Panggung Musik
3 Maret 1989, Madonna merilis video klip “Like a Prayer”. Video klip “Like a Prayer” sangat ikonik. Di situ Madonna muncul dengan kalung salib besar berpadu gaun slip renda hitam. Video itu sejatinya juga sebuah satir soal rasisme yang terlembagakan dan tentang ketidakadilan di tahun-tahun itu – ada seorang pria kulit berwarna dipenjara karena kejahatan yang tidak dilakukannya ketika itu. Disutradarai kolaborator lamanya, Mary Lambert, klip itu dengan cepat menjadi masyhur. Konon, video ini menegaskan kembali betapa berperan pentingnya fesyen dalam musik, juga sebaliknya urusan fesyen yang kerap berkiblat ke panggung musik.
Hingga tiga dekade berlalu, gaun lingerie Madonna itu tak lekang oleh waktu. Tapi Madonna beserta gaun rendanya itu, sampai kemudian ia dicontoh pecintanya, hanyalah latah belaka. Nyatanya, jauh lebih dulu dibanding dia, tahun 1950’an baju sampai celana para remaja Amerika mendadak jadi mirip Elvis Presley. Memang Elvis Presley lah yang mengawali semua itu. Pertalian fesyen dan musik cuma berlangsung saat musisi tampil di panggung. Tapi itu dahulu, sebelum kehadiran pria kelahiran kota di sudut barat daya Amerika, Memphis, itu di panggung musik. Seusai Presley unjuk gigi di 1954, apa yang ia pakai selalu menarik perhatian para remaja selama setengah abad berikutnya. Kecintaan mereka tak sebatas bagaimana Presley menyuguhkan suaranya untuk rock and roll.
Hari-hari itu, Amerika tahun 50’an, remaja di sana menikmati betul situasi ekonomi negara yang sedang bertumbuh. Orang tua mereka tak berat hati menjatah uang berjumlah-jumlah. Remaja-remaja, anak-anak mereka itu, menghabiskannya untuk segala yang bersangkut dengan musik. Entah itu alat musik, tapi biasanya pakaian yang disandang pemusik. Tahun-tahun itu, ketika media harian dan mingguan musik tengah naik, kelas sosial menurut remaja-remaja itu bukan lagi dibagi berdasar seberapa banyak uang saku yang mereka terima. Tetapi musik apa yang sudah didengar, juga sedikit atau banyaknya koleksi busana dari ikon musik di lemari pakaian yang telah mereka miliki. Sederhananya, strata sosial buat mereka tidaklah tentang siapa yang ber-orang tua miskin dan siapa ber-orang tua kaya. Juga, identitas keremajaan ditentukan dengan kaset musik apa yang mereka bawa, juga baju band musik apa yang mereka punya.
“Ketika Elvis muncul di panggung di pertengahan tahun 1950-an, ia tampak seperti dari planet terasing. Keren bukan kepalang,” kata Zoey Goto, seorang jurnalis dan penulis buku Elvis Style: From Zoot Suits to Jumpsuits. “Menantang kebiasaan, gaya Elvis menunjukkan bahwa sekarang tidak apa-apa bagi laki-laki untuk memakai busana warna merah muda, bukan masalah lagi buat laki-laki kulit putih memakai jas zoot, dan pakaian kalian yang berbeda dari ayah kalian. Dalam semalam, Elvis dengan cepat mengubah cara pemuda Amerika berpakaian.” Disetujui atau tidak, tapi memang soal ini harus disetujui, selama 50 tahun berikutnya, bintang rock adalah pemberi pengaruh fesyen dunia. Setiap irama baru, dari glam hingga mods, punk hingga metal dan grunge, selalu menghadirkan fesyen baru. Celana jeans robek dan jaket kulit di punk, juga knitwear second hand di grunge, misalnya.
1960-an, sewaktu jam bermusik Presley berkurang dengan ia mulai terjun di perfilman, gantian baju-baju panggung The Beatles yang jadi sorotan. Lewat sepatu boots Beatles, jas hitam, hair style berponi mangkuk, catwalk jalanan resmi milik The Beatles. “Streetwear tahun 60’an tak lagi menengok busana Elvis. Tapi masa-masa itu, seperti kemeja pantai bermotif kembang yang ia pakai ketika berfilm, kostum yang dikenakan di film lain justru mengambil contoh baju Elvis,” kata Goto, pengarang buku Presley bertahun 2016 itu.
Redupnya band-band dengan lagu bertema perdamaian dan cinta di jagat musik rock, yang ditandai peristiwa pembunuhan anggota gang motor Hell’s Angels di konser Rolling Stones di Altamont di Desember 1969 itu, menciptakan budaya fesyen di akhir 1960’an berubah lagi. Tokohnya ialah band-band psikedelik. Corak bermusik berbeda, psikedelik menciptakan budaya fesyen berbeda juga. Meniru David Bowie, Slade, T.Rex, Lynyrd Skynyrd, Creedence Clearwater Revival sebagai tokoh utamanya, di jalanan, di manapun, remaja tak canggung mengenakan kemeja tie-dye dan asesoris buatan sendiri. Mereka bangga memakai rompi kulit, juga topi koboi.
Datanglah punk, setelah tahun-tahun itu. Fesyen band-band punk lebih demokratis, ia menerima berbagai mode. Sebagian identik dengan jeans lusuh, boots Dr Martens, juga jaket kulit. Sebagian lain mencontoh Vivienne Westwood, Raf Simons, ataupun kaus desainnya ala Undercover. 1980’an grup-grup musik pop muncul. Perlahan fesyen rock diabaikan. Munculnya pop bertepatan dengan grunge. Fesyen dua genre musik itu saling berebut perhatian di lingkungan remaja. Tapi, dengan baju-baju seperti kardigan rajut dan kemeja berpola kotak-kotak, grunge tampak lebih dominan.
Persaingan mode pakaian pop dan rock di kalangan remaja berlanjut hingga akhir 1990’an. Melalui jeans skinny dan kaus ketat-kecil di 2000’an, beralih ke fesyen musik-musik alternatif seperti indie kian digemari. Memang, pengaruh mode musik rock telah memudar, apalagi selama sedekade terakhir. Meski begitu, musik rock yang dipandang popular di sana itu, penyuka fesyen mereka masih banyak, dan warisannya tetap bertahan hingga kini.
Teks: Emha Asror
Visual: Arsip dari Berbagai Sumber
Sisi Organik Scaller Dalam "Noises & Clarity"

Kabar baik datang dari Scaller yang baru saja merilis live session (8/7/23) yang kemudian diberi tajuk “Noises & Clarity”. Dalam video ini, grup musik asal Jakarta tersebut tampil membawakan 5...
Keep ReadingSingle Ketiga Eleanor Whisper Menggunakan Bahasa Prancis

Grup Eleanor Whisper asal kota Medan yang telah hijrah ke Jakarta sejak 2019 ini resmi merilis single ke-3 yang diberi tajuk “Pour Moi”. Trio Ferri (Vocal/ Guitar), Dennisa (Vocals) &...
Keep ReadingSajian Spektakuler KIG Live!

Umumkan kehadirannya sebagai pemain baru pada industri konser musik Indonesia, KIG LIVE yang merupakan bagian dari One Hundred Percent (OHP) Group menggelar acara peluncuran resmi yang juga menampilkan diskusi menarik...
Keep ReadingCrushing Grief Gandeng Dochi Sadega Dalam Single Terbaru

Unit pop-punk dari Manado, Crushing Grief, menggandeng Dochi Sadega dari Pee Wee Gaskins, dalam single terbaru mereka yang diberi tajuk “Hard Rain“. Single ini merupakan salah satu lagu yang diambil dari EP...
Keep Reading