- Music
Dimas Wisnuwardono Menyoal Dokumentasi Musik dan Sounds From The Corner
Melihat musisi tampil secara live memiliki sihirnya sendiri. Kejadian seperti Matt O’ Keefe (The Orwells) yang memutuskan keenam senar gitarnya saat tampil di acara David Letterman, aksi dinamit Keith Moon (The Who), dan gulat kelas ganda dua pentolan Muchos Libre tidak akan bisa ditemukan jika hanya mendengarkan lagu. Klip video mungkin membantu, tapi penonton akan sadar bahwa itu di-setting saat sang idola tidak sedang membawakan karyanya. Penonton butuh aksi dan itu hanya bisa ditemukan saat menonton idolanya tampil langsung.
Video-video live session muncul sebagai alternatif bayar tiket konser, atau lebih lagi, memperpanjang umur aksi-aksi tadi. Mungkin semenjak pandemi, format macam ini jadi kebutuhan, biarpun sebelumnya pun sebenarnya sudah penting. Later with Jools Holland, Live from Abbey Road (dulu rutin muncul di salah satu stasiun televisi nasional), dan Live on KEXP mungkin jadi sumber dokumentasi andalan para pemuja puritan untuk mengikuti polah idolanya. Di bidang ini lah, Sounds From The Corner (SFTC) mencoba maju menjadi kontingen Indonesia.
SFTC merupakan proyek kolektif yang dipelopori oleh Dimas Wisnuwardono dan Teguh Wicaksono pada 2012. “Memperpanjang kejujuran penampilan musik asli untuk mata dan telinga Anda yang lapar,” tulis mereka di deskripsi laman resminya. Dimas dan Teguh resah dengan kurangnya kualitas, keragaman, dan kuantitas dokumentasi dan arsip musik yang dipaparkan media arus utama saat itu.
Siasat Partikelir berkesempatan untuk berbincang langsung dengan salah satu pendiri SFTC, Dimas Wisnuwardono, pada Kamis (19/8) kemarin. Berikut adalah obrolan kami. Selamat membaca!
Seberapa penting dokumentasi musik hari ini?
Penting banget sih. Soalnya kayaknya cuma dari dokumentasi orang di masa depan tuh bisa tahu kalau di masa sekarang ini ada band A, B, C, D dan budaya-budaya yang ada. Ibaratnya, emang mempersiapkan untuk 10 tahun ke depan. Dan lucunya, ketika SFTC kan mulai 2012 dan sebentar lagi 2022, ya sudah ada arsip berusia cukup lama.
Menurut Mas Dimas, kondisi pendokumentasian musik di Indonesia sekarang bagaimana?
Sedihnya tuh jadi banyak yang beralih ke media digital karena keadaan pandemi. Dulu, pas zaman sebelum pandemi live video masih bisa dihitung banget. Selain SFTC, ada berapa channel sih yang bikin hal yang sama dan terarsip dengan baik? Kayaknya masih dalam hitungan jari. Bahkan pas pandemi saja banyak yang bikinnya eksklusif, kayak cuma sekali tayang habis itu udah enggak ada tayangannya lagi. Mungkin masalah publishing atau gimana. Jadi, sebenarnya masih perlu lebih baik lagi sih dan lebih bagus lagi.
Kalau masalah publishing tadi, Mas Dimas pernah ketemu yang seperti itu?
Beruntungnya SFTC adalah di awal kita bikin orang belum melihat publishing dan band pun belum terlalu paham soal itu. Sistemnya lebih seperti “eh gua mau bikin video ini nih, lu mau enggak?”. Belum ada ngomongin “ada publishing fee-nya enggak?”. Mereka menganggap kita bantu mereka promo dan kita juga mau bikin konten. Enggak ada sama sekali ngomongin duit sih. Memang cuma pengin bikin arsip, bikin dokumentasi.
SFTC selalu mengedepankan sisi visual dan sound. Sebenarnya apa yang membuat suatu dokumentasi musik dianggap baik?
Kalau video sebenarnya personal preference. Video-video yang di SFTC, itu yang menurut gua pribadi dan teman-teman pribadi “oh ini angle-nya ok”. Kalau video masih bisa di-explore. Tapi yang enggak bisa ditolerir itu audio. Karena kita itu mengarsipkan musik dan musik prioritas utamanya adalah audio. Jadi, memang dari awal bikin SFTC yang di-explore duluan audio.
Oh iya saya penasaran, Mas Dimas dan Mas Teguh dulu band-bandan enggak?
Kalau gua dulu main gitar tapi cuma punya band cover. Kalau Teguh tuh, dulu sempat ngeband sama Iga (Massardi) sebelum Iga punya Trees and the Wild. Jadi Iga sama Teguh tadinya di satu band yang sama. Terus, ketika Trees and the Wild ada, dia jadi manajernya. Nah gua ketemu Teguh waktu itu. Jadi sebelumnya emang sudah ada background ngeband.
Terus, kenapa larinya jadi ke video?
Mungkin karena gua enggak pernah nemuin band yang “yok bisa bikin lagu sendiri yok”. Ujung-ujungnya, band yang di mana gua ada itu selalu band cover. Baru kali ini sih gua ikutan satu band, tapi lagi enggak aktif juga sih, lagi enggak ada manggung.
Apa tuh?
Gua masuk di L’Alphalpha sih sekarang.
(Tersadar bahwa foto Dimas yang diterima Siasat Partikelir sebelumnya nampaknya arsip dari L’Alphalpha)
Hello, kini L’Alphalpha bertujuh. Perkenalkan drummer baru kami Yudhistira Haryadi (menghadap kiri) dan menambah 1 gitaris lagi Dimas Wisnuwardono (menghadap kanan). Salam kenal! Tanggal rilis semakin dekat. pic.twitter.com/pXUDYov8Sd
— L'Alphalpha (@L_alphalpha) December 6, 2019
Terus kenapa beralih ke video. Jadi, dari SMA tuh gua sudah suka fotografi sebenarnya. Dari fotografi, pasti menjurusnya ke DOP kan, sinematografi. Terus suka film. Dari situ, hobi gua juga mengoleksi video-video klip dan live video, kayak Incubus, Slipknot, band-band Jepang. Itu gua punya arsip-arsip video mereka manggung di mana, konser di mana. Nah, sejak itu gua wondering, “Indonesia kok enggak ada ya yang bikin begini?” Dan itu membuat gua pengin bikin sesuatu kayak gitu di alam bawah sadar. Medianya baru mungkin untuk dibikin, karena keterbatasan dana segala macam, pas 2012. Itu lah jalannya.
Tadi kita bahas kenapa dokumentasi penting. Itu membuktikan bahwa di dunia musik tuh bukan cuma musisinya. Sebenarnya, dari dunia semacam ini bisa menghidupi enggak sih Mas?
Kalau sekarang sih sebenarnya, gua dari dokumentasi musik bisa hidup. Itu juga cukup menjawab ya. Tapi selain musisi, yang disamping-samping mereka itu, manajer dan manajemen lainnya, juga bisa hidup. Jadi, balik lagi ke musisinya sendiri dan yang revolve around itu sih. Kalau musisinya enggak laku kan sebenarnya juga pasti akan susah.
Kurasi SFTC tuh sistemnya gimana sih Mas?
Balik dari diskusi internal sih. “Eh ini boleh juga nih kita arsipin”. Sebenarnya memang, kita selalu berusaha seluruh band yang ada di Indonesia pengin kita arsipin ketika menurut kita musiknya bagus. Balik ke alam bawah sadar gua tadi, gua koleksi video band-band yang gua suka. Jadi, itu terjadi di diskusi internal. Balik lagi ke personal preference (masing-masing dari tim) untuk kurasi itu sih.
Kalau waktu rilis videonya sendiri memang nunggu momenkah?
Biasanya memang disinkronin. Misalnya, waktu itu Danilla mau rilis album kedua. Jadi, dekat-dekat itu kita mulai syuting. Karena materinya sudah siap, jadi pas Danilla rilis kita bisa rilis videonya enggak begitu jauh dari itu. Kadang kayak gitu sih.
Di Antara Wijaya. Itu kan sebenarnya unik banget, ngambil satu spot di kota untuk dijadiin tempat live. Itu dapat idenya dari mana sih Mas?
Lucunya, ide itu udah ada dari awal banget kita bikin session. Karena dulu resource-nya terbatas banget, sekarang juga masih sih, jadi kita nyari venue yang available saja. Makanya ujung-ujungnya Rossi lagi Rossi lagi, kecuali kalau live kita samperin live-nya. Nah, ketika yang Wijaya ini, kita kerja sama sama dua entitas lagi, Studiorama dan Sakaspace. Sakaspace sebagai postproduction house, Studiorama sebagai yang nge-gather resource –kurasi band sama lokasi. Idenya dari kita bertiga, tujuannya untuk introduce bahwa tiap venue masih ada.
Bisa kepikiran buat bikin begitu bagaimana?
Kalau venue itu hasil diskusi. Kalau kenapa ngambilnya one take, referensinya dari film. Abis nonton terus kepikiran “oh ini bagus juga nih bikin gini”. Enggak tahu pas pandemi ini gua sering banget bikin yang sequence-nya one take. Secara enggak langsung, kebawa Di Antara.
Habis Wijaya mau ke mana memang?
(Tertawa) Sebenarnya ada bayangan lagi cuma PPKM enggak kelar-kelar jadi bingung. Rencananya, yang kesebut sih, Senopati sama ke daerah utara, cuma belum ada obrolan lagi. Tapi, Wijaya pun masih on going kok ada beberapa tempat lagi.
Talenta-talenta musisi di luar pulau Jawa juga keren-keren banget. SFTC ada rencana untuk mendokumentasikan mereka?
Oh pengin banget. Jadi, 2017 tuh kita sempat bikin workshop di lima kota. Perpanjangannya sebenarnya kita pengin punya resource di luar Jakarta sih sebenarnya, di luar Jawa. Waktu itu, kita sempat ke Makassar sama Pekanbaru. Terus, 2019, kita sempat bikin yang di Malang, Bandung, sama Yogya, waktu itu bikin Frau. Yang 2019 itu sebenarnya kita lagi tes air gitu “bisa enggak nih kita terbang sehari dua hari terus kita nginep di sana terus bikin satu dua video”. Itu sudah hampir terjadi sih ya cuma … ditampar kenyataan. (Tertawa). Mudah-mudahan cepat selesai lah biar bisa jalan lagi.
Oia, ngobrolin soal ide, biasanya SFTC dapat ide orisinal untuk mendokumentasikan musik kita datangnya dari mana? Referensinya dari mana saja?
Kalau referensi bisa dapat dari mana saja. Sebenarnya kan SFTC tuh bukan sesuatu yang original ya. Beberapa elemen gua ambil dari film, kayak framing, angle, ngambil detail-detail kayak instrumen gitu pasti dari film. Untuk format video live yang audio proper itu gua ngambil dari dulu ada videonya Radiohead yang From The Basement atau Jools Holland. Itu sih elemen-elemen yang bisa disatukan menjadi sesuatu yang baru.
Teakhir nih. Ada enggak sih keinginan SFTC yang belum tercapai?
Keinginan banyak sih. Bikin festival musik sudah kejadian di Archipelago. Mungkin bikin studio sendiri sih, venue sendiri. Jadi, kita tinggal ngundang bandnya. Mungkin target utamanya itu dulu sih karena alat sudah ada, tinggal ngumpulin di satu titik yang sudah enggak butuh set up. Bandnya tinggal datang, manggung, kita postprocess, selesai.
Teks: Abyan Nabilio
Visual: Arsip dari Dimas Wisnuwardono
Sisi Organik Scaller Dalam "Noises & Clarity"

Kabar baik datang dari Scaller yang baru saja merilis live session (8/7/23) yang kemudian diberi tajuk “Noises & Clarity”. Dalam video ini, grup musik asal Jakarta tersebut tampil membawakan 5...
Keep ReadingSingle Ketiga Eleanor Whisper Menggunakan Bahasa Prancis

Grup Eleanor Whisper asal kota Medan yang telah hijrah ke Jakarta sejak 2019 ini resmi merilis single ke-3 yang diberi tajuk “Pour Moi”. Trio Ferri (Vocal/ Guitar), Dennisa (Vocals) &...
Keep ReadingSajian Spektakuler KIG Live!

Umumkan kehadirannya sebagai pemain baru pada industri konser musik Indonesia, KIG LIVE yang merupakan bagian dari One Hundred Percent (OHP) Group menggelar acara peluncuran resmi yang juga menampilkan diskusi menarik...
Keep ReadingCrushing Grief Gandeng Dochi Sadega Dalam Single Terbaru

Unit pop-punk dari Manado, Crushing Grief, menggandeng Dochi Sadega dari Pee Wee Gaskins, dalam single terbaru mereka yang diberi tajuk “Hard Rain“. Single ini merupakan salah satu lagu yang diambil dari EP...
Keep Reading