Cerita Based on a True Story Pure Saturday yang Dirilis Ulang

Buku Based on a True Story Pure Saturday dirilis ulang. Buku yang versi aslinya diterbitkan oleh UNKLBooks, kini dicetak kembali untuk publik yang lebih luas oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Ketersediaannya yang banyak, secara otomatis, membuat buku tersebut bisa bersuara ke lebih banyak orang.

“Ide awalnya memang merasa budaya literasi musik di Indonesia itu kan rendah. Hampir jarang ada budaya menulis di musik, apalagi berupa buku. Dari awal saya memang kalau ingin menulis biografi, saya ingin menulis Pure Saturday. Awalnya sederhana, saya harus suka dulu musiknya,” jelasnya saat ditanya mengenai kenapa buku tersebut bisa sampai dibuat dulu.

Dia mengatakan bahwa buku Based on a True Story Pure Saturday merupakan usahanya untuk menarasikan perjalanan karir sebuah band Independen yang tumbuh besar di Indonesia melalui kacamata Pure Saturday. Penggalian konteksnya pun cukup padat. Mulai dari soal pengaruh budaya Barat ke musik independen di Indonesia, snobisme, pengaruh budaya massa seperti MTV, majalah, dan radio, hingga konflik-konflik personal yang menjadi tulang punggung cerita.

“Secara kebetulan saya juga kenal secara baik dengan personel-personelnya. Apalagi vokalis Iyo merupakan atasan saya ketika dulu bekerja di Ripple Magazine. Jadi secara emosional saya memahami dari jauh seperti apa Pure Saturday itu. Kemudian dari dulu saya ingin menggambarkan skena musik independen itu seperti apa, cikal bakalnya, sejarahnya, atau perkembangannya,” katanya menambahkan.

Idhar juga bertutur bahwa karya-karya dari Pure Saturday telah menemani tiap fase kehidupannya, sejak remaja hingga menginjak umur dewasa. Sejak dulu, ia adalah seorang penggandrung britpop semacam Radiohead, Oasis, The Cure, Morrissey, dan Blur. Ketika karya-karya Pure Saturday mulai diputar di radio dan MTV, Idhar pun memasukkan band tersebut ke dalam daftar favoritnya.

“Kayak album pertama dan kedua kan tuh saat saya masih remaja, ada album Elora yang menemani saya masa-masa kuliah, atau album Grey saat saya sudah menginjak usia dewasa. Makanya menulis Based on a True Story Pure Saturday seperti juga merekam fase-fase saya tumbuh dewasa,” jelasnya.

Hampir semua lagu-lagu dari Pure Saturday ia sukai, termasuk diantaranya hits-hits besar milik mereka seperti Desire dan Kosong. Namun, secara pribadi, Idhar lebih menyenangi lagu-lagu underrated band tersebut yang terhitung jarang menjadi playlist panggung yaitu Simple dan Sajak Melawan Waktu karena menurutnya lebih memiliki daya tarik filosofis.

Atas dasar naskahnya yang menarik, KPG pun sepakat untuk merilis ulang buku Based on a True Story Pure Saturday. Buku biografi tentang band independent di Indonesia memang sedikit jumlahnya, padahal ekosistemnya sudah terbilang besar. Terlebih lagi untuk band ini, jejak digitalnya sangat sedikit. Kita juga tidak bisa menemukan lagu-lagu mereka di layanan streaming popular semacam Spotify.

“Jadi satu-satunya bukti pendokumentasian hanya lewat buku ini. Dulu juga buku edisi pertama ini didistribusikan sangat terbatas. Hanya beredar dari komunitas ke komunitas. Harapannya sekarang bersama KPG dapat menjangkau lebih luas lagi. Karena tak bisa dipungkiri juga jika Pure Saturday termasuk pionir dan legenda dari musik independen di Indonesia,” lanjutnya.

Di buku Based on a Story Pure Saturday cetakan teranyar, terdapat beberapa hal baru. Seperti yang dijelaskan di postingan Instagram Idhar Resmadi (@idharrez) pada tanggal 13 Mei 2019, bahwa akan ada satu bab tambahan tentang fase pasca si kembar, Udhi dan Adhi, hijrah dan juga kata pengantar dari Nishkra, salah satu pelaku penting scene independen Bandung.

“Sebenernya hanya satu momen ketika Pure Saturday memutuskan move on pasca ditinggal si kembar Adhi dan Udhi hijrah pada 2015 lalu. Tak banyak yang bisa digali dari momen hijrahnya Adhi dan Udhi, karena mungkin momen itu sangat personal. Saya juga berhasil mewawancarai Udhi selepas mereka keluar dari Pure Saturday dan ingin mendalami agama Islam. Tapi saya tak dapat jawaban yang memuaskan, dan malah cenderung klise. Tulisan esai tentang Pure Saturday itu awalnya tulisan untuk sebuah media online dulu. Kemudian dikembangkan untuk menjadi penutup dari buku edisi cetakan kedua ini. Karena esai ini seperti merangkum perjalanan Pure Saturday selama dua dekade,” jawab Idhar saat ditanya perkara bab baru tersebut.

Nishkra sendiri adalah pegiat skena awal di kota Bandung. Dia banyak menulis tentang band-band aneh, avant-garde, atau asing untuk kuping masyarakat pada masa itu di Ripple dan Trolley. NIskhra sendiri juga merupakan DJ yang sering memutar lagu-lagu tidak biasa pada masa itu. Bisa dikatakan bahwa pengetahuan musiknya lebih maju ketimbang generasi seangkatannya. Seorang pecinta musik dengan koleksi rilisan fisik bertumpuk dan akses ke luar negeri.

“Hampir selama dua dekade dia tinggal di Australia dan baru dalam beberapa tahun terakhir ini kembali ke Indonesia. Saat diminta penerbit untuk siapa yang menuliskan kata pengantar, maka saya terpikir langsung Nishkra. Saya tidak ingin terlalu mendramatisir romantisme zaman dulu, tapi lebih ingin menyampaikan esai personal dari pengalaman tumbuh besar di era awal musik britpop ini muncul. Konteks itu yang ingin digali. Yah, Nishkra boleh dikatakan menjadi saksi hidupnya,” Tutup Idhar.

Based on a True Story Pure Saturday sudah bisa didapatkan di berbagai macam toko buku besar. (*)

 

Teks: Rizki Firmansyah
Foto: Sandi Jaya Saputra (Idhar Resmadi), Dok. KPG (Foto buku)

Geliat Kreatif Dari Sulawesi Tengah Dalam Festival Titik Temu

Terombang-ambing dalam kebimbangan akan keadaan telah kita lalui bersama di 2 tahun kemarin, akibat adanya pandemi yang menerpa seluruh dunia. Hampir semua bentuk yang beririsan dengan industri kreatif merasakan dampak...

Keep Reading

Memaknai Kemerdekaan Lewat "Pasar Gelar" Besutan Keramiku

Di pertengahan bulan Agustus ini, ruang alternatif Keramiku yang mengusung konsep coffee & gallery menggelar acara bertajuk “Pasar Gelar” di Cicalengka. Gelaran mini ini juga merupakan kontribusi dari Keramiku untuk...

Keep Reading

Semarak Festival Alur Bunyi Besutan Goethe-Institut Indonesien

Tahun ini, Goethe-Institut Indonesien genap berusia 60 tahun dan program musik Alur Bunyi telah memasuki tahun ke-6. Untuk merayakan momentum ini, konsep Alur Bunyi tetap diusung, namun dalam format yang...

Keep Reading

Head In The Clouds Balik Lagi ke Jakarta

Perusahaan media serta pelopor musik Global Asia, 88rising, akan kembali ke Jakarta setelah 2 tahun absen karena pandemi pada 3-4 Desember 2022 di Community Park PIK 2. Ini menandai pertama...

Keep Reading