Cara Aruna dan Lidahnya Berpromosi

Film Aruna dan Lidahnya, dirilis untuk publik pada 27 September 2018 yang lalu. Film yang menampilkan empat orang aktor papan atas dan digarap oleh sutradara pemenang Festival Film Indonesia 2017 ini, diantisipasi oleh banyak orang. Bayangkan, Edwin, yang datang dari sisi bawah tanah industri film digabung dengan duo kesayangan orang muda Indonesia, Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra –yang pernah ia sutradarai di film monumental Postcards from the Zoo—. Masih ada juga dua aktor pendamping yang tidak kalah ok mainnya, Hannah Al Rashid dan Oka Antara. Kisah film ini pun, diadaptasi dari novel populer berjudul sama yang ditulis oleh Laksmi Pamuntjak.

Edwin, lewat Palari Films, sedang mengecap tahapan baru dalam karir mereka. Paska kesuksesan komersil Posesif pada 2017 yang lalu, rumah produksi ini mulai bermain di liga yang lebih besar. Edwin tidak sendirian, Palari Films juga dimotori oleh duet produser Meiske Taurusia dan Muhammad Zaidy.

Dari kiri ke kanan: Eddy (Muhammad Zaidy), Dede (Meiske Taurisia), Edwin

Aruna dan Lidahnya, adalah babak baru. Etos gerilyawan yang dikandung sedari awal, diberi kemungkinan baru; bekerja dengan kerangka industri besar dan taruhan finansial yang juga tidak main-main.

Ada banyak gairah di tanam di sepanjang perjalanan film ini. Salah satunya adalah kemampuan untuk melihat sesuatu yang tidak kelihatan oleh banyak orang di departemen promosi. Sebelum rilis, Aruna dan Lidahnya sudah mulai berpromosi sejak beberapa bulan sebelum disajikan ke orang banyak. Bisa dibilang, tidak banyak pelaku industri film menggunakan pendekatan kecil-kecil menjadi bukit model begini.

Ketimbang hanya mengandalkan promosi konvensional yang menebar iklan di mana-mana, Palari Films memberdayakan etos gerilyawan mereka untuk merambah banyak hal di luar kebiasaan; membuat menu khusus yang bisa dirasakan oleh konsumen, masuk ke sejumlah diskusi di festival yang bukan memfokuskan diri pada film dan membuka banyak kisah di belakang layar untuk publik.

Siasat Partikelir mencuri waktu Dede, panggilan akrab Meiske Taurusia, untuk berbincang pada saat mereka sibuk menjamu wartawan dan undangan yang kelaparan dan minta makan di acara press screening Aruna dan Lidahnya.

Harus diakui, selalu menyenangkan menyaksikan gerilyawan –ya, itu kali ketiga artikel ini menyebut Palari Films dengan termin itu— melihat kemungkinan yang lebih besar dan tetap percaya pada semangat berdiri di atas kaki sendiri dan menjelajahi ide-ide baru ketimbang sepenuhnya bergantung pada betapa konvensionalnya sebuah proses harus dilalui. (*)

Kenapa sih, harus berbulan-bulan sebelumnya untuk mulai promosi ngomongin sebuah film?

Kami di Palari Films itu bukan orang-orang yang ngetop. Kecuali para pemainnya ya, mereka sih memang sudah ngetop. Dari sisi rumah produksi, kita bukan orang yang sekali ngomong bisa langsung didengerin satu negara. Kalau misalnya hari ini saya Jokowi, maka sekali ngomong A, dalam waktu 30 menit, senegara ini akan tahu. Menurut saya, itu kan ide promosi. Bahwa gimana cara kita menyebarkan informasi yang ingin disebarkan ke semua orang. Nah, karena nggak ngetop, segala macem, menurut saya, itu kenapa kita harus promosi jauh-jauh hari. Saya ingat banget kita mulai media visit itu dari bulan Juli, setelah lebaran. Kemudian Agustus makin naik intensitasnya, makin banyak medianya. Ya September kita serbu. Awalnya media cetak kemudian online dan radio di bulan rilis ini.

Tapi memang industri film yang besar menuntut seperti itu untuk berbicara kencang dan bisa didengar oleh publik?

Sepertinya, persoalannya agak banyak. Di film itu, tokonya nggak sebanyak musik. Misalnya kalau musik kan platform onlinenya udah banyak. Kalau kita mau jual fisik pun, tokonya ada banyak. Toko-toko kayak Kineruku, misalnya. Bisa kan? Dan ada banyak. Kalau film, sayangnya nggak bisa. Ketika kita main layar lebar, mau nggak mau jualannya di bioskop. Kalaupun ada bioskop alternatif, itu juga baru tiga di Jakarta. Sisanya ke komunitas. Bukannya nggak bisa, tapi pasti butuh format film yang beda. Akhirnya karena toko nggak banyak amat dan produks filminya banyak, kita jadi harus bersaing sama film Indonesia lain atau bahkan film Hollywood. Akhirnya kombinasi itu yang bikin kita harus promosi jauh-jauh hari. Nggak menutup kemungkinan juga, ada PH-PH (production house –red) yang bisa promosi nggak jauh-jauh hari karena sudah tahu kantong promosinya ke market yang mana. Sementara Palari Films kantongnya beda-beda. Setahun paling kita bisa bikin film satu. Kemarin remaja, kita garap itu. Sekarang lebih mature, untuk first jobber, anak-anak kuliah. Kantongnya beda lagi. Kita mulai dari awal dengan new customer. Kalau kita bilang mau jualan, market kita ganti-ganti mulu. Itu tantangan.

Loh, kemudian cara promosinya kan menarik. Karena masuk ke festival, masuk ke diskusi-diskusi, bikin menu. Kenapa perlu segitunya sih?

Karena kita mau menarik sebanyak mungkin orang yang beragam. Sebenarnya kan, kenapa promosi itu harus variatif, menurut saya, karena kita mau masuk ke sana (beragam –red). Orang-orang yang kuliner, misalnya. Kita nggak bisa memungkiri bahwa itu strength point kita. Saya berani bilang bahwa kelar nonton film kita, pasti laper. Akhirnya kita mikir ke bikin menu makanan. Waktu itu kita kelar shooting film, kita mikir untuk mulai promosi. Ya sudah, coba deh bikin Cooking with Bono. Dari situ udah mulai ngomong, menunya apa ya? Nasi goreng yang pasti. Dari situ, mikir bisa diapain ya? Kita bisa jualan di mana ya? Karena kita tahu, nasi goreng yang kita buat enak. Akhirnya beride dan jadilah nasi goreng ini di Cafe XXI. Kemudian berkembang. Kenapa sih nggak eksplor ke karakter lain? Ya, kemungkinannya makin terbuka. Kita terjemahin seluruh karakter dan Cafe XXI lagi-lagi terbuka. Merkea kasih alternatif, kalau karakter ini gimana, kalau ini gimana.

Kebiasaan untuk ngulik bisa ngapain itu dibentuk dari kebiasaan memperkejakan proyek kecil ke proyek besar nggak sih? Masa lalu kalian kan gitu.

Oh, masa lalu yang gerilya gitu ya?

Masa lalu yang keras. Hahaha.

Haha. Saya rasa, itu konsekuensi dari kita kerja di mana. Saat buat Postcard from the Zoo, dananya itu terbatas dan dapat funding dari luar. Tentunya kita nggak bisa menggunakan dana itu untuk mengkonversi ke promosi yang masif. Pas bikin Aruna dan Lidahnya dan kita tahu mau masuk ke bioskop, tentunya punya strategi yang besar. Menurut saya, nggak bijak kalau kita bikin film kayak Postcards from the Zoo terus strategi promosinya kayak Aruna dan Lidahnya. Atau sebaliknya bikin Aruna dan Lidahnya tapi strateginya kayak Postcards from the Zoo. Ini pasti beda, nggak matching. Skala itu sangat tergantung produk yang kita bikin. Sebagai produser, ya kita harus mikir dan melihat potensi apa yang bisa kita kupas dan seberapa jauh. Itu normal banget.

Enakan mana? Pakai budget produksi kecil apa budget gede? Karena tanggung jawabnya beda kan?

Hehe. Iya sih, keduanya punya tanggung jawab yang beda. Saat bikin Postcards from the Zoo, tanggung jawabnya bukan balikkin dana yang sudah keluar. Tapi saya dan Edwin harus mencapai pencapaian tertentu. Istilahnya, kayak kita sudah disupport untuk ikut olimpiade. Ekspektasinya kayak, “Wah, harus masuk final ya!” Itu yang kami dapat di Postcards from the Zoo. Tapi di Aruna dan Lidahnya, tanggung jawab saya mungkin lebih ke finansial. Mesti punya proyeksi pada para executive producer bahwa ini bakal balik.

Kalau ada di sini sekarang, terus melihat apa yang telah terjadi di masa lalu. Bahwa kalian pernah bergerilya dan kemudian sekarang ada di sini, di posisi yang proyeknya besar. Ada bedanya nggak?

Kayaknya sama-sama aja. Saya nggak merasa ada yang berubah. Emang mau ke mana sih berubahnya? Saya pikir, ketika mulai Palari Films, sebagai seorang produser saya nggak akan pernah lengkap kalau tidak mencoba. Saya akan lengkap kalau saya tahu semuanya dan coba. Dari situ baru bisa secara obyektif lihat industri ini dengan clear. Saya bahagia banget punya kesempatan di dua tempat ini. Dan saya menikmatinya. Dua-duanya punya challenge masing-masing. Nggak berarti kalau saya pakai duit investor tandanya nggak stress. Nggak bearti kalau pakai duit funding, nggak stress. Semuanya stress, in a different way ya. Kalau bisa punya pilihan begitu, saya sih encourage orang untuk coba semuanya. Biar komplit.

Aruna dan Lidahnya, pada saat artikel ini ditayangkan sedang beredar di sejumlah bioskop nasional. Informasi tentang film ini, bisa dicek di www.palarifilms.com.

Teks dan wawancara: Felix Dass
Foto: Dok. Palari Films

Geliat Kreatif Dari Sulawesi Tengah Dalam Festival Titik Temu

Terombang-ambing dalam kebimbangan akan keadaan telah kita lalui bersama di 2 tahun kemarin, akibat adanya pandemi yang menerpa seluruh dunia. Hampir semua bentuk yang beririsan dengan industri kreatif merasakan dampak...

Keep Reading

Memaknai Kemerdekaan Lewat "Pasar Gelar" Besutan Keramiku

Di pertengahan bulan Agustus ini, ruang alternatif Keramiku yang mengusung konsep coffee & gallery menggelar acara bertajuk “Pasar Gelar” di Cicalengka. Gelaran mini ini juga merupakan kontribusi dari Keramiku untuk...

Keep Reading

Semarak Festival Alur Bunyi Besutan Goethe-Institut Indonesien

Tahun ini, Goethe-Institut Indonesien genap berusia 60 tahun dan program musik Alur Bunyi telah memasuki tahun ke-6. Untuk merayakan momentum ini, konsep Alur Bunyi tetap diusung, namun dalam format yang...

Keep Reading

Head In The Clouds Balik Lagi ke Jakarta

Perusahaan media serta pelopor musik Global Asia, 88rising, akan kembali ke Jakarta setelah 2 tahun absen karena pandemi pada 3-4 Desember 2022 di Community Park PIK 2. Ini menandai pertama...

Keep Reading