Bombo: Duet Performance Art dari Makassar

Bombo dihuni oleh Reza Enem dan Rais Rice. Mereka berasal dari Makassar. Duet performance art ini bisa menjamah berbagai macam bentuk medium dalam urusan berkreasi. Eksplorasi terus dilakukan untuk menghasilkan karya yang dimau, serta membuka pintu kolaborasi seluas-luasnya.

Reza dan Rais mengaku tidak memikirkan apa-apa saat membentuk Bombo. Idenya berangkat hanya dari keisengan semata karena Reza senang dengan bebunyian serta Rais untuk urusan visualnya.

Mereka juga rajin menyambangi peluang yang ada. Telaten dan tekun, hingga bisa membawa mereka berada ke tempat yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Bombo sempat diterbangkan ke Liverpool dan Arnhem di Eropa.

Kepada Siasat Partikelir, mereka menceritakan banyak pengalaman saat mencipta karya, juga tentang beberapa hal yang kini dekat dengan Bombo, seperti berbagai macam kolektif dan geliat seni rupa di Makassar. Tapi sebelum masuk kesana, simak dulu sepak terjang Bombo dibawah ini;

2016
Guest performer – ‘Roaming Assembly #6’
Dutch Art Institute, Arnhem
Netherland

2017
Residensi di UK/ID FEST
British Council & FACT Liverpool, Liverpool
England

Kenapa Reza (Re) dan Rais (Ra) sepakat untuk membentuk Bombo? Sebelumnya kan kalian sudah berkarya di bidang masing-masing.

Ra: Bombo sebenarnya project kolaborasi kami. Latarnya sederhana, dan praktek kami selama ini adalah saya suka visual dan Reza senang dengan bebunyian. Dari sana, kami ingin melakukan hal-hal yang lebih luas lagi sebagai sebuah unit kolaborasi.

Re: Karena kalau saya belajar visual lagi atau Rais mencoba utak-atik sound, pasti makan waktu, makanya kami pilih berkolaborasi saja.

Banyak yang menyebut karya kalian sebagai performance art, sebetulnya ruang berkarya kalian itu apa sih ?

Ra: Kalau bicara ruang, kami enggak pernah memutuskan untuk bekerja dimananya sih. Karena sedari awal memang tujuannya adalah eksplorasi dan bereksperimen melalui cara kolaborasi ini. Kami pernah eksplorasi bermacam medium suara dan visual sih kebanyakan, tepatnya waktu di Arnhem kemarin. Tapi sebetulnya kami ingin mencoba yang baru, tidak melulu di situ. Karya-karya yang sudah kami hasilkan sejauh ini adalah performance, instalasi dan video art. Tahun depan mungkin Reza mau coba tari balet (tertawa).

Bombo sedang ada project apa saja yang sedang digarap saat ini ?

Re: Sampai tahun depan rencana kami mau merilis beberapa track audio-visual, mungkin sekitar 3-4 track.

Ra: Sambil mengumpulkan stok-stok isu perkotaan seperti angkot, lokalisasi dan pasar tradisional.

Tentang seni rupa di Makassar yang banyak orang bilang tengah berkembang saat ini, ada tanggapan ?

Re: Kalau menurut saya pribadi, bisa dibilang cukup ramai dan dalam berbagai bidang ada aktivitasnya. Cuma mungkin belum cukup besar kalau dibandingkan dengan pulau Jawa atau Bali mungkin.

Ra: Secara aktivitas cukup banyak sebetulnya, cuma ruang dan panggungnya yang tidak sebanyak di kota-kota lain. Juga inisiatif kolaborasi mungkin bisa lebih agresif lagi.

(Performance Roaming Assembly #6 – Arnhem)

Nah, bagaimana itu soal mengakali masalah keterbatasan ruang tersebut ?

Ra: Engak ada perlakuan khusus sih, malahan kalau saya sendiri enggak begitu peduli dengan ruang juga. Maksudnya begini, saya nggak tergantung dengan ruangnya pun sudah bisa ngapa-ngapain sebenarnya. Tapi ya itu, kesulitannya memang teman ngobrolnya jadi tidak banyak.

Re: Menambahkan sedikit, saya bersama Rais dan teman-teman di Jalur Timur mengakali ini dengan membuat ruang gerak sendiri.

Jalur Timur itu sendiri apa ya? Semacam kolektif seni?

Re: Bisa dibilang begitu. Jalur Timur adalah kolaborator, kolektif, yang diisi oleh beberapa teman dengan latar belakang disana. .

Ra: Jalur Timur itu jaringan untuk mengakali ruang lewat portal jejaringnya.

Oh ya, saya masih tertarik dengan perjalanan kalian ke Arnhem dan Liverpool. Ceritakan dong bagaimana bisa sampai kesana ?

Re: Nah ini salah satunya. Bombo banyak dibantu oleh Jalur Timur untuk ini. Dan juga bisa dibilang project kita ini adalah project yang digarap bersama-sama dengan teman-teman yang ada di Jalur Timur. Kalau yang di Liverpool sendiri itu adalah program dari British Council Indonesia dengan salah satu space di Liverpool namanya FACT. Kami menjalani program residensi ini sebagai salah satu bagian dari UK-ID Fest. Irma Chantily yang menjadi salah satu kurator untuk residensi ini yang juga bekerja di British Council Indonesia yang menghubungi kami untuk ikut berpartisipasi. Kami berada di Liverpool kurang lebih selama dua bulan.

Apa yang paling puas kalian dapatkan selama berada di sana?

Re: Tentunya kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak seniman disana, berkunjung ke space dan galeri di Liverpool, London serta Leeds. Kemudian mengikuti dua pameran, Light Night dan UK-ID di FACT, dan pastinya membawa pulang pengetahuan baru dan pengalaman yang berharga.

Berangkatnya kalian ke Liverpool dan Arnhem apakah mampu memberi impact ke scene seni rupa di Makassar? Maksudnya, menjadi perbicangan hangat disana?

Ra: Impact-nya agak sulit kami ukur dari sudut pandang kami sendiri sebenarnya. Mungkin juga kendala waktu dan kesibukan sampai tidak begitu berinteraksi dengan yang lain. Tapi terlepas dari itu semua, kami siap mendukung jika dibutuhkan.

*) Bombo adalah salah satu finalis Siasat Trafficking – Europe Calling untuk bidang visual.

teks dan wawancara: Yulio Abdul Syafik
foto: Dokumentasi Bombo

Menyajikan Lebih Dari Musik!

Familiaxshow telah sampai pada seri ke-7 yang akan digelar pada 18 September 2022. Gig 3 bulanan sekali ini pertama kali digulir 6 Maret 2020 dengan fokus memberikan ruang bagi lineup...

Keep Reading

Geliat Kreatif Dari Sulawesi Tengah Dalam Festival Titik Temu

Terombang-ambing dalam kebimbangan akan keadaan telah kita lalui bersama di 2 tahun kemarin, akibat adanya pandemi yang menerpa seluruh dunia. Hampir semua bentuk yang beririsan dengan industri kreatif merasakan dampak...

Keep Reading

Memaknai Kemerdekaan Lewat "Pasar Gelar" Besutan Keramiku

Di pertengahan bulan Agustus ini, ruang alternatif Keramiku yang mengusung konsep coffee & gallery menggelar acara bertajuk “Pasar Gelar” di Cicalengka. Gelaran mini ini juga merupakan kontribusi dari Keramiku untuk...

Keep Reading

Semarak Festival Alur Bunyi Besutan Goethe-Institut Indonesien

Tahun ini, Goethe-Institut Indonesien genap berusia 60 tahun dan program musik Alur Bunyi telah memasuki tahun ke-6. Untuk merayakan momentum ini, konsep Alur Bunyi tetap diusung, namun dalam format yang...

Keep Reading