- Music
- Tidbits
Berdialog: Logic Lost
Di balik racikan musik elektroniknya yang nir lirik, rupanya Dylan Amirio atau Logic Lost sangat senang untuk bercerita. Melalui setiap nada dalam karyanya, ia menyematkan beragam kisah. Memang perlu usaha berlebih untuk menangkap makna yang ada, tapi itu merupakan harga yang pantas dibayar untuk dapat menelusuri lubuk hati seorang musisi seperti Dylan.
Pada 13 Desember 2019 lalu, ia baru saja merilis single bertajuk “Broken View”, dan itu merupakan sebuah perkenalan untuk menyambut EP terbarunya yang diberi judul Hero Worship. Apa lagi yang ia coba sampaikan melalui karya itu? Darimana inspirasinya berasal?
Kita sambut, Logic Lost.
Sejak kapan mulai serius bermusik?
Gue mulai seriusin musik tahun 2015, tapi mulai Logic Lost tahun 2012 pas di kamar kost gue di Melbourne pas kuliah. Awalnya iseng-iseng, cuma lama-lama gue rasa ya sayang kalau gini doang. Gue juga pengen coba berkarya, dan 7 tahun kemudian, here we are.
Apa yang membuatmu tertarik terhadap musik elektronik?
Gue tertarik sama fakta dimana lewat musik elektronik, gue merasa segala hal yang gue mau sampaikan atau rasakan itu seakan tidak ada batasnya.
Hal apa saja yang biasanya menginspirasimu dalam berkarya?
Biasanya inspirasi utama gue datang dari apa yang gue obervasi dalam lingkungan gue serta perasaan apa saja yang gue rasakan mengenai observasi tersebut. Bisa orang, bisa peristiwa, bisa hubungan, bisa keadaan, bisa juga musisi yang gue suka dengar; yang bisa memberi gue insight baru atau pelajaran baru.
Kisah apa yang kamu coba ceritakan dalam single terbaru, “Broken view”? Pada pengumuman mini album baru di Instagram, kamu menulis “dedicated to the failure of man“. Topik apa yang nantinya kamu akan angkat pada EP tersebut?
Nah, EP ini akan berjudul Hero Worship. Pada dasarnya, gue menulis Hero Worship sebagai reaksi gue terhadap dunia yang pelan-pelan dibunuh oleh manusia ini. EP ini adalah sebuah soundtrack kiamat. Kebanyakan kali manusia berkhayal yang tidak-tidak dan memaksakan khayalannya kepada orang lain. Most of the time, the people who do that are those who are in power. And power is something that you crave endlessly once you get it. Itu naluri manusia saja, terbuta oleh kekuasaan.
Power makes you arrogant if you crave it in the first place, dan dari situ, hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan alam baka dirusak karena mereka yang merasa benar mencoba menjadi dewa. Sejujurnya gue tidak optimis dengan survival kaum manusia. Kita terlalu ngawang dan sistem yang kita ciptakan hanya merugikan dunia ini. Makanya, there is no hope, there is only hero worship.
“Broken View” hanyalah satu bagian dari soundtrack tersebut, dan hanya sebagian dari interpretasi gue akan bagaimana kiamat akan datang.
Anyway, Hero Worship sebenarnya gue bikin sebagai satu lagu panjang dengan durasi 21 menit, dan cara mendengarkannya yang benar adalah dari awal sampai akhir tanpa jeda. Gue mau bikin lagu seperti “Entranas”-nya Arca, dimana dia menjahit beberapa bagian berbeda menjadi satu lagu panjang, yang bersuara dan bertema sama.
Untuk alasan “praktikal” dan saran label yang merilis EP ini [Blank Orb Recordings], gue pisah jadi 8 track pendek. Soalnya konsepnya memang ada 8 bagian di dalam 21 menit itu. Jadi yaudah, jadilah EP yang sangat pendek. Gak masalah sih, album-album barunya Earl Sweatshirt aja nggak ada yang nyampe 30 menit, dan masih ngena banget. Jadi okelah. Semoga rilisan gue kena juga heheh
Sebagai wartawan, apakah cukup rumit untuk membagi waktu untuk bermusik?
Sebenarnya kalau pas gue jadi wartawan, waktunya nggak gitu rumit sih. Lumayan fleksibel dan mobile soalnya kalau kerja jadi wartawan. Jadi masih ada waktu luang yangg bisa dipakai. Sekarang gue lagi kerja kantoran kan, wah itu waktunya jauh lebih sulit nyarinya hahahah tapi ya selama lo niatin bikin waktu ya pasti bisa.
Bagaimana ceritanya bisa bergabung bersama SRM Management?
Lucunya adalah gue kira-kira 2 tahun yang lalu pernah coba kontak SRM buat bisa kerjasama atau gue pitch masuk roster mereka, tapi mungkin pada saat itu bukan waktunya. Gue masuk SRM setelah ngobrol dengan si yang punya Satria Ramadhan seusai gue main di Bangkok di bulan November. Dia lagi di sana juga dengan artist roster SRM, Tanayu, dan ya kita connect aja. Gue udah kenal Satria for a while sebelum itu sih, karena dia suka bantu-bantu pas gue bikin acara bareng anak-anak Subtractive, di Jakarta pada tahun 2018 sama Bandung di tahun ini.
Mantap lah, kita lihat bagaimana tahun 2020.
Lalu, bagaimana sejarahnya hingga kolaborasi bersama Tanayu bisa sampai terjadi?
Seperti yang diceritakan sebelumnya, Gue ketemu Tanayu juga pas main di Bangkok Music City Festival, pada November lalu. Awalnya kita ngobrol-ngobrol casual aja sih pas disana dan ternyata arahan musik kita bisa nyambung. “Tanayu is a very open person, she’s willing to experiment with a lot of things, to step out of her zone once in awhile, and that’s great.”
Sekarang kita lagi dalam proses bikin lagu bareng. Lagi dikerjakan sih, tapi pasti akan dibawain pas kita main live bareng. Walaupun lagu-lagunya belum selesai, gue rasa mencobanya di medan live terdahulu bisa membantu kita membentuk ide. So far, its working!
Menurutmu, apa tantangan yang terjadi bila mengerjakan proyek kolaborasi dengan musisi lain?
Nyari waktu buat kerjainnya sih, hahaha. Kalau kolaborasi gu emang prefer buat paling nggak ketemuan dulu awalnya biar bisa tau mau ngarahnya kemana, misalnya lewat jamming gitu. Dari jamming biasanya udah kelihatan arahan-arahan sama saran yang disampaikan. Kalau lewat email sih gapapa juga.
Tahun ini gue udah rilis kolaborasi dengan Mataharibisu dan MVRCK. Kedepannya ada beberapa artist lagi yang gue udah jalankan bekerjasama, sekarang tinggal nunggu hasilnya.
Bagusnya kolaborasi juga adalah, ada satu kepala lagi yang bisa memberi perspektif yang berbeda terhadap arahan yang sama. Hubungan dan pengertian yang terjadi setelah berkarya bareng adalah hal yang berharga.
Siapa musisi Indonesia yang pada tahun 2019 sangat banyak menyita perhatianmu?
Gabber Modus Operandi sih. Sepanjang tahun gue gak bisa berhenti puterin 2 album mereka, dan 2 kali gue nonton mereka live tahun ini gue bisa bilang mereka adalah act live terbagus yang gue pernah lihat. Rilisan lokal yang gue juga dengerin banget tahun ini termasuk dari Miftah Bravenda, MVRCK, Jirapah dan Sunlotus.
Setelah EP baru keluar, lalu apa lagi?
Nulis album baru palingan, idenya udah banyak, inspirasi dapet, cuma eksekusinya belum ketemu yang pas. Semoga gue juga bisa kolaborasi dengan banyak musisi lainnya. Projek bareng Orange Cliff Records sama Blank Orb juga bakal ada nih. Kolaborasi antar artist lain semoga lebih banyak ya. Tahun 2019 udah banyak memulai kolaborasinya, sekarang tinggal nunggu hasilnya hehe
Teks: Rizki Firmansyah
Visual: Arsip Logic Lost
Sisi Organik Scaller Dalam "Noises & Clarity"

Kabar baik datang dari Scaller yang baru saja merilis live session (8/7/23) yang kemudian diberi tajuk “Noises & Clarity”. Dalam video ini, grup musik asal Jakarta tersebut tampil membawakan 5...
Keep ReadingSingle Ketiga Eleanor Whisper Menggunakan Bahasa Prancis

Grup Eleanor Whisper asal kota Medan yang telah hijrah ke Jakarta sejak 2019 ini resmi merilis single ke-3 yang diberi tajuk “Pour Moi”. Trio Ferri (Vocal/ Guitar), Dennisa (Vocals) &...
Keep ReadingSajian Spektakuler KIG Live!

Umumkan kehadirannya sebagai pemain baru pada industri konser musik Indonesia, KIG LIVE yang merupakan bagian dari One Hundred Percent (OHP) Group menggelar acara peluncuran resmi yang juga menampilkan diskusi menarik...
Keep ReadingCrushing Grief Gandeng Dochi Sadega Dalam Single Terbaru

Unit pop-punk dari Manado, Crushing Grief, menggandeng Dochi Sadega dari Pee Wee Gaskins, dalam single terbaru mereka yang diberi tajuk “Hard Rain“. Single ini merupakan salah satu lagu yang diambil dari EP...
Keep Reading