Berdialog: Delpi Suhariyanto

Segerombolan orang mengenakan jas hujan identik berwarna merah nampak berlalu-lalang di tengah lapangan sebuah kampus seni di kota Bandung. Bebunyian yang dihasilkan oleh pertemuan orang-orang berjas hujan merah tersebut terdengar ramai sekaligus menarik. Pertemuan yang digagas oleh seseorang bernama Delpi Suhariyanto dalam karya performans bunyinya. Delpi mulai menapaki karier berkeseniannya sambil menjalani studi akademik di Fakultas Seni Rupa dan Desain. Tidak hanya itu, bukan mainnya juga dia mewadahi seniman lain melalui label rekaman dan inisiasi-inisiasi perhelatan kesenian. Bukan mainnya lagi, pergerakan yang dimulainya ini mulai besar dan terus berkembang. Berikut adalah obrolan singkat dengan seorang seniman yang masih berusaha keras untuk bisa lulus dengan nilai maksimal.

Hai Delp, kamu udah lulus belum sih? Hehe. Saat ini kamu sedang menjalani studi dimana dan merepotkan nggak sih kuliah sambil berkarier sebagai seniman?

Halo Bob, belum lulus nih. Saya kuliah di studio Intermedia ITB. Lumayan susah dan merepotkan sih, tapi mau nggak mau harus dibiasain. Hahaha.

Disamping berkarya, kamu juga menginisiasi perhelatan seni yang basisnya eksplorasi bebunyian seperti Sonic Panopticon (Site Specific Sound Performance) tanggal 23 Mei tahun lalu, lalu denger-denger kamu juga membangun label rekaman sendiri. Bisa diceritain lebih lanjut perihal dua aktivitas kamu yang disebutin tadi?

Sebelumnya saya aktif di skena hardcore punk bersama label saya Greedy Dust Records untuk merilis band favorit saya di Indonesia dan beberapa kali menginisiasi event-event di Jawa Timur maupun Bandung. Nggak sedikit teman-teman yang saya kenal di skena tersebut ternyata memiliki ketertarikan yang sama di medan seni rupa, jadi secara nggak langsung aktivitas di skena hardcore punk tersebut menstimulus gagasan artistik saya juga, baik di musik maupun seni rupa.

Sementara itu, Sonic Panopticon menjadi acara pertama yang saya inisiasi tanpa kesadaran bermusik, sehingga banyak gagasan yang muncul berawal dari wacana seni rupa kontemporer. Perhelatan bunyi di situs spesifik tersebut diadakan di Gedung Seni Rupa ITB dengan pilihan seniman yang berasal dari lingkup internal seni rupa ITB (GURU, Aditya Wisesa, dan saya sendiri) dan dari eksternal (Gaung, Tesla Manaf, dan Bandung Null Emergence). Lineup seniman tersebut muncul dari pertanyaan “Karya seperti apa yang muncul dari mereka yang dekat dan mereka yang asing dengan Gedung Seni Rupa ITB?” Alhasil karya yang muncul amat berbeda. Saya, Aditya Wisesa, dan GURU memilih area di Gedung Seni Rupa ITB dengan pertimbangan yang cukup naratif baik bunyi maupun secara bentuk visual, sedangkan Gaung, Tesla, dan Bandung Null Emergence memilih tempat dengan pertimbangan yang lebih condong ke arah karakteristik akustik ruang. Sayangnya, dengan konsep berpindah tempat, acara ini dieksekusi hanya dengan mengandalkan 1 set sound system (ada proses memindahkan sound system di setiap performans). Alhasil, hal tersebut membuat acara berlangsung terlalu lama, dari jam 8 malam hingga 2 pagi (terlalu lama untuk perhelatan eksperimental). Hahaha.

Menurut kamu, apakah institusi seperti akademi seni rupa cukup membantu kamu mengeksplorasi medium-medium yang lebih spesifik seperti seni performans dan sound art?

Hmmm, kalau pertanyaannya institusi secara umum sepertinya pengalaman saya belum cukup untuk bisa menjawab, tapi di ITB, khususnya di studio Intermedia, pendalaman terkait seni performans dan sound art belum terlalu terbangun meskipun kurikulum di seni rupa ITB sendiri sebenarnya terbuka untuk eksplorasi medium-medium tersebut. Mungkin ekosistem di sekitarnya yang belum sepenuhnya mendukung mahasiswa untuk memperkaya pengalaman terkait bebunyian dan performans. Pengalaman yang saya maksud sebenarnya bisa dibangun dengan menambah kuantitas inisiatif acara performans ataupun seni bunyi di lingkungan akademis. Untuk eksplorasi bebunyian secara khusus, referensi-referensi yang ditawarkan juga mungkin jadi persoalan, dosen atau kawan-kawan di kampus seringkali membicarakan seniman bunyi yang berhasil ‘di-institusi-kan’ seperti John Cage atau Susan Philipsz. Saya rasa hal tersebut tidak cukup berhasil membangkitkan niat atau inisiatif bereksplorasi apabila dibandingkan dengan eksperimen bebunyian yang dihasilkan dengan cara yang lebih menyenangkan seperti yang dilakukan oleh misalkan GURU (Bandung), Bandung Null Emergence, atau Setabuhan (Yogyakarta). Referensi-referensi yang justru lebih dekat dengan mahasiswa. Persoalan referensi tersebut juga bisa dibangun dengan hadirnya pameran ataupun perhelatan performans dan seni bunyi, karena medium tersebut sangat dekat dengan pengalaman menubuh yang membutuhkan kelima indra untuk mengapresiasinya. Penting untuk merasakan langsung bagaimana medium tersebut bekerja. Sesering mungkin dan sebaik mungkin.

Di tahun 2018 kamu membuat performans berjudul Artificial Red Society dalam perhelatan Soemardja Sound Art Project. Lalu, yang termutakhir, kamu baru saja terlibat di perhelatan Performans Ruang Publik (Bandung) berjudul Brrm brrm Twww. Apa pendapat kamu soal medium bunyi dan performans? Dan kenapa keduanya jadi medium yang cukup banyak kamu minati?

Bunyi dan performans memiliki peluang eksplorasi dan kolaborasi yang tinggi. Terlihat dari begitu banyak disiplin yang terlibat. Selain begitu banyaknya peluang artistik yang muncul, medium-medium ini juga menawarkan lingkar jejaring yang amat luas. Karya Artificial Red Society saya buat 2 tahun lalu di tahun awal saya berkenalan dengan medium performans dan bunyi. Kebetulan kuratorial yang ditawarkan kepada kami (mahasiswa Seni Rupa ITB) waktu itu berkaitan dengan aktivitas merespons Gedung Seni Rupa dengan pendekatan site-specific dan setelah itu saya jadi tertarik untuk mengeksplorasi karya dengan pendekatan site-specific.

Perhelatan Sonic Panopticon dan Brrm brrm Twww memiliki persamaan dalam hal pendekatan site-specific. Hal tersebut memunculkan karya-karya yang menitikberatkan pada persoalan asal muasal. Sama halnya dengan beberapa karya saya yang menekankan asal muasal dari bunyi yang dihasilkan. Salah satu contohnya karya Artificial Red Society yang berasal dari gesekan jas hujan merah di atas ‘lapagan merah’ (sebutan bagi lapangan yang berlokasi di tengah Gedung Seni Rupa ITB) bersama 20 rekan-rekan saya. Begitu juga dengan karya Be Violent to Your Own Home di pameran Brrm brrm Twww yang mengambil batu dari reruntuhan Taman Sari RW 11 dan memukulkannya ke ruang publik di Bandung yang merupakan bekas penggusuran. Saya sebenarnya masih mencari metode yang tepat untuk mempresentasikan gagasan saya, tetapi sejauh ini, performans dan bunyi dapat mengakomodasi hal tersebut.

Rencana berikutnya apa nih? Apakah ada pameran atau perhelatan yang kamu ikuti lagi? Atau mungkin kamu sedang berencana menginisiasi aktivitas artistik tertentu dalam waktu dekat ini?

Tugas akhir belum berakhir nih. Hahaha. Rencananya pameran Prfmnc Rar bakal bikin program lintas disiplin bertajuk “Trade-Ins” bareng atlet-atlet dari beberapa cabang olahraga di kota Bandung. Untuk Greedy Dust Records, saya akan mengadakan 2 kali showcase di Surabaya dan Yogyakarta bareng temen-temen Mendadak Kolektif (Surabaya) dan Foolproof (Yogyakarta). Tahun ini juga berencana membuat perhelatan seni bunyi dengan model Sonic Panopticon bareng Audial Plane. Oh iya, saya lagi ikut bantu-bantu Pasar Seni ITB 2020 juga nih. Hehehe.

Teks: Bob Edrian
Visual: Delpi Suhariyanto

Karya Seni Thom Yorke dan Stanley Donwood Segera Dipamerkan

Siapa yang tahu, ternyata ikatan pertemanan bisa membawa kita ke suatu hal yang sangat jauh. Dengan teman, seseorang bisa dengan mudah untuk berkolaborasi, bersama teman pula kita  kerap bertukar ide...

Keep Reading

Nada Siasat: Bermimpi di Ujung Maret

Memasuki bulan Maret, pertunjukan musik secara langsung kini sudah diberi lampu hijau oleh para pemangku kebijakan. Gelaran musik dari yang skala kecil sampai skala besar kini sudah mulai muncul ke...

Keep Reading

Galeri Lorong Langsungkan Pameran Seni Bernama IN BETWEEN

Berbagai momentum di masa lalu memang kerap menjadi ingatan yang tak bisa dilupakan. Apalagi jika irisannya dengan beragam budaya yang tumbuh dengan proses pendewasaan diri. Baru-baru ini Galeri Lorong, Yogyakarta...

Keep Reading

Refleksikan Sejarah Lewat Seni, Pameran "Daulat dan Ikhtiar" Resmi Digelar

Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mengadakan sebuah pameran temporer bertajuk “Daulat dan Ikhtiar: Memaknai Serangan Umum 1 Maret 1949 Melalui Seni”. Pameran ini sendiri akan mengambil waktu satu bulan pelaksanaan, yakni...

Keep Reading