Agung: Berkat “Tilik” Eksistensi Film Pendek di Indonesia Makin Diakui

Usai diunggah di YouTube pada 17 Agustus kemarin, “Tilik” yang sejatinya adalah film bertahun 2018 lalu itu tiba-tiba menjadi bahan gunjingan di media sosial. Berbagai komentar dan penilaian pun berdatangan dari berbagai kalangan, mulai dari penonton awam, sineas hingga kritikus film, aktivis serta akademikus. Joko Anwar, misalnya. Kepada BBC Indonesia sutradara kawakan itu memperkirakan kisah dan karakter yang begitu kental dengan keseharian masyarakat Indonesia itulah yang mengerek popularitas “Tilik”. 

Film berdurasi 32 menit yang telah meraih banyak penghargaan itu, hingga tulisan ini dibuat, setidaknya telah ditonton lebih dari 19 juta kali sejak pertama kali diupload. Melalui sambungan telepon, Siasat Partikelir berkesempatan bercakap-cakap beberapa hal tentang “Tilik” dengan sutradaranya Wahyu Agung Prasetyo. Berikut kutipan tanya jawab dengan Agung. 

wahyu agung prasetyo

Halo mas Agung, selamat atas rilisnya Tilik. Sebagai seorang sineas nih, kira-kira film apa dan sutradara siapa yang menginspirasi mas hingga membuat “Tilik”?

Untuk sutradara, sih, aku secara spesifik enggak ada. Karena, menurutku, tidak ada sutradara yang waktu itu pendekatannya cocok dan sama dengan film “Tilik”. Kalau referensi film hingga akhirnya menginspirasi “Tilik” itu ada dua film panjang. Pertama “Malena” – adalah drama tragedi romantik bertahun 2000 asal Italia yang dibintangi Monica Bellucci and Giuseppe Sulfaro. Satu lagi aku judul filmnya lupa. Aku ngambil secuil ‘napas’ di dua film itu.

Untuk ide ceritanya sendiri datang dari mana? Fenomena sekitar kah atau apa?

Film ini diadaptasi dari kebiasaan asli, yakni tilikan (Jawa: menjenguk orang sakit secara rombongan), di wilayah Kabupaten Bantul, tempat di mana menjadi setting film ini, dan daerah sekitarnya. Di wilayah tersebut dan di Jawa Tengah sendiri sebetulnya cukup banyak yang melakukan tradisi ini. Dari sinilah film “Tilik” berawal dan terinspirasi, “Oh iya, nih, ya unik, ya. Ini harus dibuatkan filmnya, nih”. Seiring berjalannya waktu, yang dimulai dari tradisi itu, ide cerita dikembangkan. Kebetulan waktu itu, kan, saat film ini dibuat bertepatan dengan menjelangnya Pemilihan Presiden (Pilpres) yang mana banyak penyebaran informasi yang enggak jelas atau hoaks, dan itu masif. Menurut kami, waktu itu orang-orang yang tinggal di desa seperti warga di Bantul itu rentan menjadi korban atau kena dampak dari informasi yang enggak  jelas itu.

Ada pesan apa nih yang ingin disampaikan di dalam film ini?

Ingin menyampaikan pesan bila informasi hoaks itu jangan ditelan mentah-mentah, harus disaring, harus diverifikasi. Intinya, sih, itu. Kalaupun ada yang lain itu ‘bumbu’ saja.

Bagaimana tanggapan mas sendiri tentang fim “Tilik” yang tengah populer?

Cukup senang, ya, karena bisa dibilang kami cukup beruntung ketika banyak film pendek Indonesia yang bagus dan berkualitas, dan ternyata film kami yang mendapat perhatian lebih. Cukup menyenangkan dan cukup menjadi angina segar untuk film pendek lainnya. Sebab, berkat “Tilik” film pendek lainnya ikut kena dampak, akhirnya ditonton juga.

poster tilik

Kalau dengan beragam stereotip yang muncul dari film ini?

Inikan film yang prosesnya melalui observasi terlebih dahulu. Film juga diadaptasi dari kebiasaan nyata, dan memang ada tradisi seperti itu. Jadi, sebenarnya kami tidak memiliki tendensi apapun untuk mendiskreditkan seseorang atau kelompok tertentu.    

Ada dampak besar dari viralnya film “Tilik”?

Dampaknya yang terasa sekali, entah itu ada tawaran buat film yang masuk ke kita atau pada warga di lokasi sekitar yang menjadi setting film ini. Jadi, efeknya itu benar-benar luas banget. Selain itu, lantaran “Tilik” jadi populer, film pendek lainnya juga jadi ikut ditonton, makin diapresiasi. 

Ada rencana bikin film lagi kapan mas?

Dalam waktu dekat sih, belum ada. Tapi, kami memang sedang mengembangkan film pendek dan Panjang yang baru. Kemungkinan kami akan memproduksinya tidak tahun ini, sedang ada pandemic juga. Kami juga tidak ingin terburu-buru.

Bu Tejo yang diperankan oleh Siti Fauziah

Perkembangan film pendek di Indonesia sebelum “Tilik” jadi populer seperti apa memangnya mas?

Perkembangan film pendek di Indonesia itu sebenarnya sangat pesat. Regenerasi pembuat film pendek juga cukup terjaga dengan baik. Bahkan, setiap tahunnya selalu ada film pendek yang berkualitas yang keluar. Itu tuh selalu ada. Hanya saja, memang, banyak film pendek yang belum terjangkau dengan masyarakat awam. Makanya, dengan viralnya “Tilik” ini jadi semacam momentum yang membawa angin segar bagi film pendek lainnya. “Tilik” juga jadi film yang membuka sudut pandang baru pada masyarakat awam yang banyak belum tahu tentang film pendek, “Wah, ternyata ada, ya, film pendek itu, dan kayak gini”. Eksistensi film pendek Indonesia semakin diakui.

Harapannya untuk film pendek di Indonesia?

Sepengalamanku itu kan, film pendek itu sering dianggap tabu dan enggak penting. Maksudnya, bahkan kita ketika melakukan pengambilan gambar saja kerap ditanggapi orang, “Shooting apaan sih ini, kok enggak jelas banget. Film pendek-film pendek apaan lagi”. Jadi, apresiasi masyarakat terhadap film pendek itu kurang. Apalagi ketika ada pemutaran film pendek, masyarakat awam menanggapinya dengan “Ini apaan, sih ini. Acara enggak jelas”. Di saat yang sama, menurut kami, film pendek itu bisa menjadi batu loncatan untuk membuat film panjang, untuk mengembangkan karir, untuk menyuarakan suatu isu tertentu. Film pendek itu, buat kami, adalah medium yang sangat efektif, terlebih di era digital seperti sekarang ini. Nah, ini yang tidak dilihat dengan baik. Semoga ke depan tidak seperti ini lagi. Untungnya, atmosfer di Jogjakarta dan masyarakatnya sendiri selama ini cukup mendukung film pendek, dan itu lumayan terasa. 

Sebagai info, Wahyu Agung Prasetyo lahir di Jakarta pada 5 Agustus 1993. Ia menyelesaikan perguruan tingginya pada Departemen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Hingga saat ini telah membesut beberapa film. Antara lain, “Jlungup” (2014), “Mak Cepluk” (2014), “Nilep” (2015), “Singsot” (2016), “Kodhok” (2017), “Tilik” (2018), “Truly manly” (2019), dan “Keluarga Anti Hoaks” (2019). Adapun banyak penghargaan yang pernah ia dapat. Salah satunya, Film Fiksi Pendek Terbaik di ACFFest yang dihelat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2015, Film Fiksi Pendek Terbaik berkategori Drama atau Komedi Pilihan Juri Media XXI pada Short Film Festival di tahun 2016, Film Pendek Terbaik Banten di Short Movie Festival pada 2016, Juara Ketiga Festival Film Trenggalek di 2016, dan masih banyak lagi. Sementara penghargaan internasional yang sudah ia raih adalah Outstanding Achievement Indonesia Film Festival Australia pada 2019, Official Selection World Cinema Amsterdam di 2019, dan lain-lain.

Bagi yang belum menonton, silahkan cek di bawah ya.

Teks: Emha Asror
Visual: Arsip dari Wahyu Agung 

Penampilan Monumental Di Konser Fundamental

Jumat malam memang terlalu brengsek jika harimu harus dilalui dengan hujan lebat disertai banjir dan macet di selatan Jakarta. Kebrengsekan itu pulalah yang saya rasakan saat menuju Kemang untuk menyaksikan...

Keep Reading

Menyajikan Lebih Dari Musik!

Familiaxshow telah sampai pada seri ke-7 yang akan digelar pada 18 September 2022. Gig 3 bulanan sekali ini pertama kali digulir 6 Maret 2020 dengan fokus memberikan ruang bagi lineup...

Keep Reading

Geliat Kreatif Dari Sulawesi Tengah Dalam Festival Titik Temu

Terombang-ambing dalam kebimbangan akan keadaan telah kita lalui bersama di 2 tahun kemarin, akibat adanya pandemi yang menerpa seluruh dunia. Hampir semua bentuk yang beririsan dengan industri kreatif merasakan dampak...

Keep Reading

Memaknai Kemerdekaan Lewat "Pasar Gelar" Besutan Keramiku

Di pertengahan bulan Agustus ini, ruang alternatif Keramiku yang mengusung konsep coffee & gallery menggelar acara bertajuk “Pasar Gelar” di Cicalengka. Gelaran mini ini juga merupakan kontribusi dari Keramiku untuk...

Keep Reading