11 Hari Menyusuri Jerman: Bagian Pertama

Jesslyn Juniata adalah seorang musisi berparas manis asal Jakarta. Namanya mulai diperbincangkan sejak karya-karya dari proyek duonya bersama Gabriella Puteri Miranda, Jeslla, mulai merangsek masuk ke kuping banyak orang. Bakat bermusiknya sudah di asah sejak SMA, dan pondasinya dipertebal ketika ia melangsungkan pendidikan di Universitas Pelita Harapan, jurusan sound design.

Selain Jeslla, namanya juga tercantum pada posisi additional di berbagai band, semisal Goodnight Electric dan Polka Wars. Kemudian, Jesslyn Juniata juga sering terlibat dalam proyek-proyek pembuatan music scoring. Kabar terkini, Jesslyn Juniata baru saja selesai dalam melangsungkan perjalanan sebelas harinya di Jerman dalam rangka menunaikan program Goethe Talent Scholarship 2019.

“Jadi program ini datangnya dari Goethe. Mereka bekerjasama dengan Pop-Kultur Festival yang bertujuan untuk memberikan culture study ke negara negara diluar Jerman,” jelasnya. Alasannya tertarik mengikuti program tersebut tidak muluk-muluk. Baginya, Jerman, khususnya kota Berlin, adalah tempat yang perlu dikunjungi sebagai usahanya dalam menapak tilas para nama-nama besar di dunia musik elektronik yang ia geluti.

Secara garis besar, agenda program tersebut memiliki tiga sesi: wisata budaya, sesi workshop, serta acara puncaknya yaitu Pop-kultur Nachwuchs Live 2019. Selain Jesslyn, nama-nama lainnya yang menjadi peserta Goethe Talents 2019 adalah Alyana Cabral (Filipina), Amro Ahmad Fouad Ismail (Mesir), Geoffrey Wakaba (Kenya), Marcio Zygmunt (Brazil), Mpho Sebina (Botswana), Natasha Noorani (Pakistan), Radhapriya Gupta (India), Balkis Coraima Di?az Torres (Costa Rica), dan Juan Pablo Lopez Molano (Colombia).

Mereka berasal dari beragam latar belakang, namun memiliki satu benang merah yang sama: musik.

Tanggal 14 Agustus 2019 adalah hari pertama Jesslyn berkegiatan. Setelah bertatap muka langsung dengan peserta lain di hotel, rombongan antar negara tersebut menuju kantor Goethe yang menurut Jesslyn terletak di sebuah gedung yang memiliki tampilan menawan.

“Kantornya bekas krematorium gitu. Di samping gedungnya ada beberapa kuburan-kuburan yang terawat, jauh dari kesan menyeramkan,” katanya. Semuanya menuju ke kantor Goethe untuk agenda mempresentasikan diri dan kondisi terakhir negaranya masing-masing.

Masing-masing peserta diberi waktu 10 menit untuk presentasi. Jesslyn memulainya dengan memperkenalkan dirinya, lalu menjelaskan tentang keberagaman suku, ras, agama, bahasa dan budaya di Indonesia menggunakan gambar peta. Keanekaragaman tersebut membuat musik di tanah air menjadi banyak pula macamnya, tapi menurut Jesslyn, perkembangan musik modernnya masih terpusat di beberapa kota besar saja.

“Aku juga menjelaskan bahwa beberapa tahun belakangan ini gerakan musik independent menjadi suatu hal yang seksi di Indonesia karena sudah banyak nama-nama yang sukses dalam menggunakan jalur tersebut, semisal Barasuara, Danilla, dan Raisa. Selanjutnya aku menjelaskan bahwa dangdut masih sangat Berjaya di mata masyarakat,” ungkap Jesslyn.

Jesslyn lalu menceritakan bahwa perkembangan dunia digital membuat selera dan cara menikmati musik masyarakat Indonesia menjadi berubah. Bagaimana tidak? Mayoritas orang di negara kita adalah pengguna aktif internet beserta antek-anteknya: instagram, Twitter, Youtube, dan tentu saja layanan musik streaming.

“Selanjutnya aku menjelaskan kalau setiap kegiatan berkesenian di Indonesia selalu tidak bisa lepas dari peran komunitas di dalamnya. Label musik adalah salah satu yang selalu membutuhkan peran komunitas agar senantiasa dapat berkelanjutan,” kata Jesslyn. Ceritanya berlanjut hingga ke soal lirik berbahasa Indonesia yang masih jadi primadona dan program radionya bersama Ruru Radio, yaitu Electronox.

Soal Jeslla dan proyek solonya, Jakarta, juga tidak ketinggalan ia ceritakan. “perbedaan dari keduannya itu seperti ini, kalau Jakarta merupkan playground-ku, maka Jeslla adalah wilayah yang lebih serius.” ungkap Jesslyn.

Bagi Jesslyn, dibandingkan Indonesia, negara-negara lain memiliki masalah yang lebih sulit dihadapi. “Teenage Granny bercerita kalau di Filipina, kita tidak bisa bebas bersuara. Pemerintahnya kelewat represif. Lalu, Natasha Noorani dan Noni-mouse berkisah kalau negaranya memiliki budaya pariarki yang kental, hingga sebenarnya jarang sekali ada musisi wanita disana. Ada juga Rompiste Mis Flores yang bercerita kalau baginya, membuat sebuah gigs adalah suatu usaha dalam membuat safe place, karena tingkat kriminal yang tinggi di Costa Rika”.

“Secara personal, peserta mana yang memiliki cerita paling menarik?” tanya saya.

“Semuanya punya daya tariknya sendiri kalau menurutku, tapi yang memiliki cerita paling berkesan bagiku itu datang dari perwakilan Pakistan dan India. Mereka bercerita bahwa kedua negaranya sedang berperang, karenanya tidak boleh ada musisi antar wilayah tersebut yang berkolaborasi. Nah, di program ini kan kita punya agenda membuat proyek kolaborasi gitu, dan hal itu sangat mustahil kejadian di negara mereka. Semacam pristiwa langka,” kenang Jesslyn.

“Jadi aku ngeliatin hal tersebut kalau direfleksikan lagi ke negri sendiri, sebetulnya kita masih terhitung nyaman dibanding mereka. Karena kalau di kalangan musisi, seberapa pun panasnya situasi politik, tapi musisi masih bisa main bareng dan tetap asik”.

Obrolan kami pun masih berlanjut. Meski terpaut jarak, semuanya aman terkendali karena bantuan teknologi. Jesslyn masih mencari kepingan-kepingan memorinya terkait sebelas hari di negeri panzer, dan saya masih membayangkan interior kantor Goethe Jerman yang menurut Jesslyn lebih mirip seperti IKEA.

Teks: Rizki Firmansyah
Visual: Arsip Jesslyn

Geliat Kreatif Dari Sulawesi Tengah Dalam Festival Titik Temu

Terombang-ambing dalam kebimbangan akan keadaan telah kita lalui bersama di 2 tahun kemarin, akibat adanya pandemi yang menerpa seluruh dunia. Hampir semua bentuk yang beririsan dengan industri kreatif merasakan dampak...

Keep Reading

Memaknai Kemerdekaan Lewat "Pasar Gelar" Besutan Keramiku

Di pertengahan bulan Agustus ini, ruang alternatif Keramiku yang mengusung konsep coffee & gallery menggelar acara bertajuk “Pasar Gelar” di Cicalengka. Gelaran mini ini juga merupakan kontribusi dari Keramiku untuk...

Keep Reading

Semarak Festival Alur Bunyi Besutan Goethe-Institut Indonesien

Tahun ini, Goethe-Institut Indonesien genap berusia 60 tahun dan program musik Alur Bunyi telah memasuki tahun ke-6. Untuk merayakan momentum ini, konsep Alur Bunyi tetap diusung, namun dalam format yang...

Keep Reading

Head In The Clouds Balik Lagi ke Jakarta

Perusahaan media serta pelopor musik Global Asia, 88rising, akan kembali ke Jakarta setelah 2 tahun absen karena pandemi pada 3-4 Desember 2022 di Community Park PIK 2. Ini menandai pertama...

Keep Reading