Berdialog: Papa Al

Dunia film Indonesia seolah tidak pernah berhenti bergerak. Salah satunya datang dari Palu. Sutradara Yusuf Radjamuda, yang biasa disapa Papa Al, mencatat cerita di Shanghai International Film Festival. Di festival itu, ia menyabet penghargaan Asian New Talent Award.

Papa Al sendiri sebenarnya bukan orang baru di industri ini, sebelum merilis Mountain Song di mana film ini merupakan film panjang pertamanya, dia terlebih dahulu merilis beberapa film pendek.

Yang paling dikenal publik film pendek adalah Halaman Belakang. Nama film itu kemudian juga diabadikan sebagai nama perusahaannya. Film pendek ini tercatat pernah menyabet berbagai penghargaan bergengsi di dunia perfilman, seperi penghargaan Ladrang Award (Festival Film Solo 2013), Best Director Festival Sinema Prancis 2013, Film Terbaik AFI 2013. Film ini pernah menjadi salah satu nominasi di Dubai International Film Festival 2013.

Kami berkesempatan untuk mengobrol dengannya pasca kepulangan dari Shanghai, isinya seputar film Mountain Song dan juga Shanghai International Film Festival. Simak percakapannya di bawah ini. (*)

Apa sih yang menjadi latar belakang terciptanya Mountain Song?

Ide Mountain Song datang ketika akhir tahun 2013, ketika saya waktu itu diajak Umariyadi Tangkilisan untuk merekam video lanskap dan kehidupan sehari-hari masyarakat Pipikoro, tepatnya di Desa Porelea, Sulawesi Tengah. Nantinya video ini digunakan untuk pembuka sebelum para pelaku ritual Raego tampil di Bali. Dalam perjalanan ke sana, saya takjub dengan kondisi dan akses menuju kampung yang sangat ekstrim. Di sela-sela syuting, saya mendengar cerita-cerita tentang orang-orang sakit yang ditandu untuk mencapai rumah sakit terdekat. Tidak sedikit di antaranya wafat dalam perjalanan. Ide itu juga yang menyebabkan kenapa kami memilih Pipikoro sebagai latar lokasi cerita ini.

Berarti banyak kemungkinan-kemungkinan yang akan dieksplor dari adanya film ini ya, apa saja itu kalau boleh tau?

Banyak sekali yang bisa dieksplorasi dari film ini. Sebuah karya, dari sisi eksternal, kita melihat isu sosial yang tidak bisa lepas dari sikap dan kebijakan pemerintah terhadap situasi sosial dan kemanusiaan di suatu tempat. Dari sisi internal, ada ekspektasi dan mimpi-mimpi untuk menemukan bentuk-bentuk baru dalam pengkaryaan atau setidaknya menemukan jalan yang paling dekat dengan karakter dan ciri khas seorang maker.

Bagaimana tanggapannya tentang fakta bahwa film ini diputar perdana di Shanghai International Film Festival?

Ini film panjang pertama saya, terseleksi dan world premiere di Shanghai, masuk Nominasi dalam dua kategori dan meraih satu di antaranya. Wow! Saya tidak pernah menyangka bisa sampai sejauh ini. Sudah masuk dalam kompetisi saja itu sudah luar biasa. Ini menjadi semangat yang sangat kuat buat filmmaker Palu, khususnya buat saya yang sering kali tidak percaya diri.

Apa itu kategori Asian New Talent Award?

Jadi, Asian New Talent Award itu  satu bagian dari Shanghai International Film Festival, kategori ini dimunculkan  tahun 2004 untuk pertama kalinya. Fokusnya sendiri  untuk mencari sineas-sineas baru yang belum pernah muncul di permukaan. Juga untuk mengumpulkan kebaruan dari proses kreatifitas dalam membuat film, menggali dan mencari wajah baru serta meningkatkan produksi yang dibuat oleh para sineas-sineas baru ini.

Dibalik film ini selain ada Papa Al sendiri, juga ada Fourcolours Films. Siapa mereka kalau boleh tau?

Jadi Fourcolours Films ini sebuah perusahaan produksi independen yang basisnya di Yogyakarta. Film ini hasil kolaborasi Fourcolours Films dan Halaman Belakang yang jadi program dari ReelOne Project. ReelOne project sendiri sebuah platform besutan Fourcolours Films dengan tujuan untuk menemukan bakat baru dari sineas Indonesia. Programnya yaitu seputar pengembangan naskah, produksi dan distribusi film.

Bagaimana bisa kerjasama lintas pulau ini terjadi?

Itu kejadian pas saya mengikuti SEA Screen Academy Makassar. Kami dipertemukan dengan beberapa produser dalam sesi one on one, pertemuan dengan Ifa Isfansyah dari Fourcolours Films berlanjut dan sepakat untuk bekerjasama merealisasikan project film Mountain Song ini.

Ini merupakan film panjang pertama dari Papa Al, bagaimana rasanya sejauh ini berhasil menggarap sebuah film panjang?

Senang sekali mengalami proses ini. Ada ekspektasi saat memulainya, dan banyak rintangan saat prosesnya berjalan. Ini baru awal, pengalaman pertama ini menjadi pelajaran penting buat saya dan tim tentunya.

Oh iya, untuk cerita tentang Mountain Song sendiri seperti apa?

Film ini ceritanya tentang seputar kehidupan Gimba, anak laki-laki umur tujuh tahun yang tinggal bersama ibunya yang sedang sakit di daerah terpencil di pegunungan Pipikoro, Sulawesi Tengah. Desa ini sangat terisolasi dan akses menuju kesana sangat buruk. Tiap orang yang sakit harus dibawa dari gunung menuju dataran rendah hanya dengan menggunakan tandu yang kemudian akan dibawa lagi ke rumah sakit di kota. Kebanyakan dari mereka yang sakit bahkan sampai meninggal dunia saat dalam perjalanan. Salah satunya adalah ayah dari Gimba ini. Untuk detailnya silahkan nonton filmnya nanti kalau sudah rilis. Hahaha.

Proyek film yang akan digarap lagi seperti apa? Apakah film panjang atau film pendek?

Ada beberapa film yang sedang digarap saat ini, yaitu Dokumenter berjudul Hidup Bersama Bencana yang mengambil momentum gempa September tahun 2018 di Palu. Proyek film ini akan dipresentasikan di Goodpitch Indonesia 2019 September nanti di Jakarta. Dan sebuah fiksi panjang yang akan memulai perjalannya di LOCK Laboratorium Olah Cerita Dan Kisah di bulan Agustus nanti. Film ini akan ditulis oleh Neni Muhidin, dan diproduseri oleh Marsio Juwono dari Timeless Pictures di Jakarta. Saya juga turut menjadi co-produser di dua film pendek yang sedang produksi, yaitu Boncengan sutradara Sarah Adilah dan Kabar Dari Amal sutradara Mohammad Ifdhal, keduanya sutradara dari Palu. Dan juga saya sedang mempersiapkan untuk menuju World Cinema Amsterdam 2019. Alhamdulillah masuk nominasi lagi di sana.

Bagaimana sih cara agar film-film para sineas pemula bisa masuk di festival-festival film seperti ini?

Ini pertanyaan klasik yang susah untuk dijawab. Saya tidak tahu sama sekali bagaimana caranya. Tidak ada formula sama sekali untuk membuat film dengan tujuan itu. Satu-satunya jalan adalah membuat film terus menerus, berlatih, hadir di festival film dan berjaringan, mengikuti workshop dan pastikan mengirim filmmu ke festival film. Kirim saja dan tunggu hasilnya.

Tayang perdana di Indonesia rencananya kapan dijadwalkan?

Kita tunggu bersama, distributor akan mengumumkannya.

 

Teks dan wawancara: Adjust Purwatama
Foto: Arsip Papa Al


Geliat Kreatif Dari Sulawesi Tengah Dalam Festival Titik Temu

Terombang-ambing dalam kebimbangan akan keadaan telah kita lalui bersama di 2 tahun kemarin, akibat adanya pandemi yang menerpa seluruh dunia. Hampir semua bentuk yang beririsan dengan industri kreatif merasakan dampak...

Keep Reading

Memaknai Kemerdekaan Lewat "Pasar Gelar" Besutan Keramiku

Di pertengahan bulan Agustus ini, ruang alternatif Keramiku yang mengusung konsep coffee & gallery menggelar acara bertajuk “Pasar Gelar” di Cicalengka. Gelaran mini ini juga merupakan kontribusi dari Keramiku untuk...

Keep Reading

Semarak Festival Alur Bunyi Besutan Goethe-Institut Indonesien

Tahun ini, Goethe-Institut Indonesien genap berusia 60 tahun dan program musik Alur Bunyi telah memasuki tahun ke-6. Untuk merayakan momentum ini, konsep Alur Bunyi tetap diusung, namun dalam format yang...

Keep Reading

Head In The Clouds Balik Lagi ke Jakarta

Perusahaan media serta pelopor musik Global Asia, 88rising, akan kembali ke Jakarta setelah 2 tahun absen karena pandemi pada 3-4 Desember 2022 di Community Park PIK 2. Ini menandai pertama...

Keep Reading